07. Rumah Zahra II

20 5 0
                                    

"Loh? Pak Hartono."

Kami sangat terkejut. Apa maksudnya ini? Apakah Pak Hartono adalah orang tua Zahra? Itulah yang ada di pikiranku. Pasti ini benar. Lagi pula kami juga masih belum tau banyak hal tentang keluarga Pak Hartono.

"Kalian mau ketemu sama Zahra?" Ucap Pak Hartono sambil tersenyum.
"I... Iya, Pak." Jawabku mewakili semuanya.
Aku menjawabnya sambil bingung. Aku bingung. Apakah Pak Hartono orang tua Zahra? Mungkin, Luay dan Faris juga berpikiran demikian. Namun, aku tidak boleh asal menyimpulkan. Cepat atau lambat, aku akan tahu akan hal tersebut.

Kami pun dipersilahkan masuk.

Halaman rumah tersebut sangatlah luas. Ada banyak rerumputan hijau. Di sana, juga ada bunga mawar dengan beragam warna. Mawar yang indah dengan duri yang berada di tangkainya. Mereka melengkapi satu sama lain. Duri tersebut melindungi keindahan dari sang mawar.

Di antara barisan para mawar, juga terdapat kupu-kupu dengan berbagai macam warna. Mereka bermain bersama, melompati mawar yang satu ke mawar yang lain. Sang mawar pun juga merasa senang dengan kehadiran kupu-kupu, menari-nari mawar tersebut dibuatnya.

Kicauan burung pun juga memperindah suasana. Mereka bernyanyi dengan sangat merdu. Kupu-kupu yang saling berterbangan, mawar yang selalu menari. Mereka seakan-akan menikmati indahnya nyanyian si burung di pagi hari ini.

Nyaman hati ini dibuatnya. Tenang pikiran ini diciptakannya. Indah mata ini memandangnya. Seakan-akan tempat itu adalah surga. Tidak heran jika Zahra begitu cantik. Bukan kah bidadari yang cantik itu berasal dari surga yang indah?

"Gimana halaman rumah Zahra, Mas?" Ucap Pak Hartono sambil berjalan.
"Bagus banget, Pak."

Pas Hartono pun tertawa.

"Kalo Kamu lagi gk di sekolah, panggil saya Om ajah, ya. Saya ngerasa tua banget kalo dipanggil Bapak."
"Oh iya, Om."

Pak Hartono pun tersenyum.
"Yaah. Syukurlah kalau Kamu suka dengan halaman rumah Zahra."

*****

Kami memasuki rumah Zahra bersama dengan Pak Hartono. Kami lihat bahwa Pak Hartono sangat dihormati oleh para pembantu yang ada di rumah tersebut. Apakah dia adalah pemilik dari rumah ini? Mungkin, siapapun akan berasumsi demikian. Aku pun juga berasumsi demikian. Namun, apakah asumsi tersebut benar?

Kami diminta untuk duduk di sofa yang tersedia di ruangan tamu. Sedangkan Pak Hartono pergi ke kamar Zahra untuk memanggilnya.

"Wih gila. Empuk banget Sofanya." Ucap Faris sambil menepuk Luay.
"Aw... Bisa ga, setiap kali lu begini, lu ga nepok gue?"
Jawab Luay sambil memegang bagian tubuh yang ditepuk oleh Faris tadi.
"Eh, sorry." Ucap Faris sambil tertawa. "Abis empuk banget sofanya, Ay. Ini pertama kalinya gue ngerasain sofa yang kayak begini." Tambahnya sambil mengambil aba-aba seperti ingin memukul Luay lagi.

"Ape? Mao nepok gue lagi lu?" Ucap Luay kesal
"Apaan, sih. Orang gue mau benerin rambut." Ucap Faris sambil tertawa kecil.

Faris dan Luay. Sering kali diriku dibuat aneh oleh sosok mereka berdua. Mereka sering bertengkar, namun mereka juga sering akrab. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat keanehan mereka.

Aku melihat sekeliling ruangan tamu itu. Dindingnya dilapisi dengan Wallpaper yang sangat enak untuk dipandang. Mungkin, siapapun yang memandang dinding rumah Zahra akan merasa sedikit lega.
"Zahra. Zahra. Mandang dinding rumah Kamu ajah udah bikin bebanku hilang. Apalagi kalo mandang Kamu." Ucapku pelan. Faris dan Luay pun tidak mendengarnya.

Pandanganku terpaku oleh salah satu foto yang terpajang di sana. Di sana terlihat ada foto Zahra saat masih kecil. Ia mengenakan hijab dan baju gamis warna hijau dengan sedikit corak berwarna hitam. Di foto itu, Zahra sedang memegang bunga yang berwarna biru. Entah apa nama bunga tersebut. Namun, sepertinya bunga itu adalah bunga mawar biru.

Mariposa di Angkasa (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang