Angkasa sedang terlihat tidak begitu tersenyum. Suara burung yang berkicau pun kini sudah mulai perlahan hilang. Namun, udara sekitar masih berlalu-lalang, memberi kesejukan.
DDDRREEENNNGGG!!!!
Bel berdering, seolah berkata bahwa pelajaran Matematika segera dimulai.
"Dimas. Lu udah ngerjain tugas yang dikasih semalem?" Tanya Luay kepadaku. Dari nada bicaranya, sudah dapat dipastikan bahwa dirinya ingin meminta jawaban tugasku."Waaah. Biasanya lu kalo nanya gini ada maunya nih". Jawabku sambil tertawa kecil. Dia pun langsung memegang pundangku dengan tatapan yang agak tajam.
"Mas. Ini demi kepentingan kita semua, nih".
"Hahaha. Bentar gw ambil dulu bukunya di tas". Aku pun langsung mengambil buku tulis ku di dalam tas. Setelah kuberikan buku tersebut, Luay langsung mengubrak-abrik isi tasnya. Nampaknya, ia sedang mencari barang di dalam tasnya."Nyari apaan lu, Ay?" Tanya teman sebangkuku, Faris.
"Duuh. Masa iya gk kebawa, sih. Padahal kan udah gue siapin dari semalem" sambil mengubrak-abrik tasnya dengan penuh rasa panik.
"Buku Matematika gue di mana, Ris?" Tanya Luay kepada Faris. Namun, ia bertanya dengan nada bicara yang seakan-akan dirinya menuduh Faris.
"Nah loh, mana gue tau. Ketinggalan kali" Jawab Faris yang agak kesal.Luay memang orang yang seperti itu. Dia memang agak teledor dengan barang-barangnya. Mungkin, dirinya kurang tepat untuk dibilang teledor. Melainkan kata "lupa menaruh barang" lebih cocok kepadanya. Suatu saat, dia pernah meletakkan pulpen di saku bajunya. Ketika guru bahasa Arab memerintahkan kami untuk menulis apa yang ditulisnya, Luay sibuk mencari bolpoinnya. Untung saja Faris mengingatkannya.
"Astaga beneran. Lu emang bener-bener dah, Ris. Asal ngumpetin buku gue. Cepetan buku gw di mana? Gurunya dikit lagi masuk ini. Gue pengen nyalin jawabannya Dimas"
"Astaghfirullah Luay. Kok jadi nyalahin gue? Gue dari tadi cuman duduk diem di sini."
Aku pun diam saja melihat tingkah mereka berdua. Memang, mereka berdua terlihat kurang akur. Namun, sebenarnya mereka telah bersahabat semenjak SD, jadi hal yang seperti ini pun sudah biasa dilakukan oleh mereka.
Di saat mereka sibuk saling menyalahkan satu sama lain, aku melihat Luay sedang menduduki buku Matematikanya.
"Itu buku lu". Jawabku sambil menunjuk ke buku yang didudukinya. "Lu dudukin sendiri buku itu"Melihat akan hal tersebut, Faris langsung mengejeknya karena kesal dirinya yang disalahkan tadi. Namun, respon dari Luay pun membuat Faris tambah emosi. Dirinya tertawa cenge-ngesan sambil berkata "Maap. Al-Insan mahaalul khoto wan nisyaan" (Manusia itu tempatnya salah dan lupa).
"Lupa sekali dua kali wajar, Ay. Ini lu hampir setiap saat lupa, udah gitu lu nyalahinnya gw terus. Kemaren waktu pelajaran Pak Ujang, lu nyalahin gw karena lu lupa naro pulpen di mana. Padahal ada di kantong baju lu." Kata Faris sambil emosi.
"Hehehehe peace! Damai kita". Jawab Luay sambil mengangkat tangannya yang mana jari telunjuk dan tengahnya mengacung, menandakan isyarat damai."Kok bisa sih bukunya lu dudukin?" Tanyaku penasaran
"Tadi gue masuk kelas, terus gue liat kursi duduk gue basah gara-gara si Fa...." Ia berniat untuk mengatakan Faris. Namun, ketika ia melirikkan Matanya ke arah Faris, ia tidak jadi melanjutkannya. "Eh. Gara-gara bocor tadi""Bocor? Bukannya tadi belum ujan, ya?"
"Lah iya, ya? Terus bangku gue kenapa basah?"
"Mana gue tau!" Sahut Faris
"Kok jadi lu yang jawab, Ris? Kan yang gue tanya si Dimas. Jangan-jangan bener elu yang...." Mata Faris menatap tajam dirinya lagi "eh bukan, ya?"Faris tidak meladeninya. Dirinya fokus kembali bermain game yang dari tadi dimainkannya.
"Udeh. Lu kerjain gih tugasnya. Ntar keburu masuk loh guru matematikanya"
"Iya-iya, Dim".
KAMU SEDANG MEMBACA
Mariposa di Angkasa (ONGOING)
Novela JuvenilBaru kenal ngajak pacaran ❌ Baru kenal ngajak ketemuan orang tuanya✔️ Belajar agama takut deketin cewek ❌ Belajar agama malah deketin cewek ✔️ Pacaran dulu baru kejar impian ❌ Kejar impian dulu baru nikah ✔️ Dijamin ceritanya anti mainstream deh Nil...