6. Senyum

2.4K 428 99
                                    

Ternyata Winter kesalnya lama juga.
















Karina menghela napas.

"Sudah berapa hari?" Tanya seseorang disebrang meja.

"Seminggu."

Giselle menaikan kening,
"Dan kamu diam aja?"

Karina menyeruput kopi kemudian meringis setelah rasa pahit memenuhi indera perasanya. Kalau pada hari-hari biasanya dia lebih memilih mengonsumsi minum bersoda daripada meminum kopi. Namun berbeda dengan hari ini. Karena suasana hatinya yang sedang gundah ia pengen mencoba sesuatu yang pas.

Prinsipnya; kalau galau jangan setengah-setengah.

"Dia bilang kalau sudah baikan nanti dia kabari."

Giselle menatapnya untuk beberapa saat. Memperhatikan ekspresi wajah kawannya yang nampak begitu polos.

"Barangkali dia pengen kamu yang duluan?"

"Duluan?"

"Duluan bicara Rin."

Karina tampak menimbang-nimbang perkataan Giselle barusan.

Apakah benar demikian?

Namun sejurus kemudian, Giselle dibuat bingung ketika perempuan yang lebih tinggi darinya itu menggelengkan kepala.

"Kayaknya dia masih marah. Aku cuma bisa menunggu."

"Nunggu sampai kapan?"

"Sampai dia gak marah lagi?"

Pertanyaan yang dibalas dengan pertanyaan.

"Dan kalau ternyata dianya malah nunggu, gimana?"

Karina sejenak termangu namun mendapat ilham semenit kemudian.
"Ah iya ya?"

Giselle menghela napas. Kawan yang satu ini memang kurang peka. Kadang harus di kasih petunjuk biar pada akhirnya dia mengerti.

"Kadang kamu harus bisa baca situasi. Jangan terlalu mengambil semuanya secara literal. Winter itu memendam banyak hal jadi kamu harus bisa membaca sesuatu yang tidak terucap secara gamblang. Memahami perasaannya juga penting Rin."

Mata Karina bersinar seperti mendapat pencerahan dari Giselle.

"Aku mengerti sekarang."

Perkataan itu membuahkan sebuah senyuman di wajah Giselle.

Namun setelah beberapa saat berlalu, senyum di wajahnya berganti dengan kerutan di dahi.
"Lantas kenapa kamu masih disini?"

"Huh?" Karina tampak kebingungan.

"Kenapa kamu masih disini?"

Oalah.
Kirain apa.

Karina menunjuk cangkirnya. Bukankah itu sudah jelas?

"Kopinya belum habis." Pelannya.

"Karina duh.." Pelan Giselle tak percaya.

"Kamu kenapa gelisah?"

Giselle pun menggeleng.
"Aku pun gatau. Kenapa aku yang jadi khawatir dengan hubungan kamu dan Winter?"

"Hm?"

"Aku bakal sedih kalo kalian putus—"

"Sembarangan."

Karina pun segera meneguk habis isi cangkir yang berada di tangannya—rasa pahit membuat ia meringis dengan sepenuh raganya. Cepat-cepat ia berdiri sembari meraih jaketnya yang tergantung rapih diatas sandaran kursi.

Lover [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang