Keduanya sedang dalam perjalanan pulang.
"Habis ini kamu mau kemana?" Tanya Winter membuka percakapan.
Karina menginjak rem saat berada di depan lampu merah.
Matanya menatap wajah Winter dari kaca spion.
"Main.""Kemana?"
"Rumah teman."
"Kak Giselle?"
"Ho'oh." Angguk Karina seraya kembali menancap gas ketika lampu hijau telah menyala.
Motor Karina melaju dengan kecepatan medium, membuat Winter merasa sejuk karena wajahnya disapu dengan angin malam yang lembut.
"Tapi boleh kan?"
Pertanyaan Karina membuat Winter mengangkat kedua keningnya.
"Apanya?"
"Pergi ke rumah Giselle."
Ah.
Rupanya Karina sedang meminta izin.Winter tersenyum. Dia merasa hangat karena hal kecil itu. Padahal Karina tidak perlu meminta izin darinya, kalau mau pergi silahkan saja. Winter tak pernah melarang.
"Kamu boleh pergi tapi jangan pulang terlalu malam. Ingat besok kerja."
"Siap."
Dan hening.
Keheningan membungkus atmosfer di tempat itu. Bukan keheningan yang mencekam namun hening yang menenangkan—membuat hati terasa nyaman.Cahaya lampu jalan mulai menyala, membiaskan cahaya kuningnya pada dua anak muda yang sedang menikmati waktu berdua dengan berkendara.
Winter menatap wajah Karina dari kaca spion. Dari tempatnya duduk, hanya nampak mata dan hidung Karina.
Namun itu sudah cukup untuknya.
Ia pun terus menatap mata yang bersinar itu tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya kearah yang lain. Di tengah jalanan yang penuh dengan gemuruh mesin kendaraan. Fokus Winter tetap tertuju pada satu orang.
Merasakan pandangan Winter padanya, Karina pun sejenak menatap kaca spion di sebelah kiri dan mendapati tatapan serius Winter. Ia pun cepat-cepat mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang terbentang di depan matanya.
"Ada apa?"
Tanya Karina penasaran. Barangkali ada sesuatu yang menempel di wajahnya.
Namun ia merasakan sebuah gelengan kepala dari Winter yang memang sedang bersandar di pundaknya.
"Pengen lebih lama lihat kamu. Kan bentar lagi sampai rumah." Datang jawaban yang lembut dari Winter.
Oh.
Begitu ternyata.Sesekali Karina menatap kaca spion itu dan terus mendapati Winter yang masih betah menatapnya.
Lalu Karina pun kembali bertanya.
"Besok kelas pagi?"
"Iya."
"Aku antar ya."Tawaran itu membuat Winter menarik dagunya dari pundak sang kekasih.
Ah.
Tumben.Pada jam segitu, biasanya Karina jarang mengantar Winter ke kampus. Karena pagi-pagi sekali ia harus segera berada di studio untuk bekerja.
"Apa gak repot?" Tanya Winter
Winter itu pacar yang pengertian. Walaupun hatinya menuntut untuk lebih diperhatikan ia tetap mengutamakan kenyamanan Karina.
"Antar kamu cuma makan waktu sepuluh menit."
"Tapi kamu harus balik arah lagi. Dan itu makan waktu sampai satu jam. Nanti terlambat."
"Sekali-kali terlambat. Toh aku juga sudah jadi karyawan yang paling rajin selama setahun berjalan ini."
"Lalu kamu memutuskan untuk gak jadi yang terajin hanya untuk mengantar aku?"
"Sekali-kali bikin kamu senang kan."
"Walau kamunya nanti telat?"
"Telat doang. Gak masalah."Winter melipat bibir berusaha untuk menahan senyumannya.
Dan pemandangan itu tak luput dari pandangan Karina.
"Manis."
Kan.
Karina memang suka tiba-tiba begitu.
Tiba-tiba memuji dan membuat Winter jadi malu-malu.Kalau seperti ini, rona merah di pipi Winter akan semakin terlihat jelas. Semua gara-gara Karina.
"Eh?" Si Winter pura-pura bingung padahal sudah tersipu bukan main.
"Kalau lagi nahan senyum makin manis."
Oh benar memang.
Hari ini tampaknya hati Karina sedang melembut.Hmm tapi gak tahu kalau besok.
Maka dari itu Winter akan menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin.
"Berarti kalau senyum gak manis dong?"
Karina membunyikan klakson kemudian menancap gas untuk mendahului mobil yang berkendara dengan sangat pelan di depannya.
Atas laju kendaraan yang semakin cepat itu Winter pun menepuk pundak Karina.
"Pelan."
Satu kata itu berhasil membuat motor Karina kembali melaju dengan kecepatan yang membuat Winter merasa nyaman.
Tak mengizinkan kesunyian kembali membungkus mereka, Winter kembali bersuara.
"Pertanyaan tadi belum terjawab."Sekali lagi melihat Winter melalui kaca spion, Karina pun menaikan kening.
"Cantik." Itu jawabannya.
Nahan senyum, manis.
Tersenyum, cantik.Senyuman Winter bagaikan magnet yang menarik Karina untuk ikut tersenyum.
Dan tak berhenti sampai disana karena percakapan tentang hal itu masih terus berlanjut.
"Tapi kalau kamu lagi malu. Tersipu begitu kelihatan lucu."
"Padahal aku gak melawak."
"Lucu dalam artian menggemaskan."Ucap Karina sedikit mengerutkan hidungnya. Walaupun sudah cukup lama berpacaran dengan Winter, ia tetap merasa canggung ketika harus berkata demikian.
Bukan berarti ia berbohong.
Hanya saja ia belum terbiasa.Dua tahun dan dia masih merasa kaku untuk mengatakan hal itu. Jelas karena Karina bukan tipe yang romantis.
Dia gak tahu aja sih, kalau sebenarnya Winter suka mendengarkan perkataan yang seperti itu.
Tapi karena kata-kata itu terlanjur keluar dan Winter terlanjur tersenyum lebar.
Senyum yang menurut Karina adalah senyuman paling cantik yang pernah ia lihat.
Karina pun hanya bisa terkekeh pelan seraya mencuri pandang pada gadis yang duduk dibelakangnya melalui kaca spion yang sedari tadi menjadi penghubung tatapan diantara mereka berdua.
"Besok aku antar ya?" Tanya Karina sekali lagi.
Dan Winter?
Mana bisa ia menolak?Karena yang Winter tahu jawaban dari pertanyaan itu hanyalah satu,
"Dengan senang hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lover [Completed]
Hayran Kurgu"Pertanyaannya kayak basa-basi orang lagi PDKT ya." Pelan Winter sedikit menggoda Karina. "Aku memang sedang PDKT." "Huh?" "Pada dirimu ku terpesona."