1

158 56 83
                                    

Hujan di tengah malam menambah kesan dingin alami membuat makhluk hidup tak mampu menahan kantuk lebih lama. Ditambah lagi dengan tetes air hujan yang  berjatuhan seperti melodi pengantar tidur. Makin membuat mahkluk bernafas mengeratkan tubuh pada selimut agar terlelap lebih lanjut.

Tetapi tidak dengan gadis bersurai coklat---Aka, dia tengah berkutat dengan buku tulis beserta kawan-kawan. Kerutan dahi Aka menandakan bahwa dia tengah berpikir dengan keras.

"Ini kenapa susah banget sih?!"

Aka melempar bolpoin ke arah depan dengan kesal. Rasa kesal menjalar begitu saja setelah Aka berkutat dengan PR yang tak berujung mendapatkan jawaban. Alih-alih mengambil kembali bolpoin itu, Aka malah merebahkan diri di atas ranjang.

Hawa dingin menyentuh kulit setelah Aka merebahkan diri. Rasa kantuk menyerang begitu saja merasakan sensasi dingin yang menyentuh kulit. Mata memberat seperti di timpa beribu-ribu ton kapas, belum lagi hawa dingin dari sela-sela jendela yang makin membuat kantuk memberat. Aka memejamkan mata untuk menyelam ke alam mimpi.

"Aka?"

Membuka mata kembali Aka merasa ingin membunuh orang yang memanggil nya. Tidak tahu apa sedikit lagi dirinya akan bertemu dengan mimpi-mimpi.

"Aka? Lo udah tidur, ya?"

Suara itu kembali terdengar, mau tak mau Aka segera membangkitkan diri agar suara itu tak makin rese.

Berjalan ke arah pintu dengan ogah-ogahan Aka segera membuka pintu ber-cat putih silver dengan malas.

"Kenapa?" tanya Aka setelah membuka pintu mendapati sosok sang abang tengah berada dihadapannya.

Gopal meringis melihat sang adik memasang wajah tak bersahabat. Tau gitu lebih baik dia menolak suruhan sang papah demi keselamatan.

"Anu ..., I-itu dipanggil papah!" Gopal merutuki ucapan tergagap nya. Gara-gara aura sang adik dirinya terbata seperti ini.

"Dimana?" Aka menyenderkan badan pada tembok seraya menguap.

"Di ruang tamu," jawab Gopal langsung pada intinya.

Aka mengangguk seraya melangkahkan kaki menuju Ruang Tamu. Gopal memandang tak percaya kepergian sang adik. Setidaknya ucapin apa ke sebelum pergi.

"Bocah gaada adab!" seru Gopal meninju udara, kaki Gopal tak tinggal diam. Dia menendang udara berkali-kali membayangkan kalo udara itu adalah sang adik yang tidak beradab.

Tidak jauh beberapa langkah Aka melihat semua kelakuan sang abang dengan malas. Beraninya di belakang, persis seperti bocah baru gede.

"Ngapain tuh, kaki. Nendang-nendang?" Gopal terlonjak melihat Aka yang sudah berada dihadapan nya.

"Lagi latihan main bola, buat besok turnamen," kikuk Gopal menggerakkan mata mengikuti pergerakan sang adik yang hendak masuk ke kamar kembali.

Tak lama kemudian Aka kembali dengan menggenggam tasbih putih. Gopal mengerutkan dahi, untuk apa tasbih itu?

"Main bola kok tangan nya nonjok-nonjok. Versi terbaru, kah?" Aka menatap remeh Gopal seraya melewati Gopal begitu saja.

"Kan baru di upgrade," ujar Gopal mengejar langkah kecil Aka dengan langkah lebar yang dimiliki Gopal.

"Itu, tasbih buat apahan?" tanya Gopal pada saat undakan tangga terakhir.

"Biasa," Aka mengayunkan tasbih ke arah wajah Gopal.

Gopal menepak tangan Aka, "apa si, Ka!"

"Kali aja Lo kesetanan," kata Aka kembali mengayunkan tasbih ke arah Gopal.

"Sialan! Iman gue gede, mana mau setan nempelin gue!" Gopal kembali menepak tangan Aka, tetapi lebih kencang dari yang pertama.

"Oh iya ..., lo kan raja nya para setan," sahut Aka meninggalkan Gopal yang terdiam di tempat.

"A te de SU ..., ASU!"

****
"Udah abis air nya?" Gio---papah Aka mengangguk menunjuk gelas kosong terletak di atas meja.

Aka mengikuti tunjukan jari tangan sang papah. Mata jeli Aka mendapat gerakan yang ia inginkan. Aka menuju sopa sebelah sang ayah, yang dimana terdapat sepasang suami istri.

"Kok bisa kambuh lagi, om?" Aka menatap sepasang suami istri itu, lebih tepatnya menatap kearah pria paruh baya yang dipanggil 'om olehnya.

Pria paruh baya---om Andi menggeleng tak berdaya, pandangan mata om Andi bergeser ke arah sang istri yang tergolek tak berdaya di atas sopa.

Sudah beberapa tahun istrinya selalu seperti ini. Om Andi sudah bepergian kesegala macam tempat untuk mengobati sang istri, tapi apa daya, tak sekalipun pengobatan itu berhasil. Om Andi hampir putus asa kalo tidak ingat sang malaikat kecil berwajah oval yang sedang menggenggam tangan sang ibu.

"Om, boleh tolong pindahin Eca dari situ," ujar Aka menggerakkan dagu kearah tempat dimana wanita paruh baya terbaring.

Andi segera bangkit menuju tempat sang anak dan sang istri terbaring lemah, kedua tangan Andi menggendong tubuh mungil Eca menjauh dari tubuh Sang istri.

Melihat sudah tidak ada Eca disitu, Aka segera memposisikan diri dekat dengan istri om Andi---tante Risma.

Ringisan demi ringisan terdengar dari mulut Risma, Aka segera membalikan badan ke arah sang papah. "Pah, Aka butuh air lagi. Ambilin dong!"

Gio tidak mengindahkan ucapan Aka, dia malah sibuk bermain HP. Aka kesal bukan main tidak mendapatkan respon dari sang papah.

"Pah! Ambilin aer! Conge banget si jadi orang." Aka memandang kesal ke arah sang papah. Gio mengadakan kepala menghadap sang anak dengan satu alis di naikan.

"Tangan ada, kaki ada. Sono jalan dewek ke dapur," sahut Gio menatap kaki serta tangan Aka dengan malas.

Aka geram bukan main, bisa-bisa nya di situasi seperti ini sang papah tidak segera bergegas. Andi yang melihat pasangan anak dan papah sedang berseteru segera angkat suara.

"Udah, om aja. Bisa semaput istri om kalo nunggu kalian berdua berdebat!" Andi menurunkan Eca tepat dipangkuan Gio yang di terima dengan luwes.

"Berapa banyak air nya?" tanya Andi kepada Aka.

"Dua gentong." Bukan Aka yang menjawab, melainkan Gio yang sudah kembali dengan kegiatan sebelumnya---bermain ponsel.

Andi berusaha untuk bersikap sabar, biar bagaimanapun orang yang barusan berceletuk adalah kakak kandung nya, Andi tidak mau durhaka.

"Satu gelas gede, om." Aka yang merasakan suasana sudah tidak kondusif segera mengangkat suara.

Mengangguk mengerti Andi segera pergi ke arah dapur untuk melaksanakan titah sang ponakan.

Rancau-an mulai terdengar lebih kencang dari mulut Risma, Eca yang melihat sang ibunda seperti itu meraung-raung dipangkuan Gio. Membuat Gio geram.

"Eh ..., Setan. Kebiasaan banget anda masukin tubuh ade ipar saya, situ gaada kerjaan apa?" Gio berseru kesetanan, dia kesal bukan maen mendapati kasus yang tidak ada titik terang nya.

Risma memukul sopa dengan kencang membuat mereka terlonjak. Aka merutuki seruan Gio yang membuat setan di tubuh Risma marah.

Sudah tak jarang lagi Aka menghadapai situasi seperti ini, sudah hampir setiap minggunya pasti om dan tante berkunjung kesini dengan keadaan sang tante sudah tidak sadar. Ada rasa kasian melihat sang tante selalu seperti ini. Tapi mau gimana lagi, ini sudah takdirnya. Aka hanya bisa membantu dengan sedikit ilmu yang ia punya.

"ANDI CEPET! ISTRI KAMU UDAH KEJANG-KEJANG ITU!" pekik Gio melihat badan Risma mengejang. Tangisan Eca makin keras memekik kuping Gio. Mau tak mau Gio menyumpal mulut bocah itu dengan tangan, agar berhenti. Katakan saja Gio kejam.

.
.
.

Follow akun saya sebelum membaca, biar berkah.

Tinggalkan jejak sebelum berjejak ke karya yang lain!

TBC.

BUKAN DUKUN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang