“Nikmat itu ada untuk disyukuri, bukan untuk dikufuri.
Rumput tetangga boleh saja lebih hijau, tapi rumput kita tak jauh beda jika dilihat oleh tetangga kita.”
Cahaya matahari dari timur mulai menerobos masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah gordeng rumah. Kesibukan mulai mengampiri setiap insan di rumah ini. Mereka sibuk hilir mudik mencari sesuatu yang menjadi keperluan masing-masing. Akan tetapi sinar mentari pagi ini mampu menghangatkan suasana rumah meskipun tengah sibuk dengan urusan sendiri.
“Bundaa, dasi punya Salsa mana? Kok ga ada di meja sih,” teriak seorang gadis yang memakai seragam putih-abu dengan mengubrak-abrik barang-barang yang ada di meja belajarnya.
Seorang wanita setengah baya yang dipanggil ‘Bunda’ tadi membalas teriakan anak perempuannya itu dari dapur, “Di lemari baju paling atas, Sayang.”
Segera setelah mendapat balasan dari bundanya Salsa mengampiri lemari baju seperti arahan bundanya, dan yap dasi yang dia cari sedang bertengger manis disana bersama topi sekolahnya. Dia gantungkan dasinya di leher dan memakaikan acak topi di kepala yang terbalur rapi kerudung putih itu. Suara langkah kaki yang menjajaki tangga mulai terdengar ke bawah disusul oleh teriakan dari kamar sebelahnya.
“Saless, power bank abang ditaruh dimana? Kemarin pinjem belum dibalikin lagi.” Abay-abang kedua Salsa- keluar dari kamarnya dengan pakaian SMA rapih dan tas di sampirkan di bahu kanannya. Di tangan kirinya terdapat handphone dan charger, dia kemudian berdiri di hulu tangga dan berdecak menatap penampilan adiknya yang masih belum rapih.
Salsa yang masih berjalan di tangga memutar kepalanya menghadap abangnya dan memberi tahukan dimana dia menyimpan power bank abangnya. Setelah itu dia segera menuju ruang makan dan langsung mendapati ayahnya sedang duduk santai di kursi ujung meja makan. Melakukan rutinitas pagi yaitu membaca Koran harian ditemani secangkir kopi hitam panas racikan Bunda.
“Pagi, Ayah. Ayah ga ke kantor?” sapa Salsa kemudian duduk di kursi kiri kedua dari sang ayah.
Ayahnya tersenyum mengalihkan pandangannya dari koran yang dia baca, “Pagi juga, putri ayah. Hari ini Ayah mau ke luar kota cek perusahaan baru, tapi nanti agak siangan.”
Salsa mengangguk-angguk tanda mengerti. Dia kemudian membenarkan letak dasinya dan menurunkan topi di kepalanya ke atas meja makan yang masi kosong. Lantunan lagu Yusuf Islam-Your mother menghiasi bibir Salsa yang masih asik membenarkan dasinya. Tidak lama kemudian Abangnya datang mengampiri meja makan dengan raut wajah masam dan duduk di kursi sebelah Salsa. Dia membanting pelan power bank ke atas meja, lebih tepatnya ke hadapan Salsa. Sontak saja suara yang ditimbulkan dari lemparan itu membuat Salsa dan ayahnya kaget.
Mereka menatap Abay horor tapi Abay malah balas menatap tajam Salsa. Mendapati tatapan abangnya Salsa kebingungan dan membuat raut waja seakan meminta penjelasan atas sikap abangnya itu.
“Ayah, lihat kelakuan Tuan Putri aya ini. Masa power bank Abang di habisin. Mana handphone abang baterainya tinggal 30 persen lagi,” adunya pada Ayah.
Salsa membulatkan matanya karena merasa tidak terima dengan aduan abangnya itu. Dia melayangkan pukulan kecil kepada abangnya dengan topi yang ada di atas meja dan menjawab, “Apaan! Ga Salsa abisin ya. Tu lihat masih bisa di pake, orang Salsa cuma pinjem bentar juga.”
“Sales, mananya yang bisa digunain. Ini tu tinggal dua baterainya. Lagian minjem kok ga di balikin.” Nada Abay sedikit menaik dan menimpuk balik Salsa dengan topinya.
“Ya tapi kan…” ucapan Salsa terhenti karena kedatangan bunda yang memotong pertengkaran mereka.
“Aduuh.. Ini anak-anak Bunda udah pada ribut aja pagi-pagi. Sarapan aja belum,” ucap Bunda menghampiri kami dan menaruh nasi goreng di tengah-tengah meja makan.
YOU ARE READING
Envi(ou)s(ion)
SpiritualBagi Salsa, kehidupan yang dia jalani saat ini adalah sebuah kesalahan. Dimana bundanya sendiri tidak menghargai kerja kerasnya selama ini. Bundanya hanya memikirkan gengsi sosialitanya dibandingkan perasaan Salsa sebagai anaknya, setidaknya itu yan...