Terdengar helaan napas lega, Raka menatap ke depan menemukan Salsa yang terlihat begitu lemas. Sekarang mereka berada di kantin untuk melepas rasa pusing tujuh keliling akibat dari 100 soal tadi, selain itu perut mereka sudah berontak meminta diberikan makanan. Alhasil sekarang mereka duduk dengan nasi kotak yang sudah diberikan panitia lomba sebelumnya.
Salsa menyimpan sondoknya perlahan lalu meminum jus alpukat yang sudah dipesannya. Setelah itu dia menatap Raka ragu, hatinya menimbang apakah harus dia mengatakan itu atau tidak. Kalau dia tidak mengatakannya dia takut dianggap sombong, tapi kalau mengatakannya dia takut Raka akan menganggapnya aneh.
“Apa?” tanya Raka ketika menyadari Salsa sedang menatapnya.
“a, apa?” beo Salsa ketika ketahuan sedang menatap Raka.
Raka menaruh sendoknya, “Ngapain lu natap gue kayak gitu?” tanyanya lagi membuat Salsa gelagapan.
“Emm, gu-gue, gue mau bi-bilang sesuatu,” balas Salsa. Dalam hati dia merutuki bibirnya yang berbicara gugup.
“Ngomong aja.”
Salsa berdehem sebentar untuk menormalkan sikapnya, “Sebenarnya gue ga mua bilang ini, tapi Karena gue orangnya baik, jadi makasih.” Ucap Salsa cepat dengan kepala menatap lurus tapi pandangan mengarah ke bawa.
Raka menatap Salsa meminta penjelasan, Salsa yang tadi bersikap normal kini menjadi gugup lagi, apalagi sekarang dia ditatap seorang Raka seperti itu. Tidak mau berlarut-larut dalam susasana ini Salsa memutuskan untuk menjawab kebingungan Raka lalu pergi, tapi sepertinya takdir berkata lain karena sebelum Salsa menjawab Fani datang bersama patnernya.
Fani mengambil kursi yang berada di sebela Raka kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Raka. Tidak ada penolakan dari Raka, dia malah mengusap puncak kepala Fani dengan lembut sembari menanyakan kabarnya setelah mengisi 100 soal tadi.
Melihat itu hatiku berdenyut sakit, mereka selalu terlihat serasi dimanapun mereka berada. Raka yang selalu dingin kepada semua orang, akan berubah drastis ketika sedang bersama Fani. Begitupun dengan Fani yang akan terlihat manja jika di dekat Raka. Sudahlah, kenapa Salsa harus memberitahu keserasian mereka yang membuat hatinya sakit, lebih baik dia berkenalan dengan patner yang bersama Fani. Dia ikut duduk bersama kami di kursi yang tersisa.
Salsa memberikan senyum terbaiknya lalu mulai basa-basi dengan patner Fani itu. Namanya Meliani, dia patner sekaligus sahabat Fani, katanya. Sebenarnya sudah bisa Salsa tebak dari gaya bicaranya yang memang mirip dengan Fani, hanya saja dia sedikit berlebihan menurut penilaian Fani.
Kembali menatap ke depan untuk meneruskan ucapan yang belum selesai tadi, tapi dia nalah menemukan Raka dan Fani yang membuat mata sekaligus hatinya sakit. Kali ini Raka sedang menyuapi Fani dengan tawa yang terselip sesekali. Salsa mendengkus sebal, sepertinya Salsa harus melupakan penjelasan itu karena raka sudah tidak tertarik lagi dengan hal itu.
Salsa berdiri dari duduknya untuk pergi dari tempat sesak ini. Suara decitan kursinya membuat perhatian Raka juga Fani beralih kepadanya yang sedang berdiri menyampirkan tas di punggungnya. Fani terlihat akan bertanya ketika mulutnya terbuka, tapi sayangnya Salsa tidak mau mendengar perkataan apapun darinya. Dia segera memberi tahu kalau dirinya akan pergi ke pameran sains saja.
Sedetik kemudian dia pergi meninggalkan kantin tanpa melihat persetujuan ataupun penolakan, baik itu dari Raka maupun dari Fani. Dalam hati Salsa rasanya ingin berteriak pada semua orang untuk mengungkapkan isi hatinya.
"Ngapain, sih Fani pake ke kantin segala, mana main langsung deketin raka lagi," gerutu Salsa dalam perjalanan menuju pameran sains, "Mereka lupa atau gimana, sih m, kalau pacaran itu ga baik dan dilarang agama?" tambahnya.
YOU ARE READING
Envi(ou)s(ion)
SpiritualBagi Salsa, kehidupan yang dia jalani saat ini adalah sebuah kesalahan. Dimana bundanya sendiri tidak menghargai kerja kerasnya selama ini. Bundanya hanya memikirkan gengsi sosialitanya dibandingkan perasaan Salsa sebagai anaknya, setidaknya itu yan...