Þrír

32 7 1
                                    

⛧⛧⛧

Siang itu usai pelajaran, aku melangkahkan kakiku lebar menuju lorong tempat loker-loker para siswa berada. Kubereskan buku dan barang-barangku di dalam sana, sambil mencerna pembicaraan siswa dan siswi lain di sekitarku. Aku baru saja menikmati perbincangan soal perselingkuhan yang panas ketika tiba-tiba suara berat yang tidak asing itu menyapa, "Dongju."

Aku menolehkan kepalaku dan berbalik, walau tidak dekat wajahnya berhasil mengagetkan diriku. Alhasil aku melompat sedikit ke belakang, dan tawa kecilnya yang manis pun terlepas.

"Kamu gugup, ya?"

"Iya pak, saya udah nyiapin semua, tapi tetep aja saya gugup begini," jawabku. Geonhak menganggukan kepalanya perlahan, ia menepuk pundakku beberapa kali dan mengistirahatkannya di sana sebentar, memberi aku kekuatan dan keyakinan.

"Saya dilarang pilih kasih, tapi saya yakin kamu pasti bisa. Semangat ya!" katanya. Bagus, bisa-bisa kupu-kupu yang bersemayam dalam perutku berterbangan keluar dari mulutku. Bagaimana bisa seorang pria menciptakan rasa aneh di dada ini? Akan aneh bila seorang murid teladan sepertiku jatuh cinta dengan sesama jenis. Aku lurus, aku pasti hanya bingung, ya dia memang tampan dan rupawan, dia juga menggemaskan terkadang. Tunggu, apa yang barusan aku katakan?

"Makasih pak, kalo bapak sampe ngomong begitu, saya janji ga bakal ngecewain bapak," ujarku. Aku membalas senyumnya, dan untuk beberapa detik aku merasa ada sesuatu di antara kontak mata kami. Aku takut seseorang menyadarinya, jadi kucoba untuk mengurangi ketegangan seksual yang mulai membuat aku frustasi dengan mengacungkan jempol di depan mukanya.

"Nah, gitu dong! Ngomong-ngomong, apa aja yang udah kamu siapin?"

"Saya...."

⛧⛧⛧

"Lu nyuap?"

"Buset kaga, ini namanya berbaik hati. Nyebar cokelat ke orang-orang kan bukan berarti gue maksa mereka buat milih gue jadi ketos," jelasku pada Hwanwoong. Dia adalah alumni sekolahku yang entah kenapa berkunjung kemari, tampaknya ia masih belum bisa melepas sekolah lama sepenuhnya. Pemuda ini 2 tahun lebih tua dariku, sebelum ia melanjutkan perjalanan pendidikannya menuju universitas, kami berteman cukup baik.

"Terus itu tulisan-tulisan kecil dalem pita yang ada tulisan vote Dongju maksudnya apa?"

"Bukan apa-apa," kujawab pertanyaannya tanpa memberi kontak mata. Pemuda itu berdiri bersandar pada loker tetanggaku ketika aku sedang sibuk membereskan cokelat-cokelat sisa yang belum sempat aku bagikan kepada kakak kelas. Hwanwoong telah memakan beberapa, aku mengharapkan pujian, tapi dia malah menuduhku menyuap.

"Lu segitunya pengen jadi ketos?" tanya pemuda itu lagi. Aku hanya menganggukan kepalaku untuk membalas ucapannya, jika aku membuka mulutku lagi, bisa saja percakapan kami tidak akan berhenti sampai matahari terbenam.

"Oh gue tau, pasti gara-gara si pembina OSIS baru itu kan?" Hwanwoong menunjuk Geonhak yang sedang menyapa murid-muridnya. Untung saja jarak kami cukup jauh, jadi suara maupun gerak-gerik Hwanwoong tidak terlihat maupun terdengar. "Gue perhatiin lu suka salting tiap guru jenius itu lewat."

"Dih, ngayal nih tuyul."

Benar. Selain karena dirinya, aku juga harus merebut tahtaku yang sempat dikotori Siyeon kembali. Bagaimanapun juga posisi itu hanya boleh ada di tanganku, dengan segala persiapan yang telah aku lakukan, ada kemungkinan besar aku menang. Gadis itu mungkin tampak sempurna, tapi salah satu kelemahan yang ia punya adalah catatannya yang berharga.

Kumasukan dengan paksa buku latihan rusak milik Siyeon ke dalam lokerku. Hwanwoong sibuk mengamati anak-anak baru yang berlalu-lalang, jadi dapat kupastikan tindakanku barusan tak terlihat. Aku akan mengembalikan buku ini besok, tepat sebelum ulangan harian ekonomi mulai. Tanpa ini, dia hancur.

⛧⛧⛧

Sir PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang