Átta

27 7 1
                                    

⛧⛧⛧

Turun dari mobil, aku berjalan cepat ke dalam rumah, mengabaikan ayah dan ibuku yang sepertinya mulai tumbuh awan mendung di atas kepala mereka. Sedari aku kecil, tak pernah sekalipun aku diajarkan untuk melanggar peraturan, apalagi melewati batas.

"Pah," ibuku menarik tangan ayah, mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah dengan pintu yang dibanting menutup. Selama aku berdiri membujuk anjingku untuk pergi, di belakang mereka berdua berbisik dan berdebat. Aku bahkan mendengar ayah menyinggung bisnisnya yang bisa hancur karena reputasi keluarga kami yang rusak karenaku.

"Dongju, jelasin ke papamu kalo kamu dipaksa ngelakuin itu," ibu menyuruhku untuk bicara. Aku memutar badanku menghadap mereka, menatap ayah dan ibu bergantian dengan ekspresi datar aku ukirkan.

"Aku ngelakuin itu secara sadar, dan tanpa paksaan."

"Dongju!" ibu memandangi aku dengan pandang matanya yang tajam, meminta aku untuk mengoreksi dan meminta maaf sebelum ayahku mencapai batasnya. Tapi apa guna, sudah terlambat.

"Bocah tolol! Udah berani berulah lu hah?!" bentak papa. Ia menarik kerahku dengan kedua tangannya yang besar, ketika aku menunduk dan tidak membalasnya barang anggukan saja, ia memukul pipi kananku dengan keras.

Wanita yang mengaku sebagai ibuku hanya berdiri di ambang pintu, menyaksikan anak adopsinya yang ia sayang dipukuli penuh benci oleh ayahnya sendiri. Tak pernah sekalipun aku membayangkan akan berada di posisi ini, dan tak dapat kusangka, ibuku bahkan tidak berusaha untuk menghentikan pukulannya.

"Kenapa cuman aku yang dihukum? Ada banyak kasus serupa dan mereka didiamkan, emangnya kenapa kalo kita sesama jenis?"

"Karena dia guru dan itu ga normal!" ayah berteriak di depan mukaku, tapi aku tetap memasang wajah yang sama. Akan kubuktikan bahwa aku tidak takut padanya.

"Umurnya 19 tahun."

"Bocah ga tau diuntung, masih mau ngelawan?" ia melayangkan pukulannya pada pipiku lagi, tanpa henti ia berteriak dan memaki. "Najis, tau najis? Besarin anak homo kayak lu, buang-buang duit."

Homo. Begitu caranya menyebutku, selama 15 tahun aku hidup di rumah ini ia selalu menganggap aku seperti anaknya sendiri. Tapi kini aku tahu bahwa segala puji dan kasih sayang yang ia beri adalah palsu. Lalu untuk apa ia meraih tanganku waktu itu?

"Sewaktu Bunda Kwon ke sini dan minta aku pulang, kenapa aku ngga dikembalikan?"

"Cukup Dongju, masuk ke kamarmu."

⛧⛧⛧

Aku membanting pintu di belakangku, air mata memaksa keluar, namun aku menahannya. Tak ada alasan bagiku untuk menangis, selain fakta bahwa Geonhak harus menerima hukuman yang terlalu berat bagi guru semuda dirinya. Perjalanannya masih panjang, dan dengan kesalahan kecil aku sudah merusak karir cemerlangnya.

Tanganku bergetar hebat ketika aku mendengar suara teriakan ibu dan barang pecah. Kupandangi meja belajarku, tempat aku dan Geonhak mengekspresikan perasaan terpendam. Aku begitu senang ketika ia membisikkan kalimat penuh arti itu di telingaku, namun janji tersebut hangus sebab kini ia telah pergi.

"Setelah kamu lulus, aku mau kita terus begini, tanpa ada rasa takut dan bersalah, atau bahkan sampai nikah."

⛧⛧⛧

Aku menghela nafas, menghembuskan rasa lelah dan penat yang berkumpul di benak. Aku belum sempat mengobati diri, untuk apa? Kotak pertolongan pertama ada di ruang keluarga, aku tidak mau ke sana.

Aku menolehkan kepalaku ke arah pintu, suara ibu mulai terdengar rapuh dan amarah ayah tampaknya semakin tak terkendali. Aku baru saja akan menghampiri mereka dan membela ibu ketika suara pintu utama yang dibuka dan dibanting secara kasar menggema.

"Jangan pulang lo, sialan!" teriak ibuku. Suaranya bergetar dan dipaksakan, sungguh aku ingin berlari dan memeluknya, namun gengsi yang menjalar di seluruh tubuhku menolak.

"Dongju, buka pintunya," suara lirih dari wanita itu terdengar di depan pintu kamar. Aku mengizinkannya masuk dengan menjawab bahwa pintu tak terkunci. Wanita itu mengayunkan pintu terbuka, dengan sekotak pertolongan pertama di tangannya dan air mata kering di pipinya.

"Sudah mama putuskan," ia memulai pembicaraan. Aku meringis menahan sakit ketika ia menempelkan kapas basah berisi alkohol ke lukaku. Sakitnya tak seberapa, tapi luka ini semakin perih ketika aku mengingat bahwa sosok seorang ayah yang membentuknya. "Mama dan papa bakal cerai, dan hak asuh kamu diserahin ke mama."

⛧⛧⛧

Sir PerfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang