BAB 1

21.1K 584 15
                                    

Apartment 603

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apartment 603

"Mas."

Suara lirih Laras akhirnya keluar dari bibir mungilnya. Setelah sempat sedikit menimbang, akhirnya Laras memberanikan diri untuk membuka pembicaraan. Dengan menautkan jari jemarinya untuk mengurangi kegugupan yang kini ia rasakan. Laras memutar bola matanya sekilas ke arah laki-laki yang berada di sampingnya, seorang laki-laki yang tak lain adalah kekasihnya —Evan Widaguna.

Matanya menangkap siluet tubuh Evan yang sama sekali tidak bergeming, tetap fokus dengan benda yang digenggamnya saat ini. Jarinya masih sibuk membalas pesan dari asisten pribadinya —Cristian, yang saat ini ditugaskan meninjau kawasan pengembangan resort daerah Bogor.

Mereka berdua sedang berada di kamar apartment milik Evan. Setelah melakukan aktivitas yang menguras tenaga, Evan dan Laras memilih tetap berada di kamar dengan kesibukan masing-masing. Evan dengan pekerjaannya dan Laras dengan kegundahannya.

"Mas, Bapak sakit lagi," cicit Laras menahan nafas, ketika Evan sempat menghentikan gerakan jarinya yang sedang memainkan ponsel. Artinya, Laras mendapatkan perhatian dari Evan walaupun hanya sedikit.

Harapan Laras pupus seketika melihat Evan beranjak pergi dari ranjang dan keluar kamar. Laki-laki itu mendekatkan ponsel ke telinga dan mulai berbicara dengan lawan bicara di sana.

Tarikan nafas putus asa keluar dari bibir mungil Laras. Ia memejamkan mata sejenak, ingatannya ditarik beberapa jam sebelumnya ketika Dita -adik kecilnya, yang saat ini tinggal di kampung halaman menghubungi Laras dengan nada cemas.

*Flashback

"Mbak, Bapak masuk rumah sakit lagi Mbak."

Laras bisa mendengar isakan tertahan dari adik kesayangannya. Dita yang berusia delapan belas tahun, seharusnya teman teman seusianya menikmati masa remaja justru Dita sudah harus memikul beban merawat ayah yang mulai sakit-sakitan sejak didiagnosa kanker tiga tahun silam.

"Kamu yang sabar, tugasmu di sana adalah menjaga bapak."

"Iyaa, Mbak. Hikz."

"Untuk biaya biar Mbak Laras yang urus," jawab Laras setelah jeda yang cukup lama.

Dita mengangguk dengan tetap menahan air matanya keluar, mencoba mengurangi suara tangisnya dengan menutup mulutnya tetapi tetap saja, Laras tahu bagaimana kondisi keluarganya disana.

"Iyaa, Mbak," jawab Dita.

*Flashback End

Dan disinilah Laras malam ini, mencoba kembali mencari peruntungan dengan harapan Evan masih mau membantunya kembali. Cukup memalukan memang, pasalnya ini sudah ketiga kalinya dalam setahun Bapak harus masuk rumah sakit dan semua biaya ditanggung Evan. Laras yang hanyalah seorang seketaris biasa di sebuah perusahaan percetakan kecil tidak akan mampu membayar biaya rumah sakit yang mencapai puluhan juta rupiah.

Dalam hati, Laras selalu membenarkan tentang keputusannya untuk meminta tolong Evan dalam situasi tersulitnya. Evan adalah kekasihnya yang sudah sembilan tahun bersama bahkan sejak kuliah. Bukankah hal yang wajar ketika kita meminta bantuan dengan orang terdekat?

Demi Bapak, bahkan Laras rela berlutut di kaki Evan. Memangkas rasa malunya, karena bagaimanapun nyawa Bapak adalah prioritasnya saat ini. Laras tidak mau kehilangan Bapak seperti dia dulu saat kehilangan ibunya.

Tidak akan!!

Ceklek.

Laras yang berada dalam lamunannya sedikit terkejut ketika Evan membuka pintu kamar. Laki-laki itu langsung menjatuhkan dirinya ke ranjang ke sisi sebelah Laras dengan tersenyum puas. Laras menebak Cristian memberi informasi yang memuaskan.

"Mass..."

"Butuh berapa?" tanya Evan sambil melihat Laras sekilas kemudian memalingkan wajahnya ke televisi. Evan menghidupkan televisi yang Laras tahu tidak sedikitpun mendapat perhatian darinya.

"Aku nggak tahu, tapi biasanya juga sekitaran segitu." Laras mendekatkan diri ke tubuh Evan, memeluk laki-laki yang sudah mendampinginya cukup lama, tapi tidak sedikitpun Laras merasa mampu menggapainya.

"Aku transfer lima puluh juta, cukup?" tawar Evan.

Laras mengangguk tanpa bersuara, mengerdilkan rasa malu-nya demi uang.

"Tapi ada syaratnya, karena nggak ada yang gratis."

"Apa?"

Sedetik kemudian, Evan menuntun tangan Laras mendarat di bagian tubuhnya yang sudah kembali berkedut.

"Kan tadi udah mas." Laras mencoba memindahkan tangannya namun kembali ditahan Evan. Laki-laki itu mencegah dengan tatapan kesal.

"Usaha Laras, kamu udah aku kasih maumu, sekarang giliran kamu ngasih yang aku mau kan," ucap Evan sambil menggerak-gerakkan tangan Laras sesuai dengan keinginannya.

Dengan sisa tenaga yang ada, Laras terpaksa menuruti kemauan Evan. Bagaimanapun Laras tetap berhutang budi besar pada pria arogan di depannya. Laras merangkak ke atas tubuh Evan, tangannya bergerak lincah di bagian tubuh kekasihnya yang butuh pelepasan. Memperhatikan Evan yang sedang memenjamkan mata, sebagian diri Laras merutuki dirinya yang bertingkah seperti seorang pelacur, tetapi sebagian yang lain mencoba menguatkan bahwa Evan adalah kekasihnya. Hal yang wajar mereka melakukan hal seperti ini.

"Raass .. yang bener." Evan menjambak rambut Laras, mencoba mengatur permainan ketika Laras terlihat enggan.

Plaakk..

Tamparan ringan mendarat di pipi Laras, walaupun tidak terlalu sakit tetapi ada sedikit ngilu yang muncul, bukan di pipi tetapi di hati.

LARASATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang