KETULUSAN MENTARI (CERPEN)

6 0 0
                                    

“Belum cukup,” keluh seorang pria setelah menghitung seluruh uang di meja. Kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri, pusing.

“Kan, aku sudah bilang. Pakai saja dulu uangku,” ujar gadis di hadapannya.

Chandra, seorang mahasiswa seni yang berjuang mewujudkan impian sebagai penyanyi. Kesempatan itu terbuka ketika ada ajang pencarian bakat oleh salah satu perusahaan rekaman yang namanya sudah cukup besar di dunia musik. Masalahnya, pria itu baru tahu informasinya tadi pagi, sedangkan audisi terakhir besok dan lokasinya di luar kota.
Dia berencana naik pesawat agar tidak memakan banyak waktu. Ternyata, uang hasil mengamen yang dia simpan untuk kondisi darurat itu belum cukup. Mentari, sahabatnya, sudah menawari pinjaman uang, tetapi lelaki itu sudah terlalu sering merepotkan gadis cantik yang bersamanya sejak kecil.

Demi impian, meskipun ada rasa malu dan gengsi, mau tidak mau, dia harus mengambil tawaran itu. Dalam hati terukir janji, saat kesuksesan telah digenggamnya, akan dia balas seluruh kebaikan mataharinya.

“Terima kasih, Mentari, kamu selalu membantuku.”

“Tenang saja, mataharimu ini tidak akan membiarkan rembulan meredup.”

🌸🌸🌸

Lintang mendesak maju, menerjang kerumunan yang memenuhi jalanan kampus menuju tempat parkir. Hatinya kesal meski tak terlontar melalui suara. Perjalanan yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh menit dengan semilir angin yang sejuk, kini harus ditempuh hampir setengah jam, ditambah rasa gerah karena tubuh kecilnya yang mudah terimpit dalam keramaian.

Kabar kembalinya mahasiswa seni yang telah sukses menjadi penyanyi terkenal, tak lantas membuat gadis itu kagum dan maklum dengan kemacetan yang ditimbulkan oleh para penggemar. Pihak keamanan kampus sampai tidak sanggup menghadapi mereka. Seluruh umpatan yang tertahan di benak, akhirnya tumpah pula setelah dia berhasil melewati danau manusia itu.

“Kurang kerjaan! Lagi pula, apa hebatnya seorang penyanyi? Bikin repot dan rusuh saja itu para fans kurang akhlak!” gerutunya ketika sampai di tempat tujuan.

Hatinya bertambah kesal saat melihat kaleng bekas minuman berserakan. Pasti ulah para manusia enggak ada akhlak itu! Sudah bikin rusuh, bikin kotor jalanan pula!

Dipungutnya kaleng yang hampir saja mengenai kaki. Tempat sampah besar di ujung tempat parkir menjadi sasaran. Jaraknya cukup jauh dari tempat motornya terparkir. Akhirnya, gadis itu mengambil posisi tegak dengan badan sedikit menyamping. Tatapan matanya fokus pada sasaran. Tangan kanannya memegang kaleng, yang kiri diarahkan lurus ke depan. Hitungan tiga, segera dilemparkannya kaleng sekuat tenaga.

Sial! Lemparannya terlalu kuat. Bukannya masuk ke dalam tempat sampah, justru melebihinya. Matanya terbelalak ketika melihat seseorang muncul dari balik tempat sampah sambil membawa kaleng tadi, berjalan cepat ke arahnya. Tak ada siapa-siapa lagi di tempat itu.

“Kamu yang melempar kaleng ini?” tanya orang itu setelah sampai di hadapannya.

“Maaf, Kak. Tidak sengaja. Tadinya, mau melempar ke tempat sampah, eh kebablasan. Lagian, kenapa Kakak ada di balik tempat sampah?”

Si pria tampan gelagapan ditanya seperti itu. Dipandangnya rambut hitam gadis yang tengah menunduk. Tiba-tiba, wajah si gadis mendongak, membuat kedua pandangan beradu. Menimbulkan desir halus yang baru pertama kali mereka rasakan. Samar-samar, Lintang mengenali pria di hadapannya. Wajah yang terpampang di poster.

“Chandra?”

“Ah, iya. Aku tadi sembunyi. Mereka sangat nekat. Ya, membuatku sedikit tidak nyaman.”

Kekesalan begitu cepat menjadi simpati. Ternyata kasihan juga. Dari dekat, pria itu benar-benar tampan. Wajahnya bening bercahaya, alis tebal menghiasi mata yang teduh, hidung mancung, bibir tipis menggoda, dan jangan lupakan lesung pipinya. Mungkinkah pertemuan pertama mampu mencuri hati dua anak manusia? Seolah dewa asmara telah melesitkan anak panahnya.

🌸🌸🌸

“Lintang, ini Mentari. Dia sahabat baikku sejak kecil,” kata Chandra.

“Hai, Kak Mentari,” ujar Lintang sembari mengulurkan tangan yang disambut gadis manis itu sembari tersenyum ramah.

Hari-hari berikutnya, Lintang selalu hadir di setiap momen kehidupan Chandra. Saat pria itu mengisi berbagai acara, proses rekaman lagu terbaru, makan siang, makan malam, jalan-jalan, dan berbagai aktivitas lainnya. Sang rembulan telah benar-benar terpukau dengan cahaya bintang. Tak ada malam tanpa bintang yang menemani rembulan. Meski tak ada ikatan pasti, keduanya nyaman menjalani hubungan tanpa status itu.

“Kalian pacaran?” tanya Mentari suatu hari.

“Nggak, kok, Kak,” jawab Lintang yang tak dibantah oleh Chandra.

Mentari tak melanjutkan pertanyaan meski masih menggantung rasa penasaran. Chandra, rembulannya, semakin jauh sejak kehadiran Lintang. Sejak lama, Mentari sadar perasaannya. Cinta yang terbalut topeng persahabatan. Namun, sepertinya seluruh rasa itu tak menemukan balasnya. Chandra hanya menganggapnya sahabat. Meski sabit harapan tak mau juga menyingkir dari setiap doa.

Biar saja, asal dia masih bisa bersama Chandra. Melihat senyum sang rembulan, meski bukan lagi terbit karenanya. Memandang kebahagiaan dan kesuksesan yang turut dia perjuangkan. Begitu saja, dia cukup merasa bahagia. Bukankah cinta yang tulus tak menuntut balas?

Kumpulan Karya AliyamahikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang