Surabaya, 2015
“Mama bangga sama kamu,” kata Rani pada Hazel–putrinya, “tapi sebenarnya Mama ingin kamu jadi guru, Nak,” sambungnya.
Hazel–yang bosan mendengar keinginan mamanya–tidak menanggapi. Gadis berambut cokelat sebahu itu hanya diam sambil terus memasukkan pakaian ke dalam koper hitam. Dia akan pergi ke England untuk kuliah hukum–sesuai impiannya–setelah dinyatakan lolos dan berhasil mendapatkan beasiswa.
“Zel, apa kamu sudah yakin dengan keputusan ini?”
Hazel yang mendengar pertanyaan Rani dengan intonasi ragu, mendekati mamanya itu.
“Hazel yakin, Ma. Ini impian Hazel sejak dulu. Kuliah di luar negeri, lalu menjadi pengacara hebat dan terkenal. Mama harus percaya sama Hazel,” ucapnya lembut.
“Tapi, Zel, dunia hukum itu kejam. Sekali kamu salah melangkah, bukan hanya kamu yang rugi, tapi orang di sekitarmu juga,” nasihat Rani khawatir.
“Ya ampun, Mama. Hazel, kan, pergi kuliah agar tidak salah langkah. Mama ini terlalu parno, suka memikirkan hal yang aneh-aneh,” jelas gadis yang sudah selesai bersiap itu sambil terkekeh pelan.
Teriakan Safir–kakak Hazel–terdengar, menyuruhnya agar cepat karena takut ketinggalan pesawat.
“Tuh, Kak Safir sudah teriak-teriak. Hazel berangkat, ya, Ma. Doakan Hazel, semoga berhasil. Di sini, Mama juga harus jaga diri baik-baik.”
Hazel mencium punggung tangan Rani. Wanita yang telah melahirkannya itu membalas dengan pelukan erat dan ciuman hangat di kedua pipi dan kening. Saat kakinya tengah melangkah, Rani memanggilnya, “Hazel ....”
Gadis itu menoleh sembari menyahut, “Ya?”
“Jangan lupa makan yang teratur.”
Hazel tersenyum semanis mungkin sebelum kembali melenggang pergi.🍁🍁🍁
London, 2018
Seorang gadis mematung dengan tangan yang masih menggenggam gagang telepon. Gadis cantik itu lantas meninggalkan telepon tersebut tanpa mengembalikan ke tempatnya. Ia berlari tergesa-gesa.🍁🍁🍁
Surabaya, 2018
Langkahnya terasa berat saat memasuki rumah mewah bercat abu-abu, hingga akhirnya berhenti di depan kamar dengan pintu kayu jati yang sedikit terbuka.
“Ma ...,” ucapnya sedikit terisak sembari berjalan mendekat ke arah seorang wanita yang terbaring lemah di ranjang tempat tidur.
“Ma, Hazel sudah pulang” bisik gadis itu sambil mengecup kening mamanya.
“Zel, maafkan Kakak, ya, enggak bisa datang ke acara wisuda kamu,” ujar Safir sedih.
“Enggak, Kak. Kakak jangan minta maaf. Hazel yang harusnya minta maaf karena baru bisa pulang hari ini,” jawab Hazel berbalut sesal, “maafkan Hazel, ya, Kak, Ma ....”
Rani tersenyum mendengar perkataan putrinya, begitu juga dengan Safir.
“Hazel ...,” panggil Rani lirih.
Hazel yang mendengar panggilan mamanya itu segera mendekat.
“Ya, Ma?”
“Ada yang ingin Mama omongin sama kamu,” kata Rani lemah, “Zel, kamu tahu, alasan Mama melarang kamu jadi pengacara?” sambungnya sambil menatap dua bola mata putrinya.
Hazel menggelengkan kepala sebelum bertanya, “Apa?”
“Mama enggak ingin kehilangan kamu.” Kalimat yang terlontar dari mulut Rani membuat Hazel bingung.
“Maksudnya?”
“Papa kamu meninggal ... bukan karena sakit, tapi ... dibunuh.” Air mata wanita berusia separuh abad itu berjatuhan.
Hazel terlonjak kaget karena pernyataan mamanya.
“Zel ..., Mama ingin kamu jadi guru.”
Rani menyentuh bahu putrinya, membuat gadis itu tersentak.🍁🍁🍁
Pagi ini, gerimis turun menyelimuti. Seolah menggambarkan kesedihan hati seorang gadis yang tengah berjalan susah payah menuju pemakaman mamanya. Ia tak menyangka, kemarin adalah hari terakhir bicara dengan wanita yang sangat dicintainya.
“Sudah, Zel,” kata Safir, mengelus lembut rambut adik kesayangannya.
“Kak ..., Kakak tau ... kenapa Papa ... dibunuh?” tanya Hazel tersengal-sengal.
Safir mengangguk sebelum berkata, “Ayo kita pulang. Nanti Kakak ceritakan di rumah.”
Hazel menatap kakaknya lekat, menunggu cowok beriris hijau–mewarisi warna mata papa mereka–bercerita.
“Papa seorang pengacara.” Kalimat pertama Safir membuat mulut Hazel ternganga.
“Papa adalah pengacara terkenal di masanya. Setiap kasus yang ditangani selalu berhasil dimenangkan. Hingga suatu saat, Papa mendapat klien dari Hongkong.”
Kedua netra Safir menerawang, mencoba menghadirkan kembali memori yang tersimpan rapat. Mengalirlah kisah kelam keluarganya saat Hazel masih dalam kandungan.
Mr. Hamish Baird harus menghadapi sebuah kasus yang rumit. Kliennya dituduh sebagai pembunuh. Seluruh tenaga dan pikiran dikerahkannya untuk membebaskan klien dari tuduhan. Sesuatu yang hampir mustahil terjadi. Pelaku sebenarnya–yang memang seorang pembunuh bayaran kelas kakap–akhirnya berhasil terjebak dan terungkap. Polisi segera menangkapnya dan pengadilan memberi vonis mati.
Naasnya, tiga hari setelah kasus selesai, Rani justru mendapat kabar dari negeri seberang sana, bahwa sang suami ditemukan tergeletak di apartemennya. Sebuah peluru tertanam tepat di jantungnya.
“Apa hubungan kasus itu dengan kematian Papa?” sela Hazel tak sabar dengan cerita kakaknya.
“Setelah diselidiki berbulan-bulan, pelakunya adalah anak pembunuh bayaran yang berhasil dijebak Papa. Itu sebabnya, Mama bilang kalau dunia hukum itu kejam. Bagaimanapun, keputusan di tangan kamu. Kamu sudah dewasa, Zel. Kakak yakin, kamu pasti tahu mana yang terbaik buat dirimu sendiri.”
Safir menatap Hazel hangat.🍁🍁🍁
London, 2020
“Azure,” panggil cowok tinggi berkulit putih dengan iris mata berwarna biru. Gadis dengan rambut cokelat sebahu menoleh, mendapati rekan kerjanya tersenyum. “Ini, aku menemukan bukti kuat yang bisa membantu di pengadilan.”
“Thank’s, Eiden.”
“It’s ok! Kudengar, kamu akan pulang ke Indonesia?”
“Hmm ... ya, tapi setelah kasus ini selesai.”
“Apa kamu akan kembali lagi ke sini?”
“Belum kuputuskan, masih bingung.”
“Apa pun keputusanmu, semoga itu yang terbaik.”
Hazel tersenyum lebar pada Eiden, menyiratkan terima kasih mendalam.🍁🍁🍁
Dua tahun cukup membuat Hazel merasa puas mewujudkan impiannya menjadi seorang pengacara muda dengan karier yang bersinar. Darah pengacara Mr. Hamish, ternyata mengalir deras pada diri Hazel. Kecerdasan, ketelitian, dan kegigihan menyelesaikan kasus sangat persis dengan papanya.
Separuh hati Hazel bertaut pada negeri yang mewujudkan impiannya ini. Begitu berat meninggalkan seluruh kejayaan dan kenangan di sini. Langkahnya terasa gontai.
“Aku hanya refreshing, kok,” kata Hazel terkekeh.
“England selalu terbuka untukmu, Azure,” ujar Eiden seraya memeluk sahabatnya.
“I’ll be back!”
Hazel melambaikan tangannya dan melangkah pergi sambil menyeret koper hitam di tangan kirinya.🍁🍁🍁
Surabaya, 2020
Banyak pasang mata tertegun melihat kecantikan yang diciptakan Tuhan. Gadis berhidung mancung dengan kulit kuning langsat dan senyum menawan, membuat siapa saja tersihir melihatnya. Gaya kasual membuatnya terlihat stylish. Kemeja putih dimasukkan celana hitam panjang, kaki tertutup sepatu kets. Kaca mata hitam yang terpasang di wajahnya, menambah nilai tersendiri.
Tak jarang, siulan-siulan jahil terdengar. Gadis itu tak peduli, terus melangkah yakin tanpa keraguan. Entah apa yang membuatnya mengambil keputusan ini. Yang pasti, alasan kuat itu tidak hanya tertanam di pikirannya, melainkan telah mengakar di hati. Bersama seorang wanita yang sudah bersedia membantunya berada di sini, gadis itu masuk ke sebuah ruangan yang semakin riuh.
“Ehem.”
Deheman yang sengaja dibuat itu tak cukup ampuh membuat keadaan di sekitarnya menjadi tenang. Hingga wanita di sebelahnya harus ikut andil.
“Bisa minta waktunya sebentar,” seru wanita itu dengan suara lantang.
Perhatian semua yang ada dalam ruangan itu akhirnya tertuju pada mereka. Gadis itu melepas kaca mata hitam dan memasukkannya ke saku. Bisikan-bisikan tanda tanya tentangnya mulai terdengar, sekaligus rasa kagum akan kecantikannya yang alami. Si wanita mempersilakan si gadis untuk bicara.
“Hai,” sapanya singkat sambil memamerkan senyum ramah, “perkenalkan nama saya Hazel Azure, guru baru kalian yang sekaligus menggantikan wali kelas sebelumnya.”
Tatapan heran dan tak percaya dari siswa-siswi kelas itu tertuju padanya.
“Guru? Saya kira artis Hollywood nyasar,” celetuk seorang siswa, membuat Hazel teringat masa lalunya.
Keputusannya memenuhi wasiat mamanya untuk menjadi guru sudah dirasa tepat, meski kecintaan pada profesi pengacara masih sama. Dengan bantuan sahabat mamanya yang kini menjabat sebagai kepala sekolah di SMA-nya dulu, dia bisa mewujudkan keinginan sang mama. Ia sengaja memilih mengajar di sini, sekolahnya dulu yang terkenal dengan siswa-siswi pembuat keonaran namun menyimpan berjuta kenangan.
Hazel pernah menjadi bagian dari sekolah ini. Dari pengalamannya sebagai siswi dengan julukan “Bandel Brilian”, ia ingin menjadi pendidik sekaligus sahabat untuk semua muridnya. Kini, gadis itu harus menghadapi anak-anak sepertinya dulu. Hari-hari penuh kejutan telah menanti.-----
Nama Lengkap: Karisma Nisaul Mukarromah
ID Instagram:@krsnm_29
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Karya Aliyamahika
PoetryBerisi kumpulan tulisan anak-anak Aliyamahika yang mengikuti ektra sastra. Masih belajar untuk menulis dengan baik dan menghasilkan karya yang baik.