Rinai hujan menyamarkan bulir bening di pipi apelnya yang menyisakan berjuta penyesalan, terbalut dalam kepedihan, imbas jiwa yang kehilangan. Bahkan, kakinya hanya mematung meski rindu yang memburu telah menemukan jalan berlabuh. Malu. Takut. Berbagai kekalutan rasa bagai teraduk ketika netra gadis itu membiaskan sosok pria yang telah renta.
Baru saja dia menginjakkan kaki di kampung halaman setelah bertahun-tahun menuntaskan impian di ibu kota. Kepergiannya saat itu beriring sunyi dan diam. Tak ada salam, pamit, pun permohonan doa. Ego seorang gadis yang merasa telah dewasa dan berhak menentukan jalan hidup sendiri. Gemuruh kesal atas terbantahnya keinginan, menjelma badai amarah hingga meluluh lantakkan seluruh bakti dan kasih sayang.
Kini, ketika segala impian menampakkan wujudnya, kalbunya justru hampa. Seperti tak ada artinya lagi titian puncak yang telah diraih. Seolah runtuh segala kebanggaan yang sebelumnya begitu memenuhi dada. Kesuksesan yang sebelumnya dipenuhi kepercayaan diri dapat menjadi tebusan senyum orang tercinta, kini tak ada gunanya.
Gundukan tanah yang masih bertabur bunga, nisan putih pertanda baru, dan sosok renta yang setia berdoa. Pemandangan itu tak pernah sedetik pun terbayang, justru harus terpampang nyata di hadapan. Betapa hancur hatinya mengetahui bahwa wanita yang telah melahirkannya telah tiada tiga hari lalu. Meninggalkannya tanpa salam seperti yang ia lakukan beberapa tahun silam.
"Dik Kinasih, kan?" tegur seorang pemuda dengan payung biru di tangan, terpaksa membuat gadis itu menoleh. "Dik Kinasih ngapain hujan-hujan di sini? Mau ke makam Bulik, toh?"
"Eh, Mas Karyo. Iya, saya tadi mau ke makam Mae, tapi ada Pae."
Pemuda bernama Karyo itu mengernyit heran. Apa masalahnya? Pertanyaan yang akhirnya hanya tertahan di kerongkongan. Air mata yang tersamar telah jelas terlihat. Mudah bagi Karyo memahami situasi. Dia adalah saksi pedih dan terlukanya kedua orang tua Kinasih masa itu. Dia pula menyaksikan berubahnya kedua orang tua penuh canda dan tawa itu menjadi sosok yang begitu pemurung dan pendiam. Jiwa mereka telah pergi bersama si anak gadis.
"Dik Kinasih mau saya antar saja ke sana?"
"Ah, ndak usah, Mas. Saya belum siap ketemu Pae."
"Bukannya sampean pulang ya untuk ketemu?"
"Iya. Bahkan, sudah saya rencanakan semua hal yang akan saya lakukan. Ternyata ... semua itu ...."
Karyo membiarkan gadis di sampingnya menumpahkan seluruh sesal dan sesak di dada.
Kalau saja Kinasih tahu, betapa rumah yang telah ditinggalkan itu kehilangan cahayanya. Redup. Suram. Meski pemuda itu juga menyaksikan, bahwa doa tak pernah padam memenuhi langit-langit rumah itu. Doa tulus dari hati penuh cinta pada putri semata wayang yang sejatinya telah menorehkan luka.
Hujan telah reda. Pria renta di pusara juga telah beranjak pulang. Menyisakan Kinasih yang masih tergugu di atas gundukan tanah basah, juga Karyo yang tak kunjung berlalu, walau hanya diam. Hingga hari telah menerkam sang mentari, barulah Karyo membujuk sepupunya itu pulang.
"Paklik itu rindu juga, loh, sama Dik Kinasih. Saat ini, hatinya pasti sedang sangat rapuh. Kalau lihat Dik Kinasih pulang, pasti bisa membuatnya lebih kuat."
"Saya sudah membuat Pae kecewa, Mas. Saya malu, takut. Bagaimana kalau Pae masih marah? Bagaimana kalau kedatanganku justru membuatnya semakin sedih?"
"Yakin sama saya, Dik. Saya menemani Paklik dan Bulik selama Dik Kinasih pergi, jadi saya tahu."
Kinasih mengusap sisa air mata di pipinya sebelum mengikuti langkah Karyo. Duh Gusti, tolong hamba-Mu ini. Izinkan hamba menerbitkan kembali keindahan raut wajah Pae.*****
Langkah yang tak lagi tegap terlihat bergetar ketika menyaksikan sosok yang senantiasa memenuhi relung cinta dan rindu. Simpuh sujud penuh lontaran kata maaf dan air mata bukanlah hal yang ia harapkan. Dengan gemetar, kedua tangannya merengkuh bahu yang juga terguncang dalam isak.
Cahaya redup yang seolah padam seiring kepergian istri tercinta, kini kembali menyinari setiap sudut kalbunya. Kinasih yang menyalakan sinar itu. Cukuplah bagi tubuh rentanya menerima kebahagiaan tanpa mengingat rasa kecewa dan sakit hati. Kebanggaannya telah kembali, dengan segudang kesuksesan yang berhasil diraih.
"Kinasih sudah mengecewakan Mae dan Pae. Kinasih sudah jadi anak durhaka. Bahkan, kata maaf pun rasanya begitu malu untuk diucapkan."
"Pae dan Mae sudah memaafkan, Nduk. Di akhir hidupnya, Mae sudah bangga melihatmu sukses meraih impian."
"Itu bukan impian, Pae. Itu hanya ambisi. Impian sesungguhnya justru terabaikan.
Impian sejak Kinasih kecil."
Pae tersenyum mendengar penuturan putrinya. Ternyata, gadis itu masih menggenggam impian masa kecilnya meski sempat terpengaruh pergaulan dan lingkungan. Kebanggaannya berlipat saat sorot penuh tekad terpancar dari kedua mata Kinasih. Sorot yang sama ketika Kinasih kecil mengucapkan impian murninya.
"Itu artinya, kamu mau pergi lagi, Nduk?"
"Ndak, Pae. Kinasih akan tetap di sini. Kinasih bisa mewujudkan impian itu di sini, sambil menemani Pae."
"Ndak, Nduk. Kali ini, kamu harus pergi. Pae ikhlas, rela, merestui, dan selalu mendoakan. Impianmu itu adalah impian Pae dan Mae."
Sedikit pun tak terbesit keinginan untuk pergi lagi di hati Kinasih. Dulu, Pae dan Mae melarang keras dia pergi demi ambisi yang justru membawa kehampaan dan penyesalan. Kini, Pae justru menyuruhnya pergi demi impiannya, impian Pae dan Mae. Dia memang harus pergi, dulu dan kini. Dulu, demi menyadari keinginan sanubari yang murni. Kini, demi menuntaskan impian yang telah tertanam sejak dini.
"Bagaimana Kinasih bisa meninggalkan Pae sendirian? Biarkan Kinasih di sini saja,
Pae."
"Kamu ndak usah khawatir. Ada Karyo di sini."
Kinasih memeluk erat Pae. Hatinya lebih mantap dan tenang. Bismillah. Ya Allah, izinkan hamba menebus segala kesalahan dan dosa. Hamba memohon pertolongan-Mu untuk terwujudnya impian ini.*****
Kinasih melangkah mantap membawa kopernya menuju rumah joglo di tengah-tengah deret bangunan asrama santri putri dan gedung madrasah. Ummi Jamilah, pengasuh pesantren yang juga adik bungsu Pae, berjalan mengiringinya. Beberapa pasang mata yang melihatnya langsung berbisik-bisik. Gadis itu tampak mencolok di lingkungan mereka. Beberapa ada yang merasa pernah melihat, tapi ragu.
"Nduk, kamu sudah mantap dengan niatmu?" tanya Ummi Jamilah ketika mereka sudah sampai dan duduk di teras rumah joglo.
"Sampun, Bulik."
"Bulik ndak akan membedakan kamu dengan santri-santri yang lain."
"Nggih, Bulik. Kinasih paham."
"Ya sudah, biar nanti kamu diantar ketua pengurus ke kamar."
Kehidupan baru Kinasih dimulai demi impian sejati, bukan sekadar ambisi sesaat karena pengaruh dari orang lain tapi bertentangan dengan sanubari. Dia paham, tak mudah mengubah pergaulan, adaptasi dalam lingkungan, juga menyesuaikan diri dengan aktivitas baru. Di tempat ini, makna kehidupan sesungguhnya akan dia titi.
Impiannya bukan untuk gelimang popularitas, persaingan demi kepuasan fana, juga harta yang rasanya tak memenuhi hasrat jiwanya. Impiannya bukan lagi menuju puncak titian dunia yang pada akhirnya akan membantingnya jatuh sedalam-dalamnya. Impian sejatinya adalah memberi mahkota untuk kedua orang tuanya, Pae dan Mae. Bukan mahkota berhias perhiasan dunia, melainkan mahkota surga.
Usia gadis itu tak lagi remaja, berbeda dengan santri lainnya yang masih berstatus anak sekolah. Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk terus belajar mengasah kepribadian baik dan kefasihan lisan melantunkan ayat-ayat suci-Nya. Dia tak merasa rendah saat ditegur pengurus santri yang berusia jauh lebih muda karena melakukan kesalahan. Tak ada rasa malu pula saat harus bekerja bakti membersihkan seluruh area pesantren bersama para santri setiap hari Jumat.
Gadis itu pernah salah kira, menganggap ambisinya menjadi model di ibu kota sebagai impian hingga berani mengambil langkah yang jauh dari berkah. Ternyata, ketika semua itu terwujud, hatinya justru jauh dari bahagia. Impian sejati tak akan pernah membuat seseorang merasa hampa ketika meraihnya. Impian sejati tak akan pernah membuat seseorang mengubah kebaikan hatinya. Jika tidak begitu, maka itu hanya ambisi semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Karya Aliyamahika
PoesíaBerisi kumpulan tulisan anak-anak Aliyamahika yang mengikuti ektra sastra. Masih belajar untuk menulis dengan baik dan menghasilkan karya yang baik.