"Wis mesti garis dua!"
"Mugo-mugo yo, Dik. Besok pagi dicek."
Obrolanku dengan Mas Qomar menutup malam yang mendebarkan. Besok pagi, hal yang kuyakini akan terbukti. Mbah Kung pasti tidak akan nesu lagi kalau mengetahui kabar bahagia esok hari. Pasalnya, demi tujuan ini, aku sampai harus membantah lelaki yang sudah merawatku selama 15 tahun itu. Bukan maksudku ingin menyakitinya, justru aku ingin segera membahagiakannya.
Mbah Kung satu-satunya keluarga yang kupunya sepeninggal bapak dan ibu. Dia yang menemaniku melewati masa trauma, patah hati pertamaku. Begitu sayangnya padaku, semua yang kuinginkan pasti terpenuhi. Terkadang langsung dikabulkan, tak jarang pula harus melewati perdebatan.
Bagiku, berselisih paham itu wajar. Aku juga masih mau menerima pendapat Mbah Kung selama sesuai dengan logika. Tapi jika keinginan terhalang oleh hal-hal yang tidak masuk akal, aku akan teguh melawannya. Akan kubuktikan bahwa pemikiranku yang benar. Pemikiran kuno tidak selalu cocok untuk diterapkan pada masa sekarang.
Puncak perselisihanku dengan Mbah Kung adalah ketika menentukan tanggal pernikahan. Aku sudah memiliki perencanaan hidup dengan menentukan target. Kapan harus lulus kuliah, punya pacar, mulai bekerja, menikah, hingga tentang anak, sudah kurencanakan. Oleh karena itu, aku terbiasa teliti dan fokus dalam melakukan sesuatu agar semua target tercapai. Sejauh ini, perhitunganku selalu tepat!
Mengenai pernikahan, aku beruntung memiliki Mas Qomar yang selalu sabar dan mengalah. Ah, lebih tepatnya memang sengaja kupilih yang sifatnya begitu. Bukannya sombong, tapi wajah ayu keturunan kembang desa Sendang Kidul ini terbukti dapat memikat hati lelaki. Ditambah Mbah Kung yang termasuk orang terpandang, membuatku tak perlu susah payah mencari pendampung hidup. Mereka yang datang, aku tinggal memilih.
Sesuai dengan perhitungan yang kulakukan agar target menikah dan punya anak terpenuhi, sudah kutetapkan bahwa pernikahan harus dilakukan pada masa suburku di bulan Januari. Anak pertamaku akan lahir pada bulan Oktober, sama dengan bulan kelahiran almarhumah ibu. Keinginan itu kuutarakan pada Mas Qomar, dia setuju. Sayangnya, Mbah Kung punya perhitungan sendiri yang aku sama sekali tak mengerti. Awalnya kusimak saja penjelasan mbahku itu.
"Neptu Qomar dan Kinasih jumlahnya 28. Sesuai perhitungan, menikahnya bagus di hari Selasa Pon, Jumat Wage, Minggu Legi, Kamis Pon, Rabu Kliwon, atau Jumat Pahing," jelas si mbah sambil menunjukkan tabel-tabel yang tidak kupahami dan selembar kalender. Aku dan Mas Qomar ikut melihat kalender untuk mencari tanggal yang sesuai dengan pilihan hari yang disebutkan Mbah Kung. Mataku fokus pada kisaran tanggal 20-24. Menurut perhitungan medis, masa suburku berkisar antara tanggal 20-28. Puncaknya diperkirakan tanggal 24-25.
"Emange harus hari-hari itu ya, Mbah?" tanyaku sedikit nesu karena tak menemukan 'hari baik' itu pada tanggal yang kuinginkan.
"Belum selesai, Nduk. Masih harus disaring lagi."
"Walah!" keluhku.
Mbah Kung kembali fokus, bergantian melihat catatan dan kalender. Kalau bukan karena nasihat Mas Qomar agar aku menghargai Mbah Kung, sudah kutentang sejak awal penentuan tanggal pernikahan dengan cara ini. Jemari keriput Mbah Kung lincah menulis angka-angka di buku, disambung dengan menorehkan tanda silang di kalender. Aku hanya diam, mengunggu dengan rasa cemas. Duh Gusti! Banyak sekali tanggal yang disilang! Mas Qomar memberi isyarat agar aku tenang saat melihat ekspersi protes di wajahku.
"Wis ketemu, Nduk," seru Mbah Kung. "Hari paling apik buat kalian menikah itu Rabu Kliwon, 23 Jumadilawal. Neptu-nya bagus, ketemu angka 1, sandang. Itu pertanda baik," sambungnya menjelaskan sesuatu yang tetap saja tidak kupahami.
Kulihat kalender, mencocokkan tanggal yang disebutkan si mbah dengan waktu masehinya.
"30 Januari, Mbah?" seruku panik.
Mbah Kung mengangguk sembari menyeruput kopi hitamnya. Aku melirik Mas Qomar, dia justru mengangguk. Oh tidak! Bisa kacau rencanaku kalau menikah tanggal 30 Januari. Masa suburku sudah lewat. Aku tidak akan langsung hamil setelah menikah. Rencana memiliki anak yang lahir bulan Oktober juga terancam gagal.
"Kalau antara tanggal 20 sampai 24, bisa ndak, Mbah?" negoku.
"Kenapa toh, Dik? Kok harus di antara tanggal itu?" Pertanyaan Mas Qomar membuatku gemas. Mana mungkin aku harus menjelaskan alasannya, laki-laki mana paham!
"Pokoknya harus di antara tanggal itu, Mas! Kalau bisa tanggal 23 atau 24, Mbah."
"Ojo, Nduk! Itu hari buruk! Apalagi neptu-nya 4 dan 5," larang Mbah Kung, kembali menyebut neptu.
"Semua hari itu baik, Mbah. Ndak ada hari buruk," tukasku.
"Wis tradisi, Nduk. Ora apik melanggar petuah orang jaman dulu."
"Kinasih sudah punya perhitungan sendiri, Mbah! Perhitungan Kinasih lebih logis dan sesuai dengan ilmu pengetahuan. Bukan berdasarkan hal ndak jelas seperti ini."
"Kamu tak sekolahkan itu bukan buat sok keminter, Kinasih!" tegas Mbah Kung dengan menyebut namaku, pertanda tak ingin didebat. Tapi aku masih ngeyel.
"Ya percuma sekolah tinggi kalau masih dibodohi dengan mitos!" seruku tak mau kalah.
"Adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Percuma ilmu tinggi tapi ndak punya adab."
"Dik, wis, tenang dulu," ujar Mas Qomar.
"Pokoknya Kinasih mau menikah tanggal 24 Januari!" bentakku, tanpa sengaja.
Mbah Kung tau sifatku yang keras kepala. Aku yakin, dia pasti akhirnya mengalah. Setelah menghabiskan kopi hitam di dalam gelas blirik, Mbah Kung berdiri.
"Sudah diputuskan, toh. Akhire yo koe yang menjalani, Nduk. Atur saja semaumu," tukasnya sebelum meninggalkanku dan Mas Qomar di ruang tamu.
Pernikahanku dan Mas Qomar akhirnya terlaksana sesuai dengan rencanaku. Kami sendiri yang menyiapkan serba-serbi pernikahan. Mbah Kung seolah lepas tangan dari acara ini, meski tetap menjalankan tugas sebagai wali nikah. Yang tak pernah kuduga, perselisihan kala itu menghancurkan keharmonisanku dengan Mbah Kung. Kami tinggal serumah, tapi hampir tak pernah bertegur sapa. Mbah Kung lebih sering mengunci diri di kamar.
Ada rasa penyesalan di hatiku. Apa aku keterlaluan? Baru kali ini Mbah Kung seperti ini. Mas Qomar seringkali menasihatiku agar mau minta maaf pada Mbah Kung. Tapi aku memiliki pendapat lain. Nanti, saat aku hamil, sikap Mbah Kung pasti akan kembali seperti dulu. Aku sangat yakin akan langsung hamil setelah menikah. Bukan tanpa alasan aku memilih tanggal pernikahan sendiri. Semua itu sudah sesuai rencana dan diskusi dengan dokter kandungan.
Rasa percaya diriku memuncak ketika aku telat haid. Benar kan perhitunganku! Selama ini, aku tidak pernah salah dalam mengambil keputusan. Mas Qomar juga sangat bahagia mengetahui aku langsung telat haid. Dia membelikanku testpack untuk memastikan kehamilan. Aku menunggu hingga seminggu telat, begitu saran dari teman-teman. Dan besok pagi, saatnya kugunakan alat pendeteksi kehamilan itu. Malam ini, aku tidur nyenyak dalam dekapan suami.🥀🥀🥀
"Wis, Dik. Cep. Ndak apa-apa. Lagian kan kita baru menikah, masih banyak waktu."
Aku terus menangis dalam pelukan Mas Qomar. Terpukul sekali rasanya hati ini melihat satu garis merah tertoreh pada alat putih kecil yang kugunakan tadi pagi. Ditambah lagi penjelasan dokter kandungan yang menegaskan bahwa memang tidak ada janin dalam rahimku.
"Siklus haid berubah setelah menikah itu hal yang wajar, Bu. Ada perubahan hormon dalam diri Ibu. Tidak perlu dipikirkan. Semuanya baik-baik saja."
Perkataan dokter itu justru membuatku semakin terluka. Semua sudah kuperhitungkan dengan matang! Apa yang salah? Setelah keyakinanku mencapai puncak teratas, harapan melangit tinggi, justru saat ini terbanting jatuh tanpa ada yang menangkapnya. Sesaknya dada, lukanya hati, koyaknya jiwa, begitu menyakitkan.
"Dik. Anak adalah rejeki dari Gusti Pengeran. Ndak ada yang harus disesali."
Bukan kenyataan bahwa aku belum hamil yang menyakitkan. Toh, kata dokter, aku baik-baik saja. Usia pernikahanku juga baru seumur jagung. Yang menyakitkan adalah saat tersadar bahwa sesuatu yang kubanggakan selama ini, justru mengecewakan. Harapan yang membumbung tinggi, tiba-tiba terpelanting begitu saja. Keyakinan logika yang kokoh, terpatahkan dalam sekejap. Rencana matang yang telah kupertahankan hingga merenggangkan hubunganku dengan Mbah Kung, justru meleset.
Demi logika, aku telah menyakiti hati orang yang sangat mencintaiku. Melihat orang tercinta sakit saja sebenarnya sudah menyakitkan, apalagi sakit itu justru karena aku. Kesombongan menggelapkan nurani. Harapan yang hanya bergantung pada logika, tanpa melibatkan-Nya. Duh, Gusti Pengeran, mohon ampunan. Salahku berharap pada makhluk-Mu.
"Mas. Aku harus minta maaf pada Mbah Kung. Aku wis salah, Mas," rengekku pada Mas Qomar beriring dengan sisa isakan.
"Ya, Dik. Ayo kita temui Mbah Kung."
Mas Qomar menuntunku menuju depan kamar Mbah Kung. Dia mengetuk pintu sambil memanggil si mbah. Cukup lama, baru pintu terbuka. Tubuhku segera bersimpuh di kaki Mbah Kung. Tangisku semakin pecah hingga kata 'maaf' saja tertahan di kerongkongan. Mbah Kung mengangkat tubuhku agar berdiri.
"Ada apa, Nduk? Kok sampai mesesek kayak gini? Ayo duduk dulu, tenangkan diri dulu."
Mbah Kung mengarahkanku agar duduk di tepi tempat tidurnya. Mas Qomar mengikuti dari belakang. Kuteguk air putih yang diberikan Mbah Kung sembari mengatur napas. Setelah tenang, barulah suaraku bisa keluar.
"Maafkan Kinasih, Mbah. Kinasih salah. Kinasih ndak nurut sama Mbah Kung."
"Mbah maafkan, Nduk. Tapi ada apa ini?"
Aku terdiam, menoleh pada suamiku. Memberi isyarat agar dia yang menjelaskan.
"Mbah, sebenarnya, Kinasih dulu ngotot menentukan tanggal pernikahan sendiri sampai membantah Mbah Kung karena ada alasannya. Dia sudah merencanakan kehamilan sejak sebelum menikah. Kinasih bahkan konsultasi dengan dokter agar bisa langsung hamil setelah menikah, agar Mbah Kung segera punya cicit."
Mbah Kung hanya diam mendengar penjelasan Mas Qomar.
"Kinasih ndak bermaksud menyakiti Mbah Kung, bahkan dia ingin membahagiakan Mbah dengan segera memberi cicit. Tapi Gusti Pengeran berkehendak lain. Kinasih belum hamil," lanjut Mas Qomar.
Mbah Kung kembali terdiam cukup lama, sebelum membuka suara. Tangannya tak henti mengelus rambutku.
"Mbah sudah memaafkanmu, Nduk. Sebenarnya bukan masalah tanggal berapa kamu menikah, tapi adanya rasa sombong yang Mbah rasakan itu membuat Mbah sedih," ungkap Mbah Kung dengan suara bergetar. Tangisku kembali pecah mendengarnya.
"Nduk, ilmumu memang harus luas, pemikiranmu memang harus tajam. Tapi ingat, ada Sang Hyang Widhi, Sang Pencipta yang mengatur semuanya. Ilmu manusia itu ndak ada apa-apanya dibanding ilmu Gusti Pengeran. Dan menggantungkan harapan hanya kepada makhluk, sudah pasti harus siap menanggung kekecewaan. Wis, cep, Cah Ayu. Sudah, jangan nangis lagi. Tawakal, Nduk. Itu kunci agar ndak mengalami patah hati."
"Kinasih ndak patah hati, Mbah. Kayak anak muda saja."
"Lah, rasa kecewa karena harapan yang ndak jadi nyata ini kan patah hati namanya. Khekhekhe...," kekeh Mbah Kung sambil mencubit hidungku yang merah. "Duh, kena ingus," imbuhnya membuatku tersenyum malu.
Senja ini, Mbah Kung kembali menyembuhkan patah hatiku. Patah hati pertama saat kehilangan orang tua, Mbah Kung pula yang mengobatinya. Memang, tak ada yang lebih berkuasa melainkan Gusti Pengeran semata. Maka, jika mengharapkan sesuatu, jangan pernah mengabaikan-Nya. Pasrahkan segalanya pada Yang Mahakuasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Karya Aliyamahika
PoetryBerisi kumpulan tulisan anak-anak Aliyamahika yang mengikuti ektra sastra. Masih belajar untuk menulis dengan baik dan menghasilkan karya yang baik.