Ini cerita pada era belum semua orang memiliki smartphone. Hanya ada handphone yang cuma bisa untuk telepon dan SMS.
Namanya Mas Gambang, kami sudah bertunangan setahun yang lalu. Rencananya, bulan depan akan kami gelar acara pernikahan. Karena tuntutan pekerjaan, tunanganku itu harus ke luar kota selama dua minggu. Dengan sangat berat hati, kulepas kepergiannya.
Komunikasi kami tetap lancar dengan adanya HP. Mas Gambang selalu kirim pesan setiap pagi dan malam. Sengaja tidak telepon untuk menghemat pengeluaran.
Malam itu, keluarga besar berkumpul membahas persiapan acara pernikahan. Para paklik dan bulik datang ke rumah, lengkap bersama krucil-krucilnya, diskusi acara mantu pertama kakang mas mereka.
Obrolan kami disela tingkah riweuh para sepupuku yang ceria. Berlarian, kejar-kejaran, ambil makanan, lari lagi, sembunyi di balik gorden, yang lain sibuk mencari dengan meneriakkan nama yang dicari, ambil makanan, teriak-teriak lagi.
“Weh, main di luar sana!” bentak Bulik Iroh pada Agus, anaknya, yang mondar-mandir di sekitarnya.
Namanya anak-anak, dibentak gitu ya tobatnya sebentar. Beberapa menit main di luar, merambah lagi ke dalam. Bulik Iroh akhirnya memanggil Agus sambil mengeluarkan gembot dari tas.
“Main ini saja! Ke kamar Mbak Laras sana!” selorohnya sambil menyerahkan mainan.
Agus, Jenaka, Cece, dan Ipang langsung antusias menuju kamarku. Kami bisa melanjutkan obrolan dengan tenang sambil bercanda tawa. Tak berapa lama, para krucil itu kembali bikin riweuh. Ternyata, baterai gembot habis.
“Ya wes, pakai HP Mbak Laras saja mainnya.”
Kunyalakan ponsel dan membuka ikon permainan. Mereka lebih antusias lagi dengan “mainan” baru itu. Biasanya, orang tua mereka tidak akan mengizinkan.
Obrolan selesai saat jam dinding menunjuk angka sebelas dan dua belas. Anak-anak sudah tertidur lelap. Aku ikut mengantar kepulangan adik-adiknya bapak itu dari teras rumah. Rasa kantuk dan lelah membuatku ingin segera memejamkan mata.
Kulihat ponsel yang tergeletak di atas kasur. Baterainya habis, segera kucas.
Keesokan harinya, aku beraktivitas seperti biasa. Mandi, mengurus urusan dapur, sarapan, bersiap-siap kerja.
Tumben. Tak ada pesan “Selamat pagi” dari Mas Gambang. Mungkin dia sibuk. Tak apalah, aku saja yang mengiriminya pesan duluan.
“Selamat pagi, Mas. Lagi sibuk banget ya kerjanya? Semangat ya!”
Notifikasi pesan terkirim langsung kuterima. Tak perlu menunggu balasan, aku langsung berangkat kerja.
Ternyata sampai siang, Mas Gambang belum juga membalas SMS-ku. Kukirim lagi pesan.
“Mas, sibuk banget, ya? Jangan telat makan siang ya.”
Sampai sore, bahkan malam. SMS yang jelas-jelas ada notifikasi terkirimnya itu tidak kunjung dibalas. Aku mulai cemas. Ada apa dengan Mas Gambang? Tidak biasanya dia begini.
Aku mencoba untuk terus berpikir positif. Mungkin, Mas Gambang memang benar-benar sibuk. Atau mungkin, HP-nya tadi tertinggal di rumah dinas, tidak dibawa kerja. Lalu malamnya, dia terlalu lelah akhirnya tertidur. Besok pasti dibalas.
Dugaanku salah, Mas Gambang sama sekali tidak menghubungiku. Semakin cemaslah hati ini. Apa mungkin HP-nya hilang? Jangan-jangan, terjadi sesuatu pada tunanganku? Ya Tuhan, tolong lindungi dia.
Kucoba menelepon, tapi tak pernah dijawab. Terus kukirim pesan ke nomor Mas Gambang.
“Mas, kamu baik-baik saja, kan? Tolong hubungi aku, jangan bikin khawatir.”
“Mas, jaga kesehatan, ya. Jangan sakit. Sebentar lagi, kan, kita menikah.”
“Mas tau, nggak? Hari ini aku masak rica-rica ayam kesukaan Mas. Kalo Mas nanti kembali, kasih kabar, ya, Mas. Mampir ke rumah, biar kumasakin.”
Dan seterusnya, dan seterusnya.
“Mas, undangan pernikahan kita udah jadi, loh. Mas pasti nggak sabar mau lihat, kan?”
“Kamu ini kenapa, sih? Kalau masih kayak gini, putus aja kita!”
“Aku kangen banget sama kamu, Mas.”
Dan seterusnya, dan seterusnya. Dari pesan biasa, perhatian, khawatir, marah, kesal, dan rindu, kukirimkan padanya. Terakhir, kewarasanku sudah mulai kacau.
“Heh! Kamu nyolong HP Mas Gambang, ya! Kembalikan! Hidupmu nggak akan tenang selamanya kalau HP ini nggak kamu kembalikan ke Mas Gambang!”
Hilangnya kabar Mas Gambang yang sudah terhitung tiga hari ini kusembunyikan dari Bapak dan Ibu, tak mau menambah kekhawatiran. Kuceritakan pada Mbak Anis, rekan kerjaku, janda kembang anak satu yang ditaksir sama Kang Bakso.
“Wah, hati-hati, loh, Ras! Jangan-jangan, dia kecantol wadon liyan alias wanita lain di sana.”
“Ah, nggak mungkin, Mbak. Pernikahan kita sudah dekat.”
“Yang udah nikah aja bisa ninggalin, apalagi baru mau nikah, Ras.”
“Mas Gambang nggak mungkin begitu, Mbak.”
“Walah, dikasih tahu, kok, ngeyel. Mbak ini udah pengalaman.”
“Aku percaya sama Mas Gambang, Mbak.”
“Jangan naif, Ras! Jangan terlalu percaya mulut lelaki! Coba, apa buktinya dia nggak macam-macam di luar sana?”
“Nggak ada bukti juga dia macam-macam, Mbak.”
Mbak Anis mendengus kesal melihatku yang kekeh berpikir positif pada tunanganku. Mas Gambang itu lelaki setia. Dulu, jaman kita baru pacaran, pernah ada cewek cantik yang naksir dia. Model, kulitnya bening, mulus, kayak kaca baru dilap. Mas Gambang tak tergoda sedikit pun. Malah, dengan tegas dia bilang kalau sudah punya pacar.
“Kamu punya nomor temannya yang juga ke luar kota sama dia?” tanya Mbak Anis.
Ah, iya! Kenapa tidak terpikir sama sekali? Aku bisa menghubungi Kang Rojali, rekan kerja yang ikut bersama Mas Gambang. Aku punya kontak teleponnya.
“Halo, Mbak Laras. Ada apa?” tanya Kang Rojali melalui telepon setelah beberapa dering terdengar.
“Kang, maaf, ya, saya ganggu. Kang Rojali masih sama Mas Gambang?”
“Masih, Mbak.”
“Mas Gambang nggak kenapa-kenapa, kan, Kang?”
“Nggak, Mbak. Sehat wal afiat.”
“Oh. Sibuk banget ya, Kang?”
“Nggak juga, Mbak. Urusan di sini lancar, kok.”
“Mas Gambang nggak habis kecopetan, kan, Kang?”
“Nggak, Mbak. Semua baik-baik saja, nggak ada masalah.”
Dua sisi hatiku bertentangan, antara lega dan kesal.
“Kalau boleh tahu, Mas Gambang sekarang lagi apa, Kang?”
“Lagi istirahat, Mbak, di ruang tamu.”
“Beneran nggak ada apa-apa, kan, Kang?”
“Iya, Mbak. Nggak ada apa-apa.”
“Boleh kasih teleponnya ke Mas Gambang?”
“Boleh. Tunggu sebentar ya, Mbak.”
Dag dig dug hati ini, sembari memikirkan kalimat apa yang harus kulontarkan. Kalau dia nggak apa-apa, kenapa nggak pernah balas pesanku?
“Sayang, kok malah tidur.” Suara wanita! Sangat jelas terdengar meski lirih.
“Mas Gambang, ini ada telepon dari Mbak Laras.”Kali ini, suara Kang Rojali yang terdengar.
“Laras? Kok nelepon kamu?” Itu Mas Gambang, terdengar kaget.
“Siapa itu Laras?” Kembali suara si wanita yang menyebut namaku.
Air mataku meluruh. Sakit sekali rasanya! Segera kuakhiri panggilan itu. HP di tangan terhempas kasar di atas meja kafe. Kedua tangan kugunakan untuk menutup wajah yang basah.
“Kenapa, Ras?” tanya Mbak Anis. Aku semakin terisak.
Pernikahanku sudah tinggal menghitung hari, Mas Gambang justru tega mengkhianati! Bagaimana caraku mengatakan semua ini pada Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga? Sudah terbayang raut kesedihan mereka kalau mengetahuinya.
Kuputuskan untuk tidak memberitahu keluarga sebelum Mas Gambang pulang. Lelaki itu yang harus menjelaskan pada Bapak, Ibu, dan keluargaku!
Minggu pagi, terdengar bel rumah berbunyi. Aku masih sibuk di dapur. Tak lama, suara Bapak memanggilku dari depan. Kusahuti dengan setengah berteriak. Kompor kumatikan sebelum beranjak ke ruang tamu.
Terlihat Mas Gambang duduk berhadapan dengan Bapak dan Ibu. Mereka akrab seperti biasanya. Amarah segera menjalar ke seluruh urat nadi. Dasar muka dua! Pandai sekali bersandiwara!
Melihatku datang, orang tuaku beranjak dan membiarkan kami ngobrol berdua.
“Dek, kok, Mas datang, mukanya ditekuk begitu?” tanyanya, seolah tak bersalah.
Pria di hadapanku itu menunjukkan dua kantong tas belanja, oleh-oleh katanya. Huh! Aku tak akan luluh cuma karena itu! Mas Gambang terus berbicara meski aku hanya diam.
“Katanya, kalau Mas datang, mau dimasakin rica-rica ayam? Mas belum sarapan, loh, Dek. Sengaja, biar bisa makan masakanmu.”
“Oh ya, undangan pernikahan kita sudah jadi, ya?”
“Dek, kok diam? Katanya kangen?”
Aku sudah tidak tahan lagi! Bisa-bisanya dia bersikap seolah tak ada apa-apa!
Seluruh kemarahan sudah berkumpul, bergemuruh riuh di dada, siap untuk dilampiaskan. Namun, suaraku justru tercekat di kerongkongan. Akhirnya, air mata yang tumpah ruah menderas.
“Loh, Dek. Kok, nangis? Ada apa?”
Tangisanku semakin kencang, hingga Bapak dan Ibu tergopoh heran.
“Ada apa ini? Laras kok sampai nangis kayak gini?” tanya Bapak. Ibu memelukku sambil menenangkan.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Dari tadi Dek Laras diam saja. Tiba-tiba nangis kayak gini.”
“Mas Gambang selingkuh!” teriakku parau di sela isak.
“Hah? Kata siapa, Dek? Mas nggak pernah selingkuh. Sumpah demi apapun, mas nggak pernah mengkhianati kamu, Dek.” Mas Gambang terlihat panik.
“Mas nggak bisa ngelak lagi! Aku punya buktinya!”
“Bukti apa, Dek? Justru Mas bingung, SMS-SMS kamu yang suka aneh-aneh, dibalas nggak pernah balas lagi, ditelepon nggak pernah bisa nyambung, bahkan sampai telepon ke Rojali juga tiba-tiba dimatiin.”
“Mas bohong! Mas nggak pernah menghubungi aku. Aku sampai khawatir, berpikir yang enggak-enggak. Eh ternyata, Mas malah sayang-sayangan sama wanita lain di sana!”
“Wanita yang mana, Dek? Nggak pernah ada wanita lain. Sumpah!”
Bapak dan Ibu menenangkan aku dan Mas Gambang. Semua harus dibicarakan baik-baik, agar terang titik permasalahan sehingga bisa mencari solusi terbaik.
Aku menceritakan semuanya dari awal. Sejak pesan yang tak dibalas, telepon tak diangkat, hingga suara wanita yang memanggil “Sayang” ke Mas Gambang.
“Sumpah, Dek. Semua pesan kamu Mas balas. Bahkan, Mas juga sering kirim pesan ke kamu. Mas sampai isi pulsa lagi biar bisa telepon kamu. Kalau kamu nggak percaya, bisa dilihat HP Mas, masih tersimpan semuanya.”
Mas Gambang menunjukkan HP-nya. Aneh, semua yang dia katakan itu terbukti. Banyak pesan dan telepon darinya untukku.
“Tapi semua pesan dan panggilan Mas nggak pernah kuterima,” kataku.
“Mas nggak tahu, Dek. Yang jelas, Mas nggak bohong.”
“Lalu, kenapa teleponku nggak diangkat?”
“Waktu itu masih kerja, tapi setelahnya pasti Mas telepon balik, malah Adek yang nggak angkat.”
Aneh! Nggak ada telepon masuk sama sekali dari Mas Gambang. Kuperiksa nomor telepon yang tersimpan di HP-nya dengan namaku. Benar, cocok, itu memang nomorku. Bahkan, pesan-pesan yang kukirimkan jelas-jelas masih ada. Kucoba menelepon nomorku dari HP-nya saat itu juga, dan benar, tidak masuk panggilannya.
“Terus wanita yang panggil 'Sayang' itu siapa?” desakku.
“Wanita yang mana, Dek? Mas nggak ngerti sama sekali.”
“Waktu aku telepon Kang Rojali, aku dengar suara wanita panggil 'Sayang' ke Mas!”
Tampak pria itu berpikir sejenak, kemudian menepuk jidat.
“Astaga! Adek salah paham. Waktu itu, yang tidur di ruang tamu bukan cuma Mas. Ada Pak Bos juga yang mampir bersama istrinya. Itu suara istri Pak Bos. ‘Sayang’ itu panggilan buat Pak Bos, Dek.”
Aku tidak percaya begitu saja. Mas Gambang menelepon bosnya untuk menjelaskan, meski dengan rasa sungkan dan berkali-kali kata maaf.
Penjelasan pria di seberang sana sama persis dengan perkataan Mas Gambang. Bahkan, istri si Bos ikut bicara, “Walah, Mbak Laras, cemburu itu bagus, tanda cinta. Tapi ya jangan cemburu buta. Masak cemburu sama saya yang udah cinta mati sama suami sendiri.”
Amarahku benar-benar reda. Ada rasa lega. Tapi tetap saja, masih heran dengan SMS dan telepon Mas Gambang yang tidak pernah sampai. Padahal, dari nomor-nomor lain bisa.
Akhirnya, aku dan Mas Gambang membawa HP-ku ke tempat servis. Barangkali memang ada masalah. Setelah kujelaskan permasalahannya, tukang servis itu mengotak-atik sebentar tombol-tombol ponselku itu.
“Sudah, Mbak. Coba Mas telepon dan SMS ke Mbaknya,” ujar tukang servis.
Mas Gambang mengirim SMS padaku, HP-ku langsung berbunyi. Kemudian, dia menelepon. Dering langsung terdengar. Aku yang penasaran bertanya, “Kok bisa, Mas?”
“Nomor Mas Gambang ini masuk ke 'daftar hitam' kontak Mbak. Sepertinya tidak sengaja tertekan. Makanya, SMS dan telepon dari nomornya nggak masuk.”
Ah, masak, sih? Kayaknya aku nggak pernah otak-atik kontak Mas Gambang. Bahkan, ada daftar hitam saja baru kutahu dari mas tukang servis.
“Mungkin, HP kamu pernah dipinjam orang lain, Dek?” tanya Mas Gambang.
Aku mengingat-ingat waktu sebelum SMS dan teleponku tidak pernah terjawab. Ah, iya! Aku ingat.
“Kayaknya adik-adik sepupuku yang nggak sengaja melakukannya, Mas,” ucapku.
“Ya sudah. Yang penting sekarang semuanya jelas. Nggak jadi batal nikah, kan, kita?” Mas Gambang tersenyum menggoda membuatku tersipu malu.
Nggak bisa kubayangkan kalau pernikahanku gagal gara-gara “daftar hitam”!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Karya Aliyamahika
PoetryBerisi kumpulan tulisan anak-anak Aliyamahika yang mengikuti ektra sastra. Masih belajar untuk menulis dengan baik dan menghasilkan karya yang baik.