; 3

3.1K 406 14
                                    

Semenjak hari itu, Jay dan Jungwon selalu bertemu. Entah untuk sekadar menceritakan keseharian mereka, hal-hal yang mereka alami, atau mengagumi eloknya mahakarya Tuhan. Seperti sekarang ini, mereka pergi ke daerah belakang komplek. Duduk bersandar di bangku yang disediakan. Pepohonan bergerak kesana kemari tertimpa semilir angin.

Bisa dibilang mereka nyaman dengan satu sama lain, namun tetap saja, mereka tidak mengerti perihal arti eksistansi masing-masing. Mengapa mereka dipertemukan? Pertanyaan itu terus terulang bak cuplikan film favorit. Pada akhirnya tetap terpendam dalam lubuk hati yang berusaha memberontak minta diutarakan.

"Aku pernah denger quotes kayak gini kak, 'Senja selalu seperti ini. Perlahan datang, lalu tiba-tiba hilang. Tergantikan keremangan malam, menyisakan kehampaan'." Jungwon berucap dengan tiba-tiba namun netranya masih tetap fokus memandang hamparan biru yang kini mulai memunculkan semburat orange kekuningan.

"Maksudnya gimana?"

"Ada yang bilang, senja adalah waktu terindah yang berbatasan langsung dengan nestapa, seketika senja hilang kita akan menemui kehampaan. Waktu di mana kita menyadari bahwa perjalanan pasti akan ada waktu istirahatnya." senyumnya perlahan berubah menjadi senyum sendu. Cukup bersukur karena Jay tidak menyadari hal itu.

"Ya karena ga ada yang abadi bukan? Begitu pula dengan pertemuan, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Jungwon menganggukan kepalanya, pertanda setuju dengan apa yang dilontarkan Jay. Memang benar, saat waktunya tiba maka segalanya akan kembali pada hakikatnya.

"Iya bener, terus manusia jadi bersikap egois, ingin yang sudah pergi kembali. Tapi mana mungkin kan ya? Pada akhirnya waktu maksa buat ikhlasin."

"Kalo ada reinkarnasi mungkin bisa?" tawa keduanya mengalun memenuhi atmosfer sekitar. Tidak tau apa yang ditertawakan tapi mereka pikir konyol saja gitu. "Tapi kenapa lo bilang 'waktu maksa buat ikhlasin' disaat orang-orang bilang waktu itu menyembuhkan?"

"Ya karena sebenernya kita belum bisa menerima, menolak fakta yang ada, dan masih ga bisa merelakan. Manusia memang begitu kan? Namun, seiring berjalannya waktu, kita ga bisa berdiam diri, stuck di satu tempat meratapi yang sudah terjadi. Hidup terus berjalan bahkan ketika kita masih merasa kehilangan. Dan yang namanya takdir ya takdir, jangan coba buat berontak dan malah nyalahin, ga ada yang bisa disalahin karena emang kita ga menduga hal kayak gitu bakal terjadi. Yang perlu kita ingat, hidup itu penuh kejutan dan rencana Tuhan itu selalu adil. Oh iya, bisa aja hal itu bikin kita jadi pribadi yang lebih kuat, lebih mature, dan lebih baik. Intinya jangan liat buruknya aja."

"Gue salut banget sama lu yang se-mature itu. Tapi tumben deh bilang kayak gitu? Ada masalah?"

"Oh? Makasih, i'm glad you think so. Ga ada sih kak, cuma pengen bilang aja. Jangan lupa take a note what i said before, diterapin juga."

"Haha semoga bisa deh. Gue ga yakin karena sesulit itu. Emang ya perasaan itu rumit. Udahlah jangan jadi mellow gini."

"Maaf kak karena jadi mellow gini, ga maksud padahal." Jay hanya tersenyum menandakan 'Gapapa, lagipula dari perkataan lo gue jadi belajar banyak hal.'

"Anyway kak, kayaknya tiap kali kita ketemuan pasti ada aja momen buat natep cakrawala? Ada alesan kenapa kakak suka mandangin hamparan luas satu itu?"

"Tiba-tiba banget?"

"Biasanya tatapan kakak kosong, tapi kalau liat langit berasa ada binar harapan."

"Ternyata lo se-observatif itu ya, Won." ada jeda sebentar dalam kalimatnya." Langit ngajarin gue banyak hal."

Jungwon diam, tidak membalas, membiarkan Jay melanjutkan ceritanya.

"Langit ngajarin arti harapan dan asa. Di langit sana, akan ada kilat menyambar dan gemuruh petir yang memekakan telinga. Tapi setelahnya tibalah hujan dengan kesejukan dan manfaatnya." Jay diam, menghirup napas sebelum melanjutkan perkataannya.

"Langit ngajarin arti sederhana, dimana dia ga perlu warna warni untuk terlihat cantik, cukup warna putih dan biru aja udah bikin dia menawan. Selain itu, langit ngajarin arti keindahan dari pelangi yang dipertontonkan. Emang ga selamanya ada pelangi, kemunculannya pun hanya sekejap. Begitu pun dalam hidup kita, ga selamanya kita ngerasain kebahagiaan, tapi setidaknya, selalu ada kesempatan untuk berbahagia sebagaimana langit selalu memiliki kesempatan untuk menampilkan pelangi." Jay memandang netra Jungwon dalam, menyelami manik yang seperti ditaburi gemercik bintang, sangat indah. Mencoba menyalurkan afeksi tulus lewat biasan netranya.

"Ketika malam kita bisa nikmatin kerlip bintang, ketika siang kita bisa nikmatin hangatnya cahaya matahari dan birunya awan, dan ketika senja kita bisa nikmatin matahari terbenam yang memberi afeksi walaupun samar. Semuanya nyimpen keindahannya sendiri. Secara ga sadar, hal-hal kecil kayak gitu bisa jadi alasan kita untuk bertahan."

"Dan seperti yang lo bilang dulu, setidaknya gue punya satu alasan buat bertahan. Di situ gue baru sadar kalo ternyata langit, bintang, bulan, senja, pelangi, dan sejenisnya seberharga itu buat gue."

iris | jaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang