Afeksi kecil yang orang lan beri ke kita terkadang memberi pengaruh besar bagi si hati, menghangatkan sekaligus menenangkan, juga mengusir kekhawatiran yang melanda. Layaknya butterfly effect, di mana perubahan kecil pada satu hal dalam suatu sistem taklinear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Menunjukkan sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang.
Sama kasusnya dengan Jay dan Jungwon. Sebagai orang yang peka dalam menyadari sesuatu, bahkan hanya dalam kesempatan satu detik pun ia dapat menemukan hal janggal, sengaja tidak sengaja sepertinya semesta ingin ia tau dengan sosok 'asli' seorang Jay.
Embusan angin menjatuhkan bungkus permen yang ada di tangan Jungwon, menarik atensi keduanya, menunduk untuk mengambil bungkus yang jatuh setelah diterbangkan oleh angin, tangan keduanya tak sengaja bersentuhan, menampakkan sisi nadi pergelangan tangan kiri Jay yang selama ini tertutup rapat oleh baju lengan panjangnya, terasa janggal karena terdapat beberapa goresan sekitar 3 cm panjangnya. Ada beberapa yang masih baru dan ada yang sudah kering.
Mengabaikan bungkus permen, Jungwon teralihkan perhatiannya karena tangan kiri Jay. Seperti goresan cutter, pikirnya. Apakah Jay self-harm? Pertanyaan itu tetiba terlintas di benaknya. Tanpa basa-basi mengambil pergelangan tangan kiri Jay, menyingkap kaos yang menutupi. Jantungnya berdegup kencang, merasa ngilu hanya dengan melihatnya, bahkan terdapat goresan juga di bagian tangan lainnya.
Jay menarik cepat pergelangan tangannya, gelagapan karena hal yang ia rahasiakan terungkap karena bungkus permen yang jatuh.
"Tunggu sebentar, aku mau beli obat merah di minimarket sana." jari telunjuknya menunjuk minimarket yang berada di seberang taman. "Jangan pergi, i beg u." tersenyum getir, takut Jay akan pergi, meninggalkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.
Menghela nafas frustrasi, tatapannya hampa, hatinya seperti diremas dengan sangat kuat, sakit hanya dengan memikirkan alasan ia seperti itu. Ingin menyalahkan semesta, namun mungkin saja memang begini takdirnya. Setidaknya ia bersyukur mempunyai alasan untuk bertahan.
Jungwon kembali setelah beberapa menit, berjalan sambil membawa kantong plastik putih yang diyakini adalah obat merah dan kapas. Duduk di tempat semula, mengambil tangan Jay yang untungnya tidak ditolak oleh si empu tangan.
"Mau diapain?" pertanyaan retoris, tanpa tanya pun ia sudah mengetahui jawabannya. Namun entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja.
"Mau ku pukul.. Ya ku obatin lah kak." tawa Jay mengalun indah di rungu Jungwon. Hatinya lega mengetahui bahwa Jay tidak apa-apa, meskipun dia tidak baik-baik saja.
Jungwon mulai membuka bungkus kapas dan obat merah, mengambil satu buah kapas, menetetesinya dengan obat merah. Tak lupa sebelumnya ia membasuh pergelangan tangan Jay dengan air agar lukanya tidak infeksi. Mulai mengobati luka Jay dengan perlahan. Namun ide jail terlintas di pikirannya, dengan sengaja ia menekan luka yang tampak baru.
"AAAWWWW.. PELAN-PELAN JUNGWON!" Jay berteriak kala lukanya yang cukup dalam ditekan oleh Jungwon. Jail, sifat Jungwon yang baru saja diketahui oleh Jay.
"Salah sendiri pergelangan tangan secantik ini disayat." Jay mendengus sebal mendengarnya, namun yang dikatakan Jungwon tepat, tepat sekali. Awalnya terasa melegakan, hingga rasa sakit muncul ketika dibiarkan beberapa saat.
"Ya maaf, pikiranku lagi kalut waktu itu. Sadar ga sadar jadi ngelakuin ini."
"Hanya karena kakak mengalami stress bukan berarti kakak harus ngilanginnya dengan nyakitin diri sendiri. Ga baik kak, tubuh kakak juga perlu disayang. Lagipula kita ga bakal tau apa yang akan terjadi di masa depan. There's a lot of ways to relieve stress, just don't hurt yourself. Take a note kalimatku ya kak, harus! Apalagi yang terakhir." Jungwon selesai mengobati, mengakhiri sesi mengobari dengan menutup luka menggunakan hansaplast.
"Sini, i'll give you a big hug! Spesial untuk kakak, limit edition loh ini." Jungwon merentangkan tangannya, bermaksud agar Jay masuk ke dalam dekapannya. Ia hanya ingin Jay melepaskan semua sesaknya, berbagi rasa sakit agar Jay tidak merasa menahan beban sendirian.
Jay terdiam, kepalanya terbenam ke dalam bahu lebar Jungwon. Cengkraman tangan pada pundak Jungwon semakin kuat. Menandakan bebannya seberat itu, ia letih menahan segalanya. Jungwon mengelus punggung Jay dengan penuh afeksi, guna menenangkan.
"Gapapa kak, kalo mau nangis lepasin aja. Nangis bukan berarti kakak lemah. Nangis aja kalo itu bikin perasaan kakak lega, ga ada yang ngelarang kok." isakan mulai terdengar, semakin lama semakin keras. Menambah pilu atmosfer saat itu. Jungwon merasakan bahunya basah.
Setelah merasa cukup tenang, Jungwon melepaskan pelukannya. Membiarkan Jay menghirup udara, mencerna keadaan, dan menenangkan diri.
"Pasti ada banyak pertanyaan di benak lo saat ini."
"Iya banyak, tapi ga usah dipaksain kak kalo belum mau cerita."
"Nope, gue baik-baik aja, lagian udah terlanjur Won. Udah saatnya juga mungkin." menghirup napas sekali lagi, menyiapkan mental untuk bercerita.
"Semenjak mama ga ada, papa berubah jadi sosok seperti monster. Gila kerja. Pulang bisa setahun sekali. Gue sering banget dibandingin sama kakak, pilih kasih. Dia cuma peduli sama nilai gue, even though i really need his love for me." Jungwon menengok, dilihatnya mata Jay yang mulai berkaca-kaca. "Dia pengen gue kayak kakak, padahal gue jelas beda sama kakak, and we exactly know kalau hidup di bawah bayang-bayang orang lain itu ga enak. Dia ga pengen reputasinya hancur cuma gara-gara nilai gue. He expects perfection from me, but i'm only human, i can't be something like a robot who always do everything he want. I can be tired, i can feel hurt. This is kill me slowly."
"Dan langit itu hal yang nenangin gue, ngeliat hamparan biru ditemani kapas putih atau hamparan hitam ditaburi gemercik bintang yang entah seluas apa bikin gue tenggelam dalam fatamorgana mahakarya satu ini. Gue selalu merasa seperti terbang bebas. Gue ingin bebas dan terbang dengan sayap gue sendiri. Langit juga kuat karena bisa lindungin bumi. That's why sky really means a lot for me."
Jungwon ikut merasa sesak, hatinya bagaikan diremas dengan sangat kuat. Ia tak sanggup. Tidak habis pikir, kenapa manusia sejahat itu? Ia tau tiap tindakan mempunyai alasan, namun tidak harus sekeras itu bukan? Menjadikannya pelampiasan kala ia tak tau apa salahnya, kala ia juga masih merasakan kehilangan.
"Makasih banyak udah cerita, i'm glad kakak bisa terbuka sama aku. Aku tau pasti ini berat banget tapi kakak ga salah, kakak hebat banget udah bisa bertahan sejauh ini, i'm really proud of you. Bener kalau kakak bilang ga enak hidup di bawah bayang-bayang orang lain. Kakak ya kakak, ga bisa dibandingin sama yang lain karena tiap orang berbeda. Lalu, yang paham sama diri kakak sendiri itu ya kamu kak, jadi coba buat ciptain pijakan kakak. Ini hidup yang jalanin kakak. Tuhan ga pernah kasih coba yang ga bisa dilaluin umat-Nya kak. I got your back."
"Makasih, makasih banyak. Lo dengerin dan peduli sama gue aja itu udah cukup buat gue, Won. But thank you, it makes me feel better. You always know how to comfort me, makasih untuk kata-katanya, gue yakin itu bakal tersimpan rapat di memori gue." Jungwon mengusap jejak air mata yang tertinggal di pipi Jay dengan pelan, seakan itu benda rapuh yang mudah hancur.
Sekarang mulai terasa jelas, alasan Jay menaiki pembatas rooftop rumah sakit, alasan Jay menyayat pergelangan tangannya, alasan Jay menjadi begitu defensif, alasan Jay begitu putus asa, alasan Jay membutuhkan seseorang di sampingnya, alasan langit dan kawannya seberharga itu buat dia. Kini Jungwon takut, takut membuat luka Jay kembali menganga, takut membuatnya kembali hampa, takut membuatnya kembali terlingkupi bayangan-bayangan masa lalu yang menyesatkan.
'Apakah semesta sebercanda ini?'
KAMU SEDANG MEMBACA
iris | jaywon
Fanfictionㅡ maybe the world doesn't really like you that much, but there's me who will always love you. [!] hurt/comfort