; 8

1.5K 247 57
                                    

Hal yang disembunyikan terkadang menghasilkan akhir yang tidak baik, bukan? Sebut saja rahasia. Namun sebaik apapun rahasia disembunyikan, bukankah pada akhirnya akan terbongkar jika waktu mengizinkan? Sama halnya dengan rahasia diri, tidak ingin orang lain mengetahui si sosok asli.

Manusia memang sepalsu itu. Menyimpan luka lalu disembunyikan dengan cara klasik. Yang tersenyum nyatanya menyimpan semu. Yang tertawa nyatanya hanya sekadar replika. Lalu berakhir dengan mengalirnya bulir bening di atas pucatnya kulit juga tertahannya jeritan atas kenyataan yang mencabik.

Kini, Jay hanya duduk di belakang kompleksnya. Memandang hamparan biru yang mulai bertransformasi warnanya menjadi jingga kekuningan. Raut wajahnya berbeda dari hari sebelumnya. Wajahnya tampak tirus, hasil dari mood makan yang turun drastis selama beberapa hari terakhir. Tatapannya kosong, menatap tak minat pemandangan di hadapannya.

Mengeluarkan benda yang tersimpan di saku celananya, rokok dan sebuah cutter. Ingin menghisap zat candu yang ada di dalam rokok namun teringat permen coklat yang dulu diberi Jungwon, alhasil ia mengurungkan niat. Lalu beralih pada benda yang terbuat dari plastik keras berisikan besi tipis yang rasanya ah mantap jika terkena kulit. Bermaksud menggoreskan benda tersebut ke pergelangan tangannya, melenceng dari fungsi seharusnya. Namun perkataan Jungwon, 'salah sendiri pergelangan tangan secantik itu disayat.' kembali menyadarkannya. Mengusap wajah kasar, merasa frustrasi. Khas seorang Jay ketika si hati resah.

Jay menundukkan kepalanya, meremas erat kain celananya. Buliran air bening tiba-tiba keluar tanpa permisi. Menjadi saksi atas rasa sakit yang menggerogoti. Muak. Ingin mengakhiri namun kembali teringat Jungwon yang membuatnya tetap bertahan.

Kembali menangis mengingat kejadian yang seperti petir di siang bolong. Tidak ingin mempercayai. Semua tampak tak nyata. Sangat plot-twist karena ia tak menyangka hal ini akan terjadi. Rasanya seperti baru kemarin ia merasakan rasanya hidup, kemudian kembali mati. Ku bawa kau terbang ke langit, lalu ku hempaskan kau ke bumi. Bukankah semesta memang suka bercanda?

Kepalanya seperti menopang frustrasi berat yang siap membuatnya menangis kapan saja. Sejenak hidupnya terasa tak nyata, seperti baru saja bangun di tempat asing lalu tenggelam dalam kenangan yang menghampiri. Ia mengambil cutter yang tadi ia lempar. Menusukkannya ke tanah dengan gerakan cepat dan brutal hingga ujungnya tumpul. Menjadikannya pelampiasan.

Semilir angin yang berembus membuatnya sedikit tenang. Hanya sedikit. Andronitis bercampur menjadi satu dengan jouska menciptakan helaan napas di belah bibir Jay. Selalu begitu, suka menyiksa diri sendiri dengan pemikiran-pemikiran jahatnya. Tanpa sadar semilir angin ikut andil kali ini, membuat jay terlelap dengan memberikan rasa sejuk agar ia melupakan masalahnya sejenak. Kasihan tubuh, raga, hati, dan perasaannya yang lelah. Setidaknya untuk kali ini semesta membiarkan ia beristirahat, lalu memunculkan sosok pelangi hidupnya di alam mimpi.

Jay terbangun di suatu tempat yang terasa familiar baginya, matanya mengerjap berulang kali, masih berusaha mencerna keadaan. Ia mulai mengalihkan pandangan ke sekitar. Dahinya mengernyit kala menyadari bahwa ia sedang berada di rooftop rumah sakit, tempat pertama kali ia dan Jungwon bertemu. Berada di situ membuatnya bernostalgia. Mulai berpikir bagaimana hidupnya jika Jungwon tidak menegurnya, bagaimana jika Jungwon tidak ke rooftop dan membiarkan ia menjatuhkan dirinya ke lautan lalu lalang kendaraan.

Netranya menangkap presensi seseorang yang sangat dirindukannya akhir-akhir ini. Seseorang yang ia harapkan akan selalu bersamanya. Seseorang yang ia kira akan selalu menjadi pelanginya, ketika pada hakikatnya pelangi tak selamanya selalu ada.

"Jungwon.."

Suaranya parau, terasa berhenti di tenggorokan. Tanpa menunggu lama, Jay berlari menghampiri, memeluk tubuh yang lebih muda dengan erat, seakan jika ia melepaskannya seinci saja Jungwon akan pergi, pergi jauh hingga Jay tak bisa meraihnya.

"Keadaan kakak jauh dari kata baik-baik aja.." bagaimana tidak? Rambutnya acak-acakan, air mata berlinang di bawah mata lalu mengalir hingga pipi tirusnya, muka kusut seperti cucian yang belum digosok.

"Kalo tau bakal kayak gini aku mendingan ga usah ketemu kakak dari pada bikin kakak kayak gini. Aku sempat mikir gitu, sebelum akhirnya berubah pikiran. Aku mikir, kalau semisal dulu aku ga negur kakak apa kakak masih ada di dunia ini. Lalu tentang aku, pasti kakak udah tau semuanya dari kak Heeseung, maaf ya kakak harus tau hal kayak gini bukan dari aku langsung."

Jungwon melepas pelukan Jay, memandang tulus matanya untuk kali terakhir. Merasa bersalah atas segala yang terjadi pada Jay akibat dirinya.

"Won.. comeback please?"

"No, i can't. Kita udah sangat berbeda kak. Jangan nangisin aku dan jangan hilangin senyuman juga tawa dari hidup kakak ya, please be happy. Meskipun aku ga sama kakak, remember that i will always by your side."

"Jujur aja, aku pengen banget bisa hidup lagi. Aku nyesel dilahirkan untuk memiliki penyakit, kadang suka mikir kalau semesta itu jahat. Jadi, kakak yang sempurna harus jaga diri baik-baik ya, tubuhnya jangan disakitin, kasian kak. Dan aku mau berterima kasih sama kakak yang udah jadi bintang di kala aku ngerasa lelah sama hidup. Semoga di kehidupan selanjutnya kita bakal bertemu ya kak."

Jay mencoba menahan isak yang meronta dikeluarkan. Rasa nyeri menjalar di dadanya, begitu menyakitkan. Tersenyum pilu seraya memandang balik netra Jungwon yang menatapnya getir.

"Won.. serius gue bersyukur banget bisa ketemu lo di saat gue jatuh sedalam-dalamnya. Thank you for being special existence in my life.. you're the closest to heaven that i'll ever be, Won. Semoga di kehidupan selanjutnya kita bertemu lagi."

Jay semakin tidak ingin semua ini berlalu ketika ia melihat senyuman manis Jungwon, sangat manis hingga ia merasa sesak dibuatnya, khas sebuah senyuman perpisahan. Opia menggebu-gebu, sorot akan kegetiran.

"Goodbye love, you gotta be happy."

Detik selanjutnya Jungwon menghilang setelah mengatakan kalimat terakhir bersamaan dengan terbangunnya Jay dari alam mimpi. Napasnya terengah-engah, buliran air mata masih mengalir di pipi tirusnya, kepalanya mendongak menatap sang cakrawala.

"Cuma mimpi tapi rasanya nyata banget.. Andai lo beneran masih di sini, Won."

iris | jaywonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang