[9]

1K 188 23
                                    

Telah kutemukan dia, dari dasar naluri yang murni berakhir dengan luka yang kian lestari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Telah kutemukan dia, dari dasar naluri yang murni berakhir dengan luka yang kian lestari.







Suatu malam sang aditokoh sempat bersitatap dengan kelam, menjumpa dengan gundah yang sedang tinggal. Seraya membentang jarak pun mendoa syahdu. Otak dan hati sedang bertaruh, bersamaan dengan sepi yang kian menjerat, sua tanpa rupa ataukah terminasi tanpa aklimatisasi.

Ya, jiwanya sempat terenggut. Jejeran asa memandat, batin nya tersayat-sayat oleh hampa. Sebab terlalu lama serius mengkalkulasi presentase probabilitas yang jauh dari realitas.

Lucu bukan?

Hati nya merakus harap, jua membuka pilu, supaya mudah menggiring duka si benalu.
Lalu, atmanya pulang membawa alienasi,
Dengan sebab terlalu lelap berekspektasi.

Renjun pernah pada tahap ketidakberdayaan. Dimana keadaan tak mampu lagi walau sekedar berdalih. Sukar membanding antara kekeh dan ringis.

Temaramnya lampu, ditemani oleh kain abu yang berkibar diterpa angin malam. Rintik hujan mengecup mesra tiap konstituen dinding rumah. Tubuhnya begitu rapuh, hingga terlalu sensitif untuk tersentuh.

Memilukan atau malah memalukan?

Tidak. Ini berlebihan.

Maka dari itu Renjun sempat berfikir bahwa dirinya harus berhenti dari siksa sanubari ini. Hidupnya telah berubah baru, dimana harus adanya penyesuaian diri dengan derita dan duka yang sejalur sejalan.

Tapi, Renjun tidak sekuat itu. Dirinya memiliki beberapa opsi; salah satunya, dapat ia lakukan pengakhiran dari hidup nya yang baru itu. Dengan bermodalkan seikat tali dan jejak-jejak pesakitan yang lagi-lagi kembali menjadi amunisi.

Tapi, Lucas datang dan berucap, “lehermu bukan baju. Tak sepantasnya kau gantung.”

Renjun terkekeh, “ah, benar juga. Aku ingin melukis. Bolehkah aku gunakan tanganku untuk ku coret-coret dengan pisau?”

Setelahnya, Lucas menangis tersedu. Dan Renjun semakin muak. Ia tidak ingin di kasihani. Namun, daripada itu, sesuatu yang aneh mulai hadir dan kembali mengisi sela-sela luka pada dinding nestapa.

Suara-suara itu, menyuruh Renjun untuk melakukan tindakan yang bersifat otoriter, tak terbantah. Suara dari segala arah mendera rungu nya, seperti sebuah tuntunan, arahan bahkan motivasi untuk mati.

Renjun kalut. Disatu sisi itulah keinginannya. Namun pada sisi lain, apabila Renjun mati dini, lalu bagaimana caranya untuk memberikan pembalasan atas kematian Jeno pada dirinya sendiri?

Nyatanya, niatan hanya kembali menjadi bualan. Mati tidak akan menyelesaikan masalah, namun mati mampu menyelesaikan hidupnya yang baru.

Renjun kembali diserang pikiran, disambangi ratapan tangis. Raganya seraya diterpa sendu. Ia lebih benci suara piano yang terus berdenting di pagi hari untuk membangunkannya. Seolah tengah menertawakan bahwa; hari-hari penuh duka telah kembali dimulai.

Aubade - Jaemren [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang