[12]

821 156 21
                                    


Sebelumnya saya ingatkan bahwa, chapter ini mengandung hal-hal yang tidak patut di contoh. Salah satunya, seperti self-harm, Tolong ambil hikmahnya saja.

Flashback bagian satu.

“Darah ... bagian dari kosakata saya.”






_________


Melalui jendela-jendela rengsa itu, angin berhembus merambat masuk hingga menjelajah seisi ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Melalui jendela-jendela rengsa itu, angin berhembus merambat masuk hingga menjelajah seisi ruangan. Seolah tengah meraba dengan manja wajah pucat yang tengah terlelap. Tubuhnya mulai bergidik, meremang hingga membangunkan kuduk.

Kedua netra yang terturup perlahan bergerak-gerak kecil sebelum terbuka sempurna. Konstan merasakan hembusan angin malam memicu kepalanya untuk menoleh. Pandangannya tertuju pada jendela yang terbuka, melalui lambaian-lambaian tirai putih; seolah mempersilakan angin untuk bertandang.

Mulutnya bergetar setelahnya, angin-angin yang ia izinkan masuk, kini datang lebih buas. Membawa suara-suara yang begitu mengerikan. Suara yang mendedahkan sebuah motivasi kebinasaan. Renjun berangsur panik, ia mendudukan diri secara impropthu. Bagaikan persisten di hujami ribuan benda tajam, kepala Renjun berdenyut sakit.

“Kau harus mati!” suara itu mengelilinginya. Menghujam bersamaan dengan angin yang kian berhembus kencang.

“Benar-benar harus mati.” suara lainnya ikut bergabung. Nafas Renjun memburu, bibirnya bergetar dengan netra yang beredar was-was ke sepenjuru ruangan.

“Kau harus mati! Kamu akan mati!”

Renjun menutup telinga, kedua netra yang berubah sembab, kini tertutup rapat. Kedua tangannya ia gunakan menutupi telinga. Berusaha menulikan suara-suara mengerikan yang mendesaknya untuk mati.

“Tidak.” gumaman terlontar dari bibirnya yang bergetar.

Suara itu kian bertambah. Suara tawa yang menggelegar serta-merta ia dengar. Renjun menumpahkan tangisnya saat itu juga. Ia takut, begitu takut sampai rasanya ingin menuruti seruan tersebut.

“Mati. Mati. Mati. Kau harus mati seperti Jeno!” hingga suara yang ia kenal sebagai suara ibu Jeno turut ia dengar.

“Aku salah! Maafkan aku. Tolong berhenti.” kepalanya persisten ia gelengkan, dadanya sesak, pikirannya penuh hingga isi kepala terasa ingin membuncah.

Renjun berlari menuju jendela, hendak menutup pemicu angin ini berasal. Namun, semuanya terasa sia-sia. Suara itu kini semakin kuat, seolah tengah terjebak dalam kamar setelah ia menutup jendela.

“Kau akan mati.”

“Mati mengenaskan. Kepala pecah. Tubuh tercabik-cabik. Kamu akan mati seperti itu.” suara lain kembali menyahuti. Renjun memaksa kedua kakinya yang gemertar untuk berjalan mendekati gelas diatas nakas seraya menggumam, “minum, minum, minum. Aku harus minum. Aku haus.”

Aubade - Jaemren [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang