[4]

1.4K 273 45
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Manakah yang lebih logis?
Metafora verbal yang tergugu skeptis,
Atau segenap konotasi yang berlabuh simbol hiperbolis?

Ah, adalah linimasa yang mulai terkikis.
Kala tersajinya seulas senyum manis.
Mencetak semburat tipis, hingga akhirnya dilematis.















Semburat merah jambu menjalar tipis-tipis pada kedua sisi pipi. Usakan kepala lah yang menjadi penyebab timbulnya makna afektif dalam lingkupan sanubari. Terjeratnya atensi yang bermuara pada satu titik; tatapan teduh yang tengah melengkung layaknya bulan sabit, dari si entitas penghuni hati.

Ini hangat. Tapi cukup mendebarkan. Gerakan impulsif yang bermaksud menyalurkan afeksi di terima dengan baik, bahkan sampai menghasilkan reaksi. Itu sudah cukup. Layaknya insan yang sedang terkena panah amor, menuntun nya pada asmaraloka—kini kontemporer.

Kepalanya tertunduk malu-malu, menyembunyikan resah kala detakan jantung tak jua kembali normal.





“Ingin mulai berperan, atau memilih berantakan?”

































Netranya terbuka serentak. Pening tetiba menghujam dengan brutal kepalanya. Ia raih segelas air bening diatas nakas. Menghabisinya dalam beberapa tegukan tanpa jeda. Di kaisnya oksigen banyak-banyak dengan rakus. Peluh terasa membanjiri area punggung, rambut pun terasa lepek karena keringat juga.

Setelah meletakkan gelas kembali pada tempat semula, ia merebahkan tubuhnya. Namun, dengan tubuh yang sengaja ia miringkan membelakangi jendela kamar. Netranya mulai memburam, tertutup air mata yang mulai terbendung.

Detik berikutnya, isakan tangis mengisi, menguar, menjelajah tiap sudut ruangan. Ia pukul dadanya pelan, berusaha menghantarkan sesak pada ruang dada. Entah berapa lama durasi yang ia pergunakan, setelahnya kantuk lah yang menghampiri, menyapa, bahkan mulai menginvasi diri.

Sesenggukan masih ia lakoni, netranya mulai terpejam perlahan. Berat dan lelah, itulah yang ia rasakan pada Indra penglihatan nya. Sebentar lagi netra sembab itu akan tertutup sempurna, tanpa sadar lajur leksikon penuh pesakitan tergumam dari belah bibir nya. Lontaran vokabuler yang terjalin satu arah.

“Aku memilih berantakan. Berperan pun akan sia-sia jika nyatanya atensi mu tak pasti.”

















“..., Karena asa-ku mulai terkikis, Jeno.”


































____________________________________





Deritan kursi menggugurkan fokusnya, kepala Renjun terdongak, menilik siapa gerangan yang membuatnya berpaling secara paksa dari buku bacaannya. Kerutan samar terhambat rapih pada keningnya, ia mendapati senyuman puluhan watt yang tersaji dari sosok tersebut.

Aubade - Jaemren [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang