[15]

858 148 51
                                    


Daksamu tampak rapuh, manis.
Namun, umpatanmu menjelma lagak kidung nirmala, nuranimu pun gata, menyingkirkan harsa yang sempat kau pinang dengan riang.
Kemana renjana yang sepatutnya membalut logikamu, manis? Masihkah eunoiamu yang bertalu dengan gigih?

Mati? Mati katamu?

Nuragamu. Habis. Mati?






_________

Nabastala kian menggelap, menggantikan sandyakala yang perlahan menghirap. Bibir ranumnya mengatup rapat, merasakan sapuan angin malam
ejawantah bagai elegi yang menggeriap. Nayanika miliknya pun tampak meredup, manifes berkurangnya karsa untuk bertindak.

Langkah demi langkah yang di lalui kian lunglai. Renjun merasakan dingin yang mulai menjalar. Namun ia, lebih memilih abai. Biarkan Renjun berkontemplasi sejenak. Dirinya kini kembali pada lingkup kesendirian. Tak ada tatapan lembut, tak ada senyum hangat, ah, tak ada Jaemin.

Ia meninggalkan Jaemin yang menggenggam penuh cintanya. Renjun menyuarakan tawa pilunya. Selaksa penyelasan yang ia rasakan. Berhari-hari memilih bersembunyi dari eksistensi Jaemin.

Nyatanya, dirinya yang sempat memangku harap perihal kembali nya Jeno, hingga menghasilkan sebuah konklusi; kembalinya Jeno adalah sebuah takdir. Dan menjadi sebuah awal binaan baru jalinan asmaraloka dengan dirinya.

Asumsinya meleset. Kredo yang sempat bersemayam apik dalam mantiknya, hanya sementara. Tak ada korelasi kembalinya Jeno dengan asa-asa yang pernah ia teguhkan.

Konfrontasi yang pernah terjadi, menghasilkan sebuah kontradiksi batin. Renjun merasakan kebahagiaan yang mendesak ingin diledakkan saat bersitatap dengan Jeno. Namun, Renjun menyesali pula pengakhiran sepihak hubungannya dengan Jaemin.

Patutkah bila egoistisnya mengambil alih?

Renjun lagi-lagi berada di titik nadir. Hidupnya selalu konvergen dengan nestapa. Tanpa Jaemin, Renjun kembali mengalami defisit atensi. Eksistensi Jaemin begitu utama baginya. Jaemin sebagai pengemudi hidupnya. Manakala Jaemin tak lagi bertandang, lalu siapa yang akan menggerakkan?

Renjun menghentikan langkahnya, kepalanya terdongak menatapi sekitar. Jalanan yang ia lalui begitu sepi. Namun, satu titik yang menjadi pusat perhatiannya kini.

Diantara gulitanya petang ini, pendaran temaram satu lampu yang menyala diantara membuatnya terhenyak.

Ia merasakan dejavu.

Renjun abstain. Kuduknya meremang. Hawa dingin menyerbu dengan anarkis daksanya. Dersik mulai membelah hening yang menghinggapi. Ia menggeleng pelan.

Lututnya melemas, Renjun disambangi pikiran. Isi kepalanya terasa puspas. Pandangannya kian berputar. Spontanitas pun ia meringis.

Satu hela nafas terhela dari belah bibirnya, Renjun kembali melanjutkan langkahnya, mengabaikan pening yang menerjang secara anggara. Beberapa langkah setelahnya, nasib baik tidak sedang berpihak padanya. Renjun kehilangan keseimbangan, ia hampir saja mencium aspal apabila tak ada sebuah tangan yang melingkari pinggangnya erat.

Renjun diburu panik. Ia mendongak dan netranya pun membulat seketika. Wajahnya pias, menatapi penyanggah tubuhnya dengan nanar. Hatinya diliputi gundah, tatapan mereka tersua, saling menyalurkan tatapan penuh arti.

Renjun menggerakkan tangannya menuju wajah lawan tatapnya. Yang diberikan respon positif oleh sang empu. Tremor pada tangannya kian terasa, saat lapisan kulit saling bersentuhan.

Tangis Renjun meluruh. Merasakan sentuhan yang ia lakoni terasa begitu nyata, bukan lagi sebuah ilusi. Renjun sesenggukan. Wajahnya memerah, ia bahkan tidak mampu mengeluarkan suara. Dadanya terasa begitu menyesakkan.

Aubade - Jaemren [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang