Part 8

76.7K 5.8K 44
                                    

Saking tidak sabarnya menunggu malam nanti. Rasanya waktu berjalan begitu lambat. Setelah kami berbicara berdua tadi, Mas Rijal langsung kembali ke kamar setelah mendengar tangisan Rasya. Sayang kami belum sempat membicarakan hal yang lain.

Aku hanya memandang kepergian nya dengan perasaan yang tidak karuhan. Ada rasa takut dan penasaran dengan rencana kami nanti. Semoga saja semua berjalan dengan baik nanti.

***

Jika tadi siang aku merasa tidak sabar untuk menunggu waktu malam. Mengapa pada saat malam tiba rasanya jantungku berdetak dengan kencang. Ini pertama kalinya aku tidur bersama dalam satu ruangan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam biasanya jam segini, Mas Rijal akan membawa Rasya ke kamar setelah nya mereka akan tidur.

Memang benar sekali dugaan ku, aku melihat Mas Rijal masuk kedalam ke kamar dengan Rasya yang berada dalam gendongannya. Sebelum masuk kamar mas Rijal sempat mengedipkan matanya. Mungkin ini menjadi salah satu isyarat darinya. Agar aku segera mengikuti dari belakang.

"Rasya, yakin enggak mau kenalan sama bunda" nyaris saja aku masuk kedalam. Setelah mendengar suara mas Rijal aku segera menghentikan langkah ku. Aku sebenarnya tidak berniat menguping pembicaraan mereka. Tapi aku sangat penasaran dengan reaksi seperti apa yang akan Rasya tampilkan. Hanya diam dan menggelengkan kepalanya seperti biasa atau jika mereka sedang berdua saja, Rasya mau berbicara.

"Endak,,endak mau mamah.. jahat pukul ini nanti sakit" aku sedikit meringis mendengarnya. Jadi yang dalam kepala kecil Rasya aku ini jahat seperti ibunya. Entah salah apa Rasya dulu hingga ibunya tega melakukan hal tersebut. Dan lagi ibu jenis apa yang tega menganiaya anak kandungnya sendiri. Mengapa sekarang aku juga kesal kepada Mas Rijal. Rasanya aku ingin bertanya kemana dia dulu saat Rasya diperlukan seperti itu.

Mengapa hati ku ini terus menghakimi orang-orang tersebut. Harusnya aku sekarang lebih fokus kepada kesembuhan Rasya dari pada menghakimi orang-orang itu.

"Bunda kan baik enggak bakal pukul Rasya." Mas Rijal terus saja berbicara kepada Rasya. Mendengar dia berbicara pelan aku yakin dia juga merasa was-was takut tiba-tiba Rasya menangis kembali.

"Endak mau jahat,, sakit" benar saja kali ini suara tangisan Rasya menggema di ruangan tersebut. Bahkan, Rara pun datang mendekati ku.

"Jangan, biarkan mas Rijal yang ngurus kita tunggu Rasya tenang dulu saja" Saat Rara, mencoba masuk kedalam kamar tersebut aku segera menghentikannya. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat untuk kami berada di sana. Aku juga mengerti perasaan sedih yang sedang Rara rasakan karena aku pun sekarang sedang merasakan nya.

Sepertinya butuh perjuangan agar Rasya menghentikan tangisannya. Mas Rijal pasti telah melakukan segala cara yang dia bisa. Hingga akhirnya suara tangisan Rasya tidak terdengar lagi.

"Loh ada Rara juga" akhirnya Mas Rijal ke luar dari kamar tersebut. Dan dia berdiri tepat di hadapan kami.

"Rasya gimana mas dia baik-baik saja kan?" Rara benar-benar tidak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.

"Alhamdulillah, sekarang sudah tidur."

" Mas apa enggak sebaiknya kita batalkan dulu rencana kita ?" Menurut pendapat ku akan lebih baik jika rencana kami ditunda terlebih dulu.

"Kalau tidak sekarang mau kapan Ras? Mas dari awal sudah bilangkan kita pelan-pelan saja. Apa sekarang kamu mulai ragu kembali?" Langsung saja aku menggeleng kepala bukan karena aku ragu untuk melakukan nya, aku hanya merasa takut.

"Ya sudah sekarang ayo masuk. Dan kamu Dek. Cepat masuk kamar, hari ini Raras tidur bareng Mas." Kini Rara memandang kami dengan penuh tanya.

"Jangan banyak tanya, besok Mas kasih tahu mengenai rencana kami." Tanpa banyak bertanya Rara masuk kembali kedalam kamarnya. Begitu pun dengan aku yang langsung mengikuti mas Rijal dari belakang.




Bersambung

Jadi Bunda [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang