BMHP--8

396 97 64
                                    

MAAF lama banget ga update huhu.

Happy reading! kalau ceritanya makin ga jelas, komen aja ya. Aku pasti dengerin saran dari teman-teman semuanya hehe.

***

Sepulangnya dari rumah abi Usman, Ibram segera bercerita pada sang ayah perihal keputusannya. Ayah Ibram dengan tenang dan bijaksananya mendukung keputusan sang anak.

"Kalau memang kayak gitu keputusan abang, ayah mah mendukung saja. Yang penting abang harus bertanggung jawab atas keputusan itu" Ibram tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan.

"Abang mau ke rumahnya kapan?" tanya ayah, Ibram kemudian menatap ayah lumayan lama. "Ibu gimana ya yah? Abang bilangnya gimana?" bukannya menjawab, Ibram malah mempertanyakan restu dari sang ibu yang belum ia temui sejak tadi, karena Ibram memang langsung menuju ruang kerja ayahnya saat sampai rumah.

"Ya ngomong aja, kayak kamu ngomong ke ayah" jawab ayah disertai kekehan, "Ibu bakal setuju enggak ya yah?" bukannya apa-apa Ibram bertanya, pasalnya Putri sudah lemes duluan dengan mengatakan bahwa ia sudah memberi angin pada Syifa. Tentu saja ibunya itu pasti akan sedikit kecewa.

Ayah Ibram kemudian merangkul pundak anak lelaki tertuanya tersebut dengan sayang, "Bismillah, niat kamu sudah baik insyaAllah dibantu sama yang diatas" Ibram menunjukan senyumannya.

"Hari ini gak ke Molen?" tanya ayah, Ibram menggeleng sembari melihat jam dinding. "Riko masih bisa handle" jawab Ibram dengan mata masih melihat kearah jam, ia kemudian melebarkan senyumannya. Ia sendiri juga tidak paham mengapa ia harus se lega ini dengan keputusannya.

"Gimana kalau malam ini aja yah?"

***

Aura menggigit kukunya yang panjang namun tidak berwarna seperti biasanya, sesudah shalat dan belajar membaca Al-quran, ponselnya berdering pertanda pesan masuk. Seperti biasa, pesan dari Ibram selalu membuatnya gugup. Namun kali ini ke gugupan itu menjadi beratus kali lipat karena Ibram mengatakan bahwa ia akan datang bersama keluarganya untuk meng-khitbah Aura.

Mungkin nilai agama Aura sangat jelek, minus malah, namun untuk beberapa kata seperti khitbah, taaruf, dan segala macamnya itu, sedikit banyak Aura paham maksudnya.

Dan kini, gadis yang masih mengenakan mukenah itu tidak tahu harus melakukan apa, kakaknya sedang berada diluar kota, perjalanan bisnis. Lalu apa yang harus ia katakan kepada sang kakak jika ia malam ini akan dilamar?!!

"Duh" keluh gadis itu ketika mengingat bahwa ia hanya seorang diri di rumah, siapa yang akan melayani tamu nantinya saat ia sedang mengobrol dengan kelaurga Ibram? Ya, itupun jika Aura sanggup membuka suaranya sih. Tapi tetap saja, ia butuh seseorang untuk membantunya kan?

Ck, Ibram suka sekali mengambil keputusan sendiri.

"Odhi?" sapa Aura saat panggilannya diangkat, "Ngapa?"

"Eum, bantuin gue bisa enggak?" terdengar helaan nafas dari balik telfon, sepertinya Odhi masih ngambek perihal Aura yang tidak mau pergi bersamanya. "Lo masih ngambek?" tanya Aura, "Maaf dhi, lain kali gue janji bakal temenin lo deh"

"Minta tolong apa?" tanya Odhi dari seberang, Aura tersenyum lega meski ia tahu Odhi tidak melihatnya. "Eum, gue bakal ada tamu tapi gue cuma sendiri di rumah. Bisa dateng bantuin gue enggak?"

"Tamu apaan dateng malam-malam?" meski bertanya dengan nada heran, namun Aura dapat mendengar suara motor Odhi yang sedang di starter. "A-ada lah pokoknya, nanti gue kenalin lo sebagai abang ya?"

"Apaansih?" suara angin kemudian terdengar, Odhi sudah jalan, itu artinya kurang dari lima menit ia akan sampai di rumah Aura. "Tamu apaan sih Ra?"

BE MY HUSBAND PLEASETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang