Hujan Terakhir

6.9K 149 41
                                    

Leon mengayuh kursi rodanya sekuat tenaga. Sesekali ia membenarkan tudung merah rajutan, hadiah dari dira, ia juga membenarkan kacamatanya. Leon menggigit gig-gigiya, rahangnya mengeras, matanya terasa panas, bulir-bulir air mata itu tak sabar untuk keluar. Leon terus berusaha mengayuh kursi roda dengan kedua tangannya, Ia melewati jalan menanjak, disamping jalan itu, terdapat anak tangga yang sering dia lalui bersama dira, sebelum ia menggunakan kursi roda sialan itu. Kini ia telah sampai di atas anak tangga itu. Pandangan terfokus pada setiap anak tangga itu, dan bulir-bulir itu pun terjatuh. Ingin rasanya bagi leon untuk meluncur melewati anak tanggga itu dan melihat apa yang terjadi. Tanpa nyali leon menciut. Ia seorang pengecut. Lelaki lemah. Itulah dia.

 Leon tak tahu apa yang sebenarnya dia rasakan, ia hanya merasa marah, ia hanya merasa kesal, ia hanya merasakan sesak di dadanya tapi ia tak tahu bagaimana melepaskan rasa sesak itu dari dadanya. Leon menarik nafas dengan berat. Rasa sesak semakin memenuhi dadanya. Ia begitu frustasi. Ia ingin hidup lebih lama, ia ingin merasakan sedikit lama lagi kebahagiaan yang akhir-akhir ini dialaminya, sedikit lama lagi.... namun, leon menyadari waktunya tak lama lagi dan ia tahu akan semakin sulit bagi dira jika ia terlalu lama bersamanya. Akan semakin sulit buat dira untuk melupakannya, atau itu hanya pemikirannya saja. Ah...entahlah.. sekali lagi leon menarik napas, ditariknya kursi rodanya kuat-kuat. Roda itu berputar kebelakang, 24 anak tangga itu tak terlihat lagi. Kursi roda itu seperti terlempar kuat ke depan, begitu cepat hingga kini roda itu meluncur, melewat keduapuluh empat anak tangga itu.

Leon menghembuskan nafasnya berat, memandang langit malam yang penuh bintang. Kini tubuhnya terhempas di rerumputan. Bulir-bulir itu kembali berjatuhan di kedua ujung matanya. Suara berisik kursi roda yang meluncur, membuat leon ingin terus menerus mengeluarkan air mata. Leon melepas kaca matanya, matanya menatap jutaan bintang yang semakin terlihat buram, terhampar luas dihadapannya.

                “Bodoh. Laki-laki lemah.” Kata leon lirih. Leon memejamkan matanya, tanganya memegangi lekukan hidung yang memisahkan kedua matanya. Ia berusaha mengatur nafasnya. Terdengar bunyi langkah kaki, bersama dengan suara berisik kursi roda yang mungkin sedang didorong oleh pemilik langkah kaki itu. Mungkin itu perawat disini, pikir leon karena ia tak mengendap-endap untuk kabur dari ruanganya. Mamanya pasti sudah panik setengah mati untuk mencarinya, seperti waktu itu.

                “Ah... mama” gumam leon lirih. Suara kursi roda berhenti tepat disampingnya. Hanya terdengar langkah kaki yang mendekatinya. Leon membuka mata, lalu ia pun tersenyum, melihat dira yang berdiri dan membungkukkan badannya, tersenyum dihadapan leon. Dira bagai bidadari yang turun dari langit malam itu. Dira cantik, sungguh canti, rambut lurus, ujung-ujungnya sedikit curly, tetap dengan poni rambut yang menutupi dahinya. Sesuatu tersandar di tanganya. Ah... selimut itu, kata leon dalam hati. Ia seharusnya tahu bahwa dira tak akan melupakan selimutnya itu. leon tersenyum kecil dan segalanya berubah gelap.

***

Dira berlari dengan tergesa-gesa. Kepanikan terlihat jelas diwajahnya, ia mendendeng selimut yang disampirkan di lengan tangan kanannya. Ia langsung menuju rumah sakit ketika mama leon menghubunginya bahwa leon pergi lagi dari ruangannya, bahkan leon tidak membawa selimutnya. Padahal dira selalu mengingatkan leon untuk selalu membawa selimutnya ketika keluar ruangan.

                “Beraninya kau tak mengindahkanku...” kata dira lirih sambil terus berlari kecil hingga ia menemukan kursi roda yang tergeletak di ujung anak tangga. 24 anak tangga ia selalu menghitungnya bersama leon.

                “Ya Ampun... apa yang terjadi dengan anak itu?” kata dira, ia pun mempercepat langkahnya, mengambil kembali kursi roda itu. Perlahan dira menaiki keduapuluh empat anak tangga itu, menimbulkan suara bising dari kursi roda yang didorongnya. Dira yakin saat ini leon ada di bukit itu. Dira membenakan rambutnya ketika ia telah sampai diatas anak tangga itu, kedua matanya menyibak pamandangan di depannya, hanya rerumputan hijau yang diterangi dengan lampu remang-remang. Dira menghembuskan nafasnya, kemudianya ia menggelengkan kepalanya ketika melihat seseorang berseragam pasien sedang berbaring direrumputan, wajahnya menghadap langit malam.

hujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang