Chapter dua

509 68 7
                                    

Ini sudah bulan ke-empat pernikahanku dengan Koo, dan hari-hari berikutnya akan berubah.

Sebulan yang lalu, tepatnya setelah Koo melihatku pulang di antar Yoonki, kami berdebat cukup hebat. Mungkin juga itu adalah kemarahan pertamaku selama menjadi istri Koo. Sebenarnya aku tau mengapa Koo sebegitu bencinya melihat ku pergi bersama Yoonki. Namun karena tamu bulananku yang hadir pada hari pertama membuatku tidak bisa menahan emosi. Malam itu adalah malam dimana pertama kali aku membentak Koo.

Aku sudah sering menangis tatkala mengingat betapa Koo membenciku begitu sangat, tapi malam itu untuk pertama kalinya Koo melihatku menangis dan mengeluh di depan matanya. Bahkan aku sampai pulang ke rumah ibu dan ayahku. Hatiku ngilu, dadaku sesak dan leherku seperti tercekat setiap mendengar kata demi kata yang Koo ucapkan nyatanya begitu menyayat hati.

Dua hari aku kembali ke rumah, Kak Sukjin juga sudah berkali-kali membujuk, tapi hal itu tak membuatku gentar dan kembali hidup dengan pria brengsek itu. Kami berada dalam fase terlelah masing-masing. Koo yang lelah karena pekerjaanya, dan aku yang lelah dengan sikap Koo yang tidak pernah mengharagaiku. Tak jauh juga dengan sifat ku yang masih labil.

Sampai pada akhirnya di malam ke tiga, pria itu datang. Sejak awal aku sudah mengira jika kedatangan Koo pasti karena bujukan Kak Jin, dan memang benar adanya. Sejak awal kedatanganya aku sudah berniat untuk menyudahi pernikahan gila ini, mungkin saat itu aku juga gila karena pikiran yang begitu pendek dan tergesa-gesa.

Namun nyatanya tidak. Malam itu, pertama kalinya Koo menyentuh tanganku begitu lembut. Dia tidak memohon, yang dia katakan hanyalah maaf dan keinginannya agar aku kembali. Sial. Saat itu juga aku merutuki diri ini. Aku benci karena terlalu mudah luluh hanya dengan suaranya yang halus sekalipun aku tau itu hanyalah kepalsuan.

Satu hal yang membuatku berfikir dua kali adalah saat Koo mengatakan "Baru empat bulan menikah sudah mau bercerai?" dan memang benar sekalipun kelak kami berpisah setidaknya Koo harus sembuh terlebih dahulu.

"Ingin menu makan siang apa Koo?" tanyaku sembari melepas sabuk pengaman. "Hari ini aku ada pesanan untuk rekan kerja Kak Jin, mau sekalian aku bawakan bekal?"

Koo sedikit menimbang, kedua tanganya yang masih memegang kemudi mobil dan mata yang melirik ke atas seperti sedang berfikir. "Terserah kau saja," ujarnya datar sembari menyibakan rambut ke belakang. Rambut pria itu sudah sangat panjang tapi tidak juga di potong.

Aku menganguk, "Yasudah aku pergi dulu. Hati-hati di jalan," kemudian aku turun dan menutup pintu mobil sedan itu.

Tak lama kemudian Koo melajukan mobilnya setelah membunyikan klakson sebagai tanda dia akan pergi.

Ini yang aku katakan akan berbeda. Hari-hari ku tidak lagi membosankan karena setelah perdamaian yang kami deklarasikan Koo mewujudkan impianku untuk memiliki Kedai kue dan Kopi. Belum ada satu bulan kedai ku sudah sangat ramai, bahkan aku sudah punya sepuluh pegawai. Selain opening yang banyak diskon tempat kedaiku ini cukup strategis, yaitu di dekat kampus milik Subin.

Meski melelahkan tapi aku lebih senang. Disini aku bisa mengobrol, berbagi cerita, juga menggunakan otak ku kembali sebagai seorang yang berpendidikan, tapi tugasku untuk melayani Koo tetap harus aku lakukan. Karena jika tidak Koo akan menutup kedai ini selamanya. Itu ancaman yang dia katakan.

"Pesanan milik kakakku sudah di siapkan?" tanyaku kepada para koki. Biasanya sebelum kedai buka aku selalu memeriksa kesiapan para koki-ku. Beberapa dari mereka akan memberikan Tester terlebih dahulu sebelum memastikan semua adonan itu siap di olah.

"Sudah Nona. Ini beberapa sempel untuk pesanan Kakak anda."

Aku mengangguk kemudian mencicipi beberapa potong roti yang sudah mereka kerjakan sebelum aku datang. Aku cukup bangga dengan kinerja para kokiku, mereka selalu menyihir tepung dan telur menjadi bongkahan kue/ roti yang sangat lezat.

Ko'Koos ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang