Chapter Empat

435 69 13
                                    

Hallo. Aku update lagi ya ☺
Btw kalian lebih suka cerita yang teen atau kehidupan pernikahan seperti ini?
Kayaknya kebanyakan cerita yang aku buat pasti udah nikah semua kwkwk 🤣

Cuma My Buddy aja yang awal PDKT sampe hamil 🤣

Komentar dan votenya ya sayang 😍

Komentar dan votenya ya sayang 😍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Terimakasih tumpangannya Yoonki. Tapi sebaiknya ini terakhir kalinya kau memaksa untuk mengantarku."

Pria di sampingku ini tidak menghiraukannya, "Tidak mau. Lagian kenapa kau tidak membawa mobil sendiri saja?" tanyanya sembari mengulurkan sebuah payung lipat, kemudian aku menoleh ke luar jendela. Ternyata hujan belum reda, ini sudah hampir jam sembilan malam.

"Aku berangkat bersama Koo. Bodoh."

"Lalu kenapa suami mu tidak menjemput, bodoh."

Tanganku terhenti saat akan membuka pintu mobil, "Dia sedang ada rapat."

Aku membalikan badan memberi atensi penuh kepadanya, "Yoonki. Sepertinya kita terlalu dekat."

"Ya. Memang itu yang aku mau. Bukankah bagus?"

"Tidak," potongku langsung. "Maksudku, aku ini sudah memiliki suami. Tidak baik jika selalu pulang di antar pria lain."

Yoonki terkekeh lalu menatapku nanar, "Suami mu bahkan sangat jarang menjemputmu. Dia tidak peduli bagaimana cara istrinya pulang dalam keadaan hujan deras seperti ini."

"Benar juga," batinku.

Sejenak aku memandangi payung yang ada di genggaman tanganku. Kemudian aku menyerahkan kembali pada Yoonki. "Ya. Tapi salah juga jika kita seperti ini."

Detik itu juga aku keluar dari mobil Yoonki dan berlari kedalam rumah sekalipun hujan cukup deras mengguyur. Sekalipun Yoonki meneriaki ku.

Aku percaya, sebuah kehidupan selalu memberikan pilihan yang terkadang sulit untuk memilih salah satu di antaranya. Namun tetap saja, kita hidup harus memilih, dan kala kita memilih maka kita harus mengorbankan salah satu di antaranya.

Dan aku merasa telah mengorbankan pernikahanku, aku mengorbankan waktu ku untuk Koo setelah mulai aktif menjadi pemilik kedai roti. Bohong jika aku baik-baik saja, ada kalanya aku sadar jika belakangan ini Koo mengurus dirinya sendiri. Dan itu membuat jarak kami terpaut semakin jauh.

"Aku pulang," seru ku sekalipun tidak akan ada orang yang menyambut kedatanganku.

Aku menghela napas dan terpaku sejenak. Rumah ini kapan hangatnya? Terasa semakin dingin dan sunyi. Mungkin jika ada anak kecil semua akan berubah, tapi anak siapa? Tidak mungkin anak ku dan Koo. Itu mustahil.

Langkah kaki ku terhenti saat melihat ada seseorang sedang meringkuk di sofa. Awalnya ku pikir itu hanyalah sebuah halusinasi, karena lampu ruang tamu yang begitu redup juga orang itu memakai pakaian serba hitam. Namun setelah aku mencari saklar lampu dan menekanya, orang itu benar-benar nyata.

Ko'Koos ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang