Peterpan

1.3K 38 3
                                    

"Elo yang salahkan ? Elo egois. Elo perempuan paling enggak tau diri yang pernah gue kenal. Jangan harap gue mau untuk maafin elo. Dan jangan berharap kita bisa kayak dulu"

***

"Re"

"Terresa ! Lo dengerin apa yang gue omongin enggak sih ?"

"Oh.. ya. sorry La. Eh.. emangnya lo tadi ngomongin apa ya ?" Aku tergagap karena teriakan Carla. Inkuisisi Carla.

"Re, lo tuh hari ini makin parah tau enggak. Kenapa gue bisa bilang makin parah ? Elo hari ini kerjaannya cuma ngelamun, ngelamun, ngelamun. Lo kenapa sih ? Gue bisa liat dari mata lo yang sayu itu. Lo seperti punya beban pikiran seberat 100kilo. Cerita sama gue sekarang." Tuntutnya. Aku hanya memandang wanita di depanku ini. Berambut panjang dengan wajah yang sedikit bernuansa cina karena matanya yang kecil dan berkulit putih. Aku berteman dengannya semenjak aku kuliah, dan sedikit banyak dia tahu tentangku dan Dylan.

Rasa ingin tahunya Carla seakan menusukku, dan aku pun mencoba menyingkirkan pikiran yang tadi berkeliaran dari diriku.

"Enggak ada yang perlu di ceritain La. Cuma lagi capek sama pekerjaan aja kok. Tenang aja deh" sahutku tenang.

Aku dan Carla pun mulai membicarakan hal lain, untunglah dia terpancing. Ya, mengalihkan pembicaraan selalu yang paling tepatkan. Sampai akhirnya..

" Halo.. kamu udah pulang ? Ah... mau dong. Dimana ? Kebetulan aku lagi sama carla. Oh, ga bisa jauh jauh ? Yaudah aku kesana ya. Okey. Bye."

Aku melirik Carla setelah menutup telfonku, sudah memasang wajah masam rupanya. " jadi lo mau ninggalin gue gitu aja Re ? " kata Carla sungut. Aku pun mencoba memberi alasan yang masuk akal untuk Carla. Dylan yang super sibuk ini hanya punya sedikit waktu untuk sekedar makan bersama tunangannya. Rasanya mau kembali ke masa SMA dulu. Sebelum kita sesibuk ini batinku. Dan akhirnya Carla mengerti. Dengan muka yang cemberut kita berjalan bersama menuju pintu keluar cafe ini.

" hati hati dijalan ya Re. Gue tunggu dikamar " kata Carla sambil melambai kearahku. Aku pun membalas lambaiannya lalu menuju parkiran tempat mobilku terparkir. Seatbelt, spion ready. Aku langsung menuju restoran yang tidak jauh dari lokasi kerja Dylan, tunanganku. Ya, biarpun aku sepertinya orang yang antisosial, aku masih punya seseorang yang mencintaiku. Setidaknya, dia mencintaiku. Dan akupun sangat, sangat mencintainya.

***

" Hai " lambaiku tanpa suara kearah Dylan. " sudah lama menunggu ? Aku minta maaf. Terjebak diantara ribuan besi bergerak lainnya" Kataku sambil terengah engah. Dia hanya tersenyum. Lalu berkata " iya, tidak apa apa. Aku udah pesan makanan untuk kita berdua. Seperti biasa, aku memesan kesukaanmu. "

" Kentang rebus dan brokoli dengan keju ? " Tanyaku bersemangat.

" Iya, dengan banyak sekali keju diatasnya. " jawabnya tersenyum. Ah.. Senyum itu, berapa kalipun aku menatapnya. Sepertinya aku akan tetap meleleh seperti keju dipesananku itu.

"Jadi, bagaimana dengan pekerjaanmu ? Apakah tetap membosankan ? " Tanyaku memulai pembicaraan. " selalu bersemangat, Terresa. Andai kamu seperti ini pada banyak orang. Ya, pekerjaanku membosankan. Bertemu orang orang. Membahas bagaimana bisnis, melihat grafik yang memusingkan. Setidaknya aku selalu berpikiran bekerja dengan giat untuk masa depan yang cerah. " katanya, lalu berhenti. Dia mengambil nafas panjang.

" karena kita membicarakan tentang masa depan. Ada sesuatu hal yang ingin aku bicarakan " Oh tidak. Inikah saatnya ? Aku rasa aku belum siap. Atau, kurasa siap. Jika ini waktunya. Oh, rasanya aku seperti berada di atas langit. Hatiku seperti berada dimulutku. Jantung yang berdebar tak karuan. Padahal, walaupun aku dihadapi beberapa orang banyak dengan muka sentimen pada saat meeting. Tidak seburuk ini. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari kantung jasnya. Inilah saatnya..

My Lovely SisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang