Bab 16

456 131 119
                                    

Sesuai permintaan Margaret, Susan pun menutup mata. Seketika itu juga, memorinya terbawa jauh ke masa silam. Ia bisa menyaksikan segala peristiwa dari sudut pandang sang nenek, sama seperti ketika sedang melakukan sihir pembaca pikiran.

Kala itu Margaret sedang melawan sekelompok prajurit kerajaan.

"Ergisum Navaro!" Seruan itu seketika mengacaukan gerakan  lawan, membuat mereka justru bertarung satu sama lain. Nenek Margaret tampak berdiri diam di tempatnya menjaga agar konsentrasinya tidak buyar.

Ah, sihir halusinasi massal, gumam Susan. Ia mengingat dulu pernah mencoba mempelajarinya tetapi gagal. Ya, sihir itu memang bukan sihir gampangan. Hanya para Antorum dengan kemampuan konsentrasi tinggi yang bisa menguasainya.

Akibat sihir itu, para prajurit pun sama sekali tak menghiraukan keberadaan Margaret. Mereka tenggelam dalam ilusi dan saling bertarung sendiri-sendiri. Mereka tak bisa lagi membedakan yang mana kawan dan mana lawan.

Ketika semua sepertinya sudah berjalan sesuai rencana, tiba-tiba Margaret merasakan tubuhnya tertabrak seseorang. Konsentrasinya pun mendadak buyar.

Wanita itu berpaling dan mendapati Dimitri tampak tergolek bersimbah darah, sementara sebuah anak panah tertancap di dada. Rupanya sang suami—yang adalah seorang penyihir loctrum—baru saja berteleportasi ke dekat Margaret untuk melindungi istrinya itu dari sebuah anak panah yang melesat.

Melihat sang suami meregang nyawa, Margaret tak peduli lagi dengan para prajurit yang kini lepas dari pengaruh sihirnya. Dengan tangan gemetar dan air mata bercucuran, ia mengelus pipi Dimitri yang kini terbaring lemah di pangkuannya. Detik itu juga, kesedihan dan keputusasaan menyelimuti seluruh jiwanya.

Sementara itu, seorang prajurit berjalan mendekat lalu memukulnya hingga pingsan.

Margaret tersadar kembali beberapa saat kemudian dengan kondisi tangan terikat, mata tertutup, dan mulut tersumpal. Tak ada peluang lagi baginya untuk merapalkan mantra sihir apa pun.

Ia hanya bisa mendengar bagaimana pemberontakan mereka telah gagal sementara Stevan dihukum mati oleh kakaknya sendiri.

Berkat permohonan Ronald, Agra akhirnya tidak jadi menjatuhkan hukuman mati bagi ketiga pemberontak---Margaret Kevan, Jack Halley dan Lily Aldrin. Lalu, atas saran dari Karl, mereka pun diasingkan ke Pulau Barnes.

Setelah menempuh perjalanan berhari-hari dalam kegelapan dan belenggu, para penyihir tawanan itu baru bisa melihat kembali cahaya setelah tiba di Pulau Barnes. Para gerpa yang bertugas di sana memberikan sebuah ramuan yang berkhasiat mencegah penggunaan sihir.

Ketika itu kondisi di sana masih baik-baik saja. Tak ada aura mistis yang terasa seperti saat Susan pertama kalinya tiba di pulau. Mereka juga melewati perkampungan dengan para penduduk yang ramah. Semuanya terlihat masih sangat normal.

Setelah melewati pemukiman warga, mereka terus berjalan menembus sebuah hutan yang cukup lebat untuk mencapai kuil. Suasana yang sepi terasa asri dengan iringan kicau burung dan kupu-kupu berterbangan. Suara gemericik sungai pun lama kelamaan terdengar semakin jelas.

Hingga saat mereka tiba di dekat sungai, Jack tiba-tiba menanduk salah seorang gerpa, membuatnya terhuyung hampir jatuh. Melihat itu, gerpa yang lain murka dan langsung memukuli Jack. Margaret yang tak tega melihat anaknya diperlakukan dengan kasar, berusaha menarik salah seorang gerpa untuk menolong anaknya. Namun, tubuh tua Margaret sama sekali tak sebanding dengan tenaga gerpa muda berotot. Dalam sekali hempas, tubuh Margaret terpelanting. Ia terpeleset dan jatuh ke sungai yang berarus deras.

Margaret menggapai-gapai berusaha mendapatkan pegangan untuk mencegah tubuhnya hanyut. Namun, dengan kondisi tangan yang masih terikat, upayanya jelas percuma. Tak ada apa pun yang bisa menahan laju tubuhnya. Wanita itu pun terbawa aliran air hingga masuk ke sebuah gua.

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang