Malam itu, Isabel tengah berbaring di rerumputan bersama sang ayah dan rombongannya. Derik jangkrik terdengar dari hutan mengisi kesunyian. Sambil menerawang menatap langit, ingatannya kembali berkelana ke masa lalu, ketika Pangeran Daniel datang ke Kingsfort untuk melamarnya.
"Terima kasih sudah datang jauh-jauh dari Doria. Silakan dicicipi hidangannya," ujar Agra. Ia menyambut kedatangan tamunya dengan sebuah jamuan makan malam.
"Terima kasih, Yang Mulia. Sebuah kehormatan bagi kami," sahut Ramon, ayah Daniel. Sementara itu, Daniel hanya membungkukkan kepala, tanpa suara, tanpa senyuman. Garis rahangnya yang tegas berbingkai jambang sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Namun, Isabel merasakan aura yang dingin terpancar dari kehadiran sang pangeran.
Setelah saling memberi salam dan berbincang singkat, mereka pun mulai makan. Tak banyak percakapan yang terjadi selama itu. Hanya Ramon sesekali memuji kelezatan masakan yang terhidang serta menceritakan kecakapan putranya dalam kemiliteran. Sementara itu, Daniel hanya diam. Matanya sesekali menyorot pada Isabel yang makan dengan perasaan sama sekali tak nyaman.
Ketika sudah hampir selesai makan, Daniel meminta seorang gadis pelayan yang berdiri di dekatnya untuk menambahkan anggur pada gelasnya
Pelayan itu menurut dan langsung mengisi gelas anggur Daniel. Namun, karena kurang hati-hati, ia meleset dan alih-alih mengisi gelas, anggur itu justru tumpah membasahi Daniel.
"DASAR BODOH!" umpat Daniel sambil mengentakkan gelasnya. Ia lalu berdiri dan mendorong pelayan itu keras-keras hingga jatuh tersungkur. Tekonya jatuh berkelontangan dan isinya tumpah membasahi lantai.
"Ma-maaf, Tuan," ujar pelayan itu sambil meringis menahan sakit.
"PERGI! Aku tak sudi melihatmu!" bentak Daniel.
Dengan tubuh gemetar ketakutan, pelayan itu pun bergegas pergi. Matanya tampak basah menahan tangis. Daniel lalu duduk kembali sambil mendengkus kasar, sementara seorang pelayan lain membereskan kekacauan di lantai.
"Maaf, atas gangguan itu," ujar Daniel ketika mendapati semua mata tertuju padanya. Hanya Isabel yang memilih tetap menunduk, menghindari tatapannya bertemu.
Setelah insiden itu, ada ketegangan yang terasa mengambang dalam ruang perjamuan.
Ramon lalu angkat bicara untuk mencairkan suasana. "Maaf, anakku terlalu sering bergaul dengan prajurit sehingga perangainya jadi agak kasar," ujarnya sambil berdehem. "Kepergian ibunya juga membuat semuanya jadi lebih berat."
"Yah, kurasa kau harus mendidiknya lebih keras," sahut Agra lirih.
"Terima kasih nasihatnya," ujar Ramon. Beberapa saat kemudian suasana hening kembali.
Ketidaknyamanan itu akhirnya membuat Ramon merasa bahwa ia sebaiknya segera mengutarakan maksud kedatangannya. Sambil berdehem beberapa kali, ia pun berkata, "Jadi, apakah kita bisa mulai membahas rencana pertunangan anak-anak kita?"
Setelah hening sesaat, Agra pun menyahut, "Mengenai itu, aku menyerahkan keputusannya pada Isabel sendiri." Ia lalu menatap pada putrinya sambil bertanya, "Bagaimana menurutmu? Apakah kau bersedia menerima lamaran Pangeran Daniel?"
Seketika itu, semua mata pun tertuju pada Isabel, membuat perasaannya sama sekali tak nyaman. Ia merasa seperti ingin menghilang saja.
Sebenarnya, sejak awal ia tak mau menerima lamaran Daniel karena sudah ada Bram di hatinya. Hanya saja, karena hubungan gelapnya itu tak direstui, dan demi menghormati Doria, ia bersedia bertemu dan setidaknya mengenal calon suaminya lebih dulu. Insiden yang baru saja terjadi kian menguatkan keputusannya untuk menolak Daniel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)
Fantasy[Buku Kedua dari Seri Putra Penyihir] Setelah berhasil selamat dari Pulau Amui, Peter pergi mengikuti Ronald untuk belajar sihir. Namun, setelah beberapa lama, ternyata ia sama sekali gagal. Ronald akhirnya memutuskan untuk membawa Peter ke Kota Be...