Bab 18

512 124 162
                                    

Seketika keluar dari portal sihir, Susan merasakan pasir yang lembut di telapak kakinya. Deburan ombak terdengar bak simfoni ritmis yang menyapa pendengaran. Angin bertiup lembut membawa aroma laut, sementara langit tampak merona merah, pertanda sore akan segera menjelang. 

Berkat sihir Jack, keempat penyihir itu kini berhasil tiba di sebuah pantai di pulau Nohr.  

"Baiklah, sekarang tugas kami sudah selesai," ujar Dimitri yang kini berada dalam fisik Jack.

Untuk beberapa saat, Susan menatap sang ayah lalu menghambur memeluknya. "Terima kasih ..." bisik Susan dengan mata yang mulai basah. Ia tahu bahwa tak lama lagi, arwah sang kakek akan pergi untuk selamanya.

Suasana haru pun segera menyeruak dalam hati mereka.

Setelah Susan selesai berpamitan dengan Dimitri, Margaret berpesan, "Sepeninggal kami, kau harus memulihkan alam sadar mereka menggunakan sihir memperbaiki ingatan. Kau bisa menemukan mantranya dalam buku catatan sihirku.

"Menyadarkan Fiona akan lebih mudah karena ia belum lama dirasuki, tetapi Jack dan Lily akan berada dalam kondisi koma. Kau harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan kesadaran mereka."

"Baiklah," sahut Susan. Ia kini ganti memeluk tubuh Lily untuk menyampaikan perpisahannya pada sang nenek. 

"Aku yakin, kau pasti bisa menjadi seorang antorum yang hebat," bisik Margaret di telinga Susan. Ia mencium dahi sambil mengelus puncak kepala sang cucu penuh kasih.

"Terima kasih, Nek ... untuk semuanya," sahut Susan sambil masih terisak.

Setelah memeluk Jack dan Lily bergantian. Susan mengalihkan tatapan pada Fiona. Ada sorot mata Pogna di sana.

"Terima kasih banyak ... Semoga kau bahagia di alam sana." Dengan mata yang basah, Susan memeluk Fiona erat-erat. Ia tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaannya yang kini membuncah di dalam dada. Pogna adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya. Bahkan setelah kematiannya. 

Pogna tersenyum sambil mengelus puncak kepala Susan, "Teruslah berjuang untuk mimpi-mimpimu. Aku percaya, kau dilahirkan untuk sesuatu yang besar."

Susan merasakan air matanya mengalir semakin deras. Meski tanpa kata, tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Ia yakin Pogna mengerti bagaimana suasana hatinya saat ini.

Setelah lama saling mengungkap rasa, Susan akhirnya melepas pelukan. Ia tahu perpisahan ini harus terjadi. Sambil menghela napas panjang, perempuan itu menatap Margaret, Dimitri, dan Pogna bergantian. 

"Kau siap?" tanya Margaret melalui bibir Lily.

Susan mengusap air matanya lalu mengangguk.  

"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu," ujar Margaret.

Detik berikutnya, tubuh Lily mendadak ambruk ke tanah. Jack dan Fiona menyusul tak lama kemudian.  Arwah Margaret, Dimitri dan Pogna telah pergi meninggalkan raga mereka.

Sepenuhnya sendiri, Susan mengusap air mata sambil menatap ketiga raga yang tergolek lemah di hadapannya. 

Ia lalu duduk berselonjor di atas pasir sambil menatap sosok sang ayah yang telah lama menghilang. Rambut cokelat gelapnya terlihat berantakan dengan butiran-butiran pasir menempel di sana. Meski sudah berusia setengah abad, parasnya masih tampak memikat dengan garis rahang yang tegas berbingkai jambang.

Begitu pula dengan Lily yang usianya beberapa tahun lebih muda dari Jack. Aura kecantikan tampak masih memancar dari wajahnya yang tirus. Rambutnya bergelombang berwarna kecoklatan senada hamparan pasir di sekitarnya.

Putra Penyihir : Fajar Kegelapan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang