Syafira sempat menatap bingung sosok asing itu. Seorang pria berwajah datar. Namun Syafira hanya memandanginya sekilas dan memilih tak menghiraukan.
Pria itu menghela ringan, lalu berbalik dan melangkah pergi yang entah ke mana. Tapi tak berapa lama kemudian dia kembali dengan satu paks tisu dan menyerahkannya pada Syafira.
Syafira geming.
Pria itu mendengus karena lagi-lagi dirinya diabaikan. Dia bisa saja meninggalkan wanita ini, tetapi entah mengapa, wanita ini seperti memiliki gravitasi yang menarik tubuhnya untuk melakukan apa yang seharusnya tidak dia lakukan.
Syafira refleks bergeser terkejut. “Kamu ngapain?”
“Duduk.”
Syafira menatap tidak suka pria berwajah bule dengan mata sipit itu. Syafira tentu sangat terganggu dengan kehadiran pria asing ini karena dia benar-benar sedang ingin sendiri sekarang.
“Menangis malam-malam di jalanan seperti ini, kamu pikir apa yang akan orang-orang pikirkan?”
“Kamu pikir emang aku pikirin?”
“Ditanya, balik bertanya, tidak ada dalam kamus etika.”
“Emang aku peduli?”
“Hanya memberitahu orang-orang yang pemikirannya masih sempit.”
“Dih?!” Syafira mulai emosi. Ditambah keadaannya saat ini yang memang sedang sensitif itu. “Kamu itu nggak tahu apa-apa ya! Nggak usah sok tahu, deh!”
“Memang.”
“Kalau gitu ngapain di sini? Ganggu tahu nggak! Siapa lagi nggak kenal? Udah sana pergi!”
“Apakah kamu penguasa bumi?”
“Ngomong sama Dora!”
“Siapa itu?”
“Tau ah!”
“Kekanakan sekali.”
Sumpah, ini orang malah membuat kepala Syafira rasanya ingin pecah saja. Syafira mendengus tak habis pikir saat pria yang wajahnya kelewat santai itu memasang AirPods di telinga. Tapi berhubung saat itu Syafira benar-benar sedang tidak mood, Syafira bangkit dan memilih beranjak pergi.
“Sekuat apa pun kita menjaga, yang ditakdirkan pergi tetaplah akan pergi. Dan sekuat apa pun kita menolak, yang ditakdirkan datang tetaplah akan datang.”
Sebelum berjarak satu meter, Syafira telah berhenti.
“Tidak ada yang salah dengan patah hati, mungkin itu cara Tuhan mengingatkanmu jika dia bukanlah untukmu.”
Ini manusia muncul darimana coba? Aksen bicaranya pun terdengar aneh, seperti menunjukkan kalau dia belum lama tinggal di Indonesia. Namun sayangnya Syafira benar-benar sedang tidak ingin peduli. Pada apa pun dan siapa pun. Syafira lantas balik badan dan menatap pria itu dengan jengkel. “Siapa juga yang patah hati?”
“Mbak.”
“Aku bukan mbak-mbak!”
“Oh, tante-tante.”
“Ngajak ribut, ya?!”
“Galak. Kekanakan. Tidak tahu etika.”
Syafira merotasikan bola matanya. Siapa sih pria sok cool dengan mulut tanpa filter itu? Tolong siapa pun tahan Syafira untuk tidak melemparkan sandalnya pada wajah yang sangat minta dihajar itu. “Bodo amat sumpah!”
Dan hei, sekarang dengan tengilnya pria itu berlalu begitu saja. Membuat Syafira jadi benar-benar ingin melemparkan sandalnya pada sosok yang menurutnya sangat-sangat tidak jelas itu. Dia memang tampan, tapi menyebalkan.
Tapi tunggu. Sepertinya Syafira tidak benar-benar asing dengan pria itu.
Ah, ya, Syafira ingat sekarang. Dia pria yang tak sengaja bertabrakan dengannya ketika di pesantren kemarin.
-oOo-
Syafira memasuki rumahnya. Dengan langkah lesu, dia menuju kamarnya. Sementara Safiya sang kakak yang memperhatikan itu dari sofa, terheran-heran. Tidak biasanya Syafira acuh seperti ini. Khawatir, Safiya lantas menghampiri Syafira. Dan betapa terkejutnya ia tatkala mendapati sang adik yang sudah menangis terisak-isak. “Hei, Sya, kamu kenapa?”
Syafira hanya menggeleng lemah.
“Terus kenapa nangis? Coba cerita sama Kakak.”
Syafira tiba-tiba menghambur memeluk Safiya. Dan tangisnya semakin pecah di sana. “Sakit....”
“Apanya yang sakit?”
Syafira tidak lagi bersuara. Sibuk dengan tangisannya. Begitupun Safiya yang sibuk mengelus-elus punggung Syafira. Dia juga tidak menyuruh Syafira untuk bercerita lagi sebab paham, adiknya masih membutuhkan waktu untuk menenangkan hati.
“A-apa jatuh cinta itu sebuah kesalahan?”
Safiya menggeleng.
“Terus kenapa rasanya sakit banget?”
Safiya mengusap air mata Syafira dengan penuh perhatian. “Tidak ada jatuh cinta yang menyakitkan, adakalanya kamu hanya tersakiti oleh harapanmu sendiri.”
“Maksudnya?”
“Sekarang Kakak tanya, kenapa bisa sakit?”
“K-karena ... dia sama yang lain.”
Safiya tersenyum. Paham. “Kita ini tidak bisa memilih takdir, Sya. Jadi, mau sekuat apa pun kamu berharap, sepahit apa pun kamu bersabar dan sebesar apa pun cintamu padanya, kalau Allah bilang dia bukan jodoh kamu maka itulah yang akan terjadi.”
Perlahan, Syafira berhenti dari sedu sedannya.
“Jadi ... ikhlas, ya?”
Ya Allah, Syafira tahu Engkau Maha membolak-balikkan hati. Untuk itu jika Syafira boleh meminta, bisakah Engkau balikkan hati pria itu kepadanya?
Syafira tahu ini egois. Tapi untuk urusan ikhlas, dia masih perlu belajar banyak.
___ToBeContinued___
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahid Cinta [New Version]
RomanceTentang cinta sejati, ketulusan hati, dan sebuah ikhlas tanpa tepi.