Chapter 29

4.2K 265 35
                                    

Selama dua minggu terakhir ini, Syafira sudah bisa kembali ke rutinitasnya. Seperti, bangun pagi-pagi untuk membereskan pekerjaan rumah, menyiapkan sarapan, melayani suaminya, membaca buku, hingga merawat tanaman-tanaman yang ada di depan rumah. Jangan lupakan jika Syafira itu pencinta tanaman, bahkan dari sebelum ia menikah.

Sama seperti Syafira, kini kehidupan Hanafi juga kembali berjalan seperti biasa. Tidak ada lagi ratap tangis dan lingkar kesedihan lainnya. Yang ada hanyalah senyuman dan kebahagiaan. Hari-harinya dipenuhi dengan keharmonisan bersama Syafira. Ditambah lagi perhatian-perhatian kecil dan sikap romantis yang selalu Hanafi berikan pada sang istri tercinta.

Mereka benar-benar memperbaiki semuanya. Masa lalu itu, telah mendidik Hanafi dan Syafira pada apa yang seharusnya mereka jalankan.

“Sayang, udah belum?”

Syafira yang tengah berdiri di depan cermin itu, sedikit tersipu. Ah, panggilan itu. Entah kenapa masih saja membuat hati Syafira seperti dipenuhi kupu-kupu ketika mendengarnya. Terlebih lagi ketika Hanafi menghampirinya lalu memeluknya begitu saja.

“Udah siap? Hm?”

Rasanya masih seperti mimpi. Bagaimana Hanafi sekarang yang sangat jauh berbeda dari Hanafi di awal pernikahan mereka. Dari Syafira yang mencintai sendirian hingga kini ia merasa begitu dicintai.

Ya Allah, ternyata memang perkara mudah bagi-Mu untuk membolak-balikkan hati hamba-Mu.

Hari itu, Hanafi menjadi salah satu pengisi acara di sebuah acara kajian. Hadirin yang tampak terdiri dari seluruh kalangan, salah satunya Syafira. Sosoknya terlihat duduk di antara ratusan jamaah lainnya yang menghadiri kajian yang berlangsung di masjid Islamic Center tersebut.

Wanita itu tiada henti mengukir senyum bangga pada sang suami yang berada di atas podium sana. Pembawaannya yang tenang ketika menyampaikan, didukung sosoknya yang sejak awal memang cukup menarik perhatian, tak heran jika mengundang decak kagum para kaum hawa yang ada di sana, terutama sekumpulan remaja di dekat Syafira yang sepanjang tadi sibuk berbisik-bisik betapa mengagumkannya sosok yang tengah berbicara di depan sana.

Tiba di sesi tanya jawab. Pembawa acara terlihat memberikan kesempatan kepada para jamaah untuk bertanya. Syafira menatap ke sekitar. Lalu entah bagaimana bisa, sang pembawa acara tiba-tiba menunjuknya. “Iya, Mbak di sana dipersilakan untuk mengajukan pertanyaan. Bebas, ya.”

Menyadari senyuman penuh arti Hanafi ke arahnya, Syafira menghela ringan. Ternyata ini ulah pria itu. Mau tidak mau karena sudah menjadi pusat perhatian, Syafira akhirnya berdiri.

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Syafira mulai bersuara setelah pembawa acara memberinya mic. “Saya—”

“Maaf, sayang, bisa dideketin lagi mic-nya?” sela Hanafi tanpa diduga, yang sontak membuat seisi masjid yang semula riuh itu langsung berubah hening.

-oOo-

Acara kajian telah berakhir. Dan kini semua jamaah tengah melaksanakan salat Ashar berjamaah yang diimami oleh Hanafi. Suara merdunya terdengar menggema, mengisi setiap jengkal kekhusyukan di rumah Allah itu. Bahkan ada beberapa yang sampai meneteskan air mata ketika Hanafi membacakan surah Al-Hijr ayat 43. Sebuah ayat yang mengisahkan tentang betapa mengerikannya neraka dengan tujuh pintu yang di mana masing-masing mempunyai siksaannya yang maha dahsyat.

Syahid Cinta [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang