Keluar masuk ruang operasi seperti ini sudah bukan menjadi suatu hal baru lagi bagi seorang Fahriza Abizard, si dokter bedah tampan lagi berbakat. Pesona dokter 29 tahun lulusan Hamburg University dan Stanford University itu memang selalu bersinar di mata para pengagumnya. Seperti halnya sekarang, sudah tidak terhitung ada berapa dokter muda yang menyapanya di koridor. Memang, karisma seorang dokter itu katanya akan semakin tampak ketika mengenakan pakaian steril seperti ini.
Tetapi sayangnya, segala kesempurnaan itu masih mengantarkan Fahriza pada kesendirian. Bukan karena tidak tertarik mencari pasangan, hanya saja ada seseorang yang harus dia perjuangkan. Namun bukan untuk didapatkan, melainkan untuk dilupakan.
Fahriza memasuki ruangannya dan duduk di kursi. Mengistirahatkan tubuh penatnya sejenak setelah hampir empat jam lamanya bergelut di ruang operasi. Namun, rasa lelah tersebut menjadi tidak berarti ketika bayang-bayang wanita itu kembali mengusik pikirannya. Kali ini, sebuah kilas bayangan sembilan belas tahun yang lalu.
Saat itu, Fahriza kecil sedang berlibur ke kampung halaman ibunya. Dan di sebuah taman yang bersebelahan dengan gedung sekolah sejenis taman kanak-kanak, Fahriza berada. Atau lebih tepatnya dia sedang menunggu ayahnya yang entah ke mana. Sang ayah hanya menyuruh Fahriza menunggu sebentar di sini.
Fahriza memperhatikan beberapa anak yang berhamburan keluar dari gedung yang tidak terlalu besar itu. Lebih lagi, seorang anak perempuan paling mungil yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Fahriza, terlihat menerobos teman-temannya. Kedua netra di balik lensa hitam milik Fahriza tak lepas pada sosoknya. Dari anak itu menghampiri seorang perempuan remaja, sampai kemudian mereka menghampiri Fahriza —lebih tepatnya bangku yang sedang diduduki Fahriza.
“Sya tunggu sebentar, ya? Kakak mau ambil seragam kamu dulu. Ini uangnya kalau mau jajan,” ucap perempuan berkerudung biru itu, sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam gedung sekolah setelah memberikan selembar uang pada adiknya.
Meski duduk di tempat yang sama, kedua anak berbeda usia itu tampak sibuk dengan dunia mereka masing-masing. Anak lelaki ber-hoodie hitam sibuk dengan iPod-nya dan anak perempuan yang dipanggil ‘Sya’ sibuk dengan susu kotaknya.
Barulah setelah minuman yang dihisapnya habis, si anak perempuan mulai tidak bisa diam. Mula-mula dia membuang bekas kotak susunya ke tempat sampah, kemudian menjajal aneka jenis jajanan yang ada di dekat gerbang. Lalu anak itu kembali dengan permen lollipop besar dan gula kapas di kedua tangannya. Tapi karena terlalu aktif, kakinya menyandung sesuatu dan sialnya, lollipop-nya terjatuh.
“Aaaaaa permen Sya....” gadis kecil itu merengek sedih, padahal dia belum menyentuhnya sama sekali. Diam memandangi permen malangnya yang tergeletak di atas rerumputan, anak itu berjongkok, kemudian memungut kembali permen tersebut seraya meniupnya. Belum lima menit, pikirnya.
“Dasar jorok.”
Ketika dia nyaris melahap permennya dan mendengar sebias suara itu, dia menutup mulutnya kembali.
“Banyak bakteri, tidak higienis, menjijikkan.”
Anak perempuan berkerudung ungu muda itu kembali berdiri dan menatap tidak suka pada anak laki-laki berkacamata hitam yang baru saja mencercanya dengan cukup menusuk itu. “Apa, sih? Suka-suka Sya, ya! Permen-permen Sya!”
“Apakah di sekolahmu tidak diajarkan?”
Sya kecil melihat Fahriza yang berjalan menghampirinya, hingga sosok tinggi anak lelaki berkulit seputih susu itu menjulang menghalangi sinar matahari yang menerpa dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahid Cinta [New Version]
Roman d'amourTentang cinta sejati, ketulusan hati, dan sebuah ikhlas tanpa tepi.