Selesai Subuh itu, Syafira langsung berlenggang ke dapur. Karena sekarang dirinya sudah menjadi seorang istri, berarti dirinya juga sudah mempunyai tugas untuk melakukan segala hal yang berbaur pekerjaan rumah tangga, salah satu diantaranya menyiapkan sarapan untuk suami.
“Rajin sekali menantu Ibu ini.”
Syafira tersenyum pada Salimah yang menghampirinya.
“Masak apa, nih?”
“Ibu maunya apa? Biar sekalian Sya masakin.”
“Terserah kamu aja. Soalnya apa pun yang kamu masak nggak pernah gagal.”
Perkataan Salimah membuat Syafira tertawa kecil.
Lalu Salimah hanya akan memperhatikan Syafira yang memulai aktivitasnya. Kemampuan memasak Syafira memang tidak perlu diragukan lagi. Salimah tampak tersenyum bangga. “Memang nggak salah Ibu pilih menantu. Kamu tahu, Sya? Sebenarnya dari awal Ibu itu inginnya kamu yang sama Hanafi. Enggak tahu kenapa feeling ibu selalu bilang kalau kamu itu jodoh anak Ibu. Eh, ternyata benar.”
Syafira tersenyum agak malu-malu. “Jodoh memang nggak akan ke mana, ya? Sya juga masih nggak nyangka kalau Kak Hanafi sekarang sudah menjadi suami Sya.”
“Iya, dong. Allah aja tahu kalau yang cocok sama Kak Hanafi itu ya cuma Kak Sya.” Hamna ikut menimbrung dan memeluk Syafira dari belakang. “Kak Sya yang baik, cantik, pintar masak lagi.”
Syafira terkekeh. “Bisa aja kamu.”
Tak sampai satu jam untuk mereka menghidangkan hasil masakan Syafira di meja makan. Di saat yang sama Safiya keluar dari kamarnya, atau lebih tepatnya kamar tamu.
“Kakak mau ke mana?” tanya Syafira ketika mendapati sang kakak yang sudah berpenampilan rapi.
“Kakak mau pulang.”
“Kalau begitu sarapan dulu, kami masak banyak ini,” tawar Salimah seraya menarik kursi untuk duduk.
Namun Safiya menolak dengan halus, “Saya langsung pulang aja. Enggak enak kalau terlalu lama di sini.”
“Padahal Ibu senang-senang aja, kok.”
Safiya lalu beralih pada Syafira dengan pandangan haru. “Masyaallah.. adik Kakak ini sudah jadi istri orang. Baik-baik di sini, ya? Jadi istri yang taat. Tapi jangan lupa sama Kakak, sering-sering main ke rumah.”
Syafira memeluk Safiya dengan mata berkaca-kaca. “Enggaklah. Mana mungkin Sya lupain Kakak. Sya janji pasti selalu ke rumah.”
Safiya menepuk-nepuk punggung adik satu-satunya ini. Tanpa berlama-lama lagi wanita berkerudung biru tua itu kemudian meninggalkan rumah yang mulai kini akan menjadi tempat tinggal adiknya tersebut.
Selang beberapa menit setelah kepergian Safiya, Hanafi datang. Dia baru saja pulang dari masjid.
“Sarapan dulu, Kak.”
Hanafi duduk di kursi setelah Syafira menyiapkan piring untuknya. Namun dia segera menahan Syafira yang hendak mengambilkan nasi. “Biar saya aja.”
“Loh, nggak apa-apa. Syafira itu lagi menjalankan tugasnya sebagai istri. Melayani kamu, Fi,” ucap Salimah. Merasa heran dengan sikap Hanafi.
“Hanafi cuma ... takut kebanyakan aja. Mubazir nanti kalau nggak ke makan,” jelas Hanafi. Syafira tersenyum mengerti dan membiarkan Hanafi mengambil makanannya sendiri. Ia kemudian duduk di kursinya kembali.
“Oh iya, pengantin baru itu kan biasanya suka ada bulan madu. Apakah kakak-kakak sudah ada rencana mau berbulan madu ke mana?” tanya Hamna di tengah acara sarapan mereka.
Hanafi dan Syafira saling pandang.
“Hm?” Hamna mengangkat alis.
“Belum kepikiran,” jawab Hanafi singkat.
“Ya harus dipikirkan dari sekarang, dong. Mumpung masih anget-angetnya. Siapa tahu aja bisa langsung kasih Hamna keponakan.”
Syafira yang kala itu sedang minum, tiba-tiba tersedak. Membuat seluruh pasang mata di sana mengalihkan atensi padanya. Hamna tertawa kecil. “Tuh, kode keras.”
Hanafi memilih diam dan tidak menanggapi lagi. Sementara Syafira, memperhatikan Hanafi yang fokus pada makanannya dengan tanpa ekspresi. Tanpa banyak menerka pun Syafira tahu isi pikiran Hanafi sekarang.
Dan sarapan pagi itu pun berlangsung singkat karena tak berapa lama kemudian Hanafi pamit ke kamar, katanya ada acara di luar pagi ini dan dia hendak bersiap-siap. Disusul Hamna yang juga hendak bersiap ke sekolah.
___ToBeContinued___
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahid Cinta [New Version]
RomanceTentang cinta sejati, ketulusan hati, dan sebuah ikhlas tanpa tepi.