Terdengar suara derap langkah kaki yang memasuki ruangan sunyi itu. Dia berjalan mendekat bersama setangkai mawar putih di tangannya menuju ke sebuah ranjang tidur, di mana terdapat seorang wanita berkerudung biru tua yang sampai saat ini masih betah bercengkrama dengan alam bawah sadarnya di sana.
Pria itu, Hanafi, mengecup kening sang istri. “Assalamualaikum, sayang. Maaf, ya? Saya baru ke sini lagi.”
Hanafi mengusap lembut pipi yang kian bertambah cekung itu. “Tapi kamu tahu nggak? Tiga hari tanpa kamu itu rasanya berat banget. “Hanafi tersenyum menatap wajah tenang Syafira. “Iya, kamu buat saya rindu berat.”
Hanafi kemudian mengambil mawar putih dalam vas yang terpajang di nakas. Sejenak, dipandanginya bunga tersebut dan Syafira secara bergantian. Lantas tersenyum lagi. “Bunga ini seperti kamu. Meski layu, tapi tetap cantik.”
Pria 28 tahun itu mengganti mawar tersebut dengan mawar baru yang dibawanya. Lalu, dia meraih Al-Qur’an yang tersimpan di samping vas. Seperti biasa, membacakan ayat-ayat suci di samping Syafira. Kali ini surah Ar-Rahman, yang Hanafi tahu itu adalah surah kesukaan Syafira karena dulu istrinya ini sering sekali meminta dibacakan.
Ar-rahman ....
‘Allamal-qur’an ....
Khalaqal-insan ....
Satu jemari lentik itu bergerak kecil.
‘Allamahul-bayan ....
Diikuti jemari lain yang turut bergerak-gerak lemah.
Asy-syamsu wal-qamaru bihusban ....
Kali ini, kedua matanya tampak berkedut-kedut.
Wan-najmu wasy-syajaru yasjudan ....
Mata itu terus berusaha untuk bergerak.
Was-sama’a rafa’aha wa wadha’al-mizan ....
Hingga tak lama kemudian, dengan sangat perlahan sekali, sepasang kelopak mata yang sudah lama sekali terpejam itu, akhirnya terbuka.
Alla tathgau fil-mizan ....
Pelan-pelan, dengan kesadaran yang belum sempurna pulih, bibir pucat keringnya membentuk lengkungan tipis tatkala mendengar lantunan indah itu di dekat telinganya.
“Assalamualaikum, imamku..”
Aktivitas Hanafi seketika terhenti. Dan ketika mengangkat wajah, di situlah, kedua mata teduhnya bertemu dengan sepasang mata itu. Sepasang mata yang kini tengah mengerjap-ngerjap lemah menatapnya. Sepasang mata embun yang teramat sangat dia rindukan.
Untuk beberapa saat, Hanafi tertegun.
“Waalaikumussalam warahmatullah....” jawab Hanafi. Tergugu. Hatinya buncah seketika. Entah harus seperti apa ia mengekspresikan perasaannya saat ini. Semua terlalu sulit jika hanya diceritakan dengan kata-kata.
Namun yang pasti, kesedihan, kekhawatiran dan ketakutan yang selama ini menyekap Hanafi, kini langsung sirna dalam satu kedipan mata ketika bagaimana ia dapat melihat kembali tatapan tulusnya, suara lembutnya, juga senyum manis di bibirnya.
Dengan hati bergetar, Hanafi mencium kening sang istri penuh emosional. Terisak parau. Menumpahkan segala perasaannya di sana yang kini bersatu dalam tangisannya.
Hanafi juga tak henti-hentinya memanjatkan syukur atas segala doa dan penantiannya selama ini yang ternyata tidak sia-sia. Karena sejak awal Hanafi selalu percaya akan kekuatan cinta mereka.
Mulai kini, dan pada detik ini, Hanafi berjanji akan menjaga Syafira sepenuh hati. Atas izin Allah, dia akan memberikan seluruh cintanya hanya pada Syafira seorang, wanita yang telah ditakdirkan menjadi bidadari di surganya kelak.
“Wallahi, inni uhibbuki, ” bisik Hanafi tulus.
___ToBeContinued___
KAMU SEDANG MEMBACA
Syahid Cinta [New Version]
RomanceTentang cinta sejati, ketulusan hati, dan sebuah ikhlas tanpa tepi.