Arata

32 28 5
                                    

"Apa yang kamu lakukan pada gadis itu, Ken?" Terdengar suara datar, menghentikan  gerak tangan tepat sebelum menyentuh dadaku.

"Bukan urusanmu, pecundang! Pergi, kalau kamu enggak mau terluka!" perintah Ken pada pria tersebut.

Aku menggeleng pelan dengan berurai air mata, memberi kode agar pria itu tidak pergi meninggalkanku dengan Ken.

Hening, semenit serasa setahun. Menunggu apa yang akan diucapkan pria itu. Ken berbalik, kembali mendekati tubuhku yang gemetar ketakutan. Berusaha melucuti baju yang kukenakan dengan mata kelamnya.

"Dia anak Pak Derawan, silahkan lanjutkan kalau tak sayang nyawa!" seru pria itu datar memainkan jari-jari tangannya, menghentikan gerakan Ken.

"Siaal!" umpat Ken, berbalik menjauh. Seketika tubuhku merosot pelan.

"Sampai kapan kamu mau main rumah-rumahan? Segera kembali! Jangan sampai dia turun tangan! Dasar pecundang!" sentak Ken melangkah ke kegelapan malam.

Tubuhku merosot syok, dada berdebar kencang, tubuhku lemas, terisak pelan teringat apa yang baru saja aku alami.

"Bodoh!!" bentak pria itu menghampiriku, aku semakin terisak, ketakutan kembali mengusai, takut jika pria ini akan melecehkab tubuhku.

"Sudah tahu malam, malah lewat gang sempit seperti ini," lanjutnya lagi.

Dia duduk disampingku, menyampirkan jaket yang tadi dikenakannya ke pundak.

"Pakai itu, tutupi bajumu yang sobek!" titahnya menatap bajuku yang sudah compang camping.

Apa yang di katakannya benar, salahku lewat lorong diantaa ruko di kala malam, berharap dengan lewat sini akan cepat sampai ke rumah. Perkiraanku salah, bukannya sampai rumah malah hampir dilecehkan pemabuk.

"Minum dulu!" ucapnya datar menyerahkan botol aqua kecil ke tanganku. Dengan gemetar aku menerima air yang diberikannya, meneguknya hingga tandas tak bersisa.

Hening, dia menemani hingga isak tangisku reda. Perlahan tenagaku mulai kembali, rasa syok yang kualami pulih. pria disampingku masih setia dalam diamnya.

"Rapikan rambutmu! Ayo! Kuantar kamu pulang!" titahnya pelan berdiri lalu melangkah meninggalkanku.

Gegas aku berdiri, mengenakan jaket yang diberikannya padaku, merapikan rambut yang kusut masai, mengusap sisa-sisa air mata dipipi. Setelah kurasa sedikit rapi, kuikuti langkahnya yang lebar. Kejadian tadi masih menyisakan gemetar pada tubuhku,  membuatku bergidik ngeri. Tak lama, kami tiba di jalan yang terang.

"Terima kasih," ucapku tulus.

Tidak ada respon darinya, baru sekarang aku dapat melihat wajahnya.

Dia seumuran denganku, matanya sipit, berkulit putih,  hidung mancung, dengan tinggi 170 centi menambah poin plus pemuda disampingku.

"Jangan dilihatin terus, nanti naksir, aku memang cakep!" ucapnya datar terus melangkah, membuat wajahku bersemu merah, malu kepergok memandanginya.

"Lain kali jangan lewat sana lagi! Kalau mendesak ajak teman," lanjutnya lagi.

"Jadi cewek, kok, bego bener, anak Pak Derawan bukan sih? Heran, bisanya anak polisi hampir dilecehkan," sindirnya pelan, sontak aku merengut kesal mendengar ucapannya.

"Iya, iya, aku tahu aku salah. Ga perlu di ungkit ungkit. Kamu sendiri, kenapa juga bisa ada di sana," gerutuku dengan menghentakan kaki.

Bruuk!

Aku menabrak sesuatu yang keras, saat aku mendongak kulihat sepasang mata tajam menatapku. Teryata aku menabrak dada bidangnya karena tidak melihat jalan.

Hingga Akhir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang