Tidak Ada Kabar

21 21 3
                                    

Tersentak tubuhku mendengar ucapan pria tua itu. Kueratkan genggaman tangan pada baju Arata.

"A--ara!" Cicitku ketakutan, Arata menggenggam tanganku sedikit menenangkan.

Lelaki tua itu terkekeh begitu pula Ken.

"Wah, Arata kami ternyata lemah terhadap jalang ini!" Seringai Ken.

"Sudah dewasa, heh! Apa jalang ini mengingatkanmu pada ibumu yang lemah?" hina ayah Arata.

"Jangan sebut ibuku dengan mulut busukmu bangsaat!!" murka Arata.

Ken terkekeh melihat kemarahan Arata. Nampak menikmati perdebatan didepannya.

"Nyatanya, jalang itu membuatmu menjadi lemah seperti sekarang!" celanya membuat Arata mengeram

Ayah Arata melirikku, mengamati dari ujung kaki hingga kepala membuatku semakin ketakutan.

"Jalang ini lumayan juga, bagaimana jadinya jika suatu saat aku membawa dan menidurinya?" ucapnya membuatku makin ketakutan.

"Coba saja kalau bisa!" Tantang Arata.

"Kau menantangku, Bocah! Banyak kesempatan untukku melakukannya kau tahu? Bagaimana jika ... saat pulang sekolah, di suatu tempat, ah ...  aku belum memikirkannya?" Menyeringai memandangku dengan mesum. "Yang pasti jika saat itu tiba ... akan kupastikan ia merasa nyaman berada dalam pelukanku," ucapnya.

"Jika kau berani menyentuhnya, aku akan membunuhmu!" hardik Arata pada mereka.

"Tergantung sikapmu!" seru Ayah Arata ringan.

Wajah Arata mengeras, menatap tajam dua makhluk dihadapan kami dengan tatapan ingin membunuh.

Ketegangan menguar di antara kami, sesak terasa udara disekitar kami. Sesaat Arata mengambil keputusan.

"Baik! Aku ikut kalian! Tapi jangan pernah sentuh Rasti." Membuatku tersentak.

"Ara!" protesku padanya.

"Keputusan yang bagus Arata, akhirnya kamu sadar juga." Seringai Ken.

"Ara, jangan pergi! Kumohon!" pintaku padanya.

Bagaimana dia bisa berpikir akan kembali pada keluarganya yang seperti ini.

"Bagaimana dengan Bang Yos? Kamu tahu dia akan sedih, jika kamu kembali pada mereka," bujukku padanya.

"Jangan pengaruhi Arata, jalang!" sentak Ken menatapku tajam.

"Ini urusanku, Ken. Enggak usah ikut campur!" bentak Arata membuat Ken berdecak sebal.

Arata menuntunku menuju motor yang kami tinggalkan, menggenggam tanganku menenangkan hati yang dilanda galau.

"Tidak akan terjadi apa-apa padaku, kami tenang saja," ucapnya menenangkanku.

"Tapi--."

"Lihatlah, mereka ayah dan saudaraku. Mereka enggak akan berbuat jahat padaku. Pulanglah!"

Arata memelukku erat, detak jantungnya bertalu dengan kencang, peelahan ia melepaskan pelukannya. Di genggamnya tanganku yang berkeringat, sejenak mataku bersitatap dengannya.

"Aku harus pergi, Ras! Kau tahu, aku enggak bisa selamanya melarikan diri," ucap Arata dengan mata yang sendu.

"Ara, jangan pergi!" teriakku padanya saat dia melangkah mendekati Ken.

"Aku pasti kembali, Ras!" seru Ara, melambaikan tangan padaku, berlalu menaiki motor yang dibawa Ken. Meninggalkanku sendiri di depan sekolah.

Sesaat setelah kepergiaan Ara, aku menelpon Dimas menceritakan kejadian yang menimpa kami.

Hingga Akhir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang