Keributan

14 6 1
                                    

Tampak wanita memasuki kamar dengan wajah merah menahan amarah yang siap dimuntahkannya.

Wanita berkulit putih, dengan hidung mancung, rambut hitam dikuncir tampak beberapa anak rambut menyembul, bibirnya tampak pucat. Terdapat lingkaran hitam di sekitar matanya.

Arata mengeratkan genggaman tangannya membuatku mengernyit menahan sakit. Gusar, terlihat jelas pada pada wajah pucat Arata.

Wanita itu melangkah mendekati pembaringan Ara, sama sekali tidak menggubris kehadiranku disini.

"Jadi ... kamu masih hidup?" tanyanya dingin, saat tiba di sisi Ara.

Arata menunduk, tak menatap wajah wanita si sampingnya. Aura ruangan menjadi canggung.

"Sampai kapan, kau menyusahkan kami? Kenapa kau tidak mati saja menyusul jalang itu, hah!" bentaknya sontak membuatku kaget.

"Apa ..." Tertahan saat melihat Ara menggelengkan kepalanya.

Aku terdiam, hatiku panas mendengar ucapan wanita itu.

"Maaf."

Dari nada suara Ara tampak penyesalan yang begitu dalam.

PLAAK!!!

Tamparan keras menghampiri kepala Ara, membuatku terpekik kaget. Tampak darah menetes dari sisi bibir Ara.

"Mama!!" teriak Dimas dari ambang pintu, bergegas menghampiri wanita itu.

Wanda tercengang di depan pintu melihat kejadian di hadapannya.

"Apa yang mama lakukan disini?" tanya Dimas panik, menahan tubuh wanita itu.

Ternyata, wanita ini mama Dimas. Lantas, mengapa kebencian terpancar dari wajah cantiknya kepada Ara?

"Jadi, kamu masih bergaul dengan anak sial ini?" bentaknya pada Dimas.

"Na--nanti Dimas jelaskan dirumah, sekarang kita pulang dulu ya, Ma," bujuk Dimas, menarik tangan mamanya.

"Harusnya kamu mati! Karena ulahmu dan jalang itu, kami harus menderita!" teriak mama Dimas berlinang air mata, berusaha menggapai tubuh Ara.

"Sudah, Ma! Ayo pulang!" seru Dimas menarik tubuh mamanya yang terus memberontak berusaha menggapai Ara.

Masih terdengar di telinga kami teriakan-teriakan mama Dimas. Wanda berjalan menuju sofa, wajahnya pias.

"Kuamu enggak apa-apa?"

Ara mengangguk, membersihkan darah yang keluar dari bibirnya.

"Ara--."

"Aku enggak apa-apa, sungguh!" seru Ara dengan mata sendu.

Aku tahu dia tidak baik-baik saja. Entah bagaimana, aku merasakan kesakitan yang dirasakannya. Saat wanita itu memakinya, mengatai ibu Arata, bahkan saat menamparnya. Aku merasakan sakit yang sama.

"Kenapa nangis?" tanya Ara mengeryit heran memandangku yang berlinang air mata.

Aku menggelengkan kepala, berlari memeluk Wanda. Terisak dalam pelukannya, tidak ada suara lain, hanya terdengar suara tangisku.

"Cengeng!" sindir Ara, sontak menghentikan tangisku.

"Apa?"

"Cengeng!" serunya tengil.

Kulepaskan Wanda, melangkah mendekati Ara.

"Aku enggak cengeng, tahu!" sentakku kesal.

"Kalau enggak cengeng apa namanya?" cibirnya lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hingga Akhir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang