Part 6

1.9K 236 16
                                    

Hari pernikahan itu pun tiba, Hamidah dan keluarga sudah ada di kota dari kemarin sore. Acara sudah di persiapkan tanpa pernah di tunda sehari pun. Semua sudah siap hanya tinggal menunggu waktu untuk mengucap ijab qobul.

Pagi yang cerah itu seakan merestui pernikahan mereka, Hamidah nampak duduk tenang dengan riasan yang membuatnya menjadi berbeda. Ia nampak elegan dan manis dalam riasan natural dan gaun sederhana yang cantik.

Gaun pilihannya dulu.

Kakek datang ke kamar Hamidah dan mengusap punggung sang calon cucu. Hamidah menoleh dengan sedikit tetesan air mata. Kakek dengan tangan keriputnya menghapus air mata itu.

"Cucuku, kamu akan bahagia dengan ketabahan dan kesabaranmu. Kamu adalah wanita yang tangguh dan baik hati, Kakek percaya kamu mampu membuat Mahen menjadi laki-laki yang bertanggung jawab dan bersikap lebih baik. Kakek percayakan cucu Kakek padamu."

"Kek, kenapa Kakek mempercayakan cucu Kakek padaku, aku hanya wanita miskin yang tidak berpendidikan, apa yang bisa aku lakukan untuk cucu Kakek?"

"Banyak sayangku, banyak hal yang bisa kau berikan padanya. Seiring berjalan nya waktu kau akan tahu apa yang bisa kau lakukan untuknya. Kakek sangat berharap padamu."

"Pernikahan kami tanpa cinta, Kek, ini akan sulit."

"Tidak ada yang sulit jika kamu mau berusaha dan bersabar."

"Kek ...."

"Tumbuhkan cinta untuk cucuku, agar ia paham rasanya di cintai dan mencintai."

"Kakek ...."

"Bersiaplah sebentar lagi acara di mulai." Kakek mengusap kembali air mata Hamidah dan pergi dari sana. Hamidah sudah tak tahu lagi harus bagaimana, nasi sudah menjadi bubur, maka yang bisa ia lakukan adalah mengubah bubur itu menjadi bubur yang enak di makan.

Bagaimana pun caranya Hamidah harus bisa melakukannya.

Tak lama Hamidah di panggil keluar untuk bersanding di samping Mahen yang sudah lebih dulu duduk di depan penghulu dan para saksi. Hamidah di bantu sang Ibu berjalan ke tempat ijab qobul.

Mahen tak melirik Hamidah sama sekali sampai Hamidah duduk di sampingnya. Mahen bersikap seolah tak ada Hamidah di sana. Acara pun di mulai, Mahen mulai berjabat tangan dengan penghulu dan ijab qobulkan di ucapkan.

Mahen nampak lantang tanpa keraguan, itu membuat acara berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Para tamu undangan yang datang mengucap syukur dengan lancarnya acara. Sampai mereka melihat dengan lebih jelas wajah istri dari Mahendra.

Mereka tersentak karena ternyata tak secantik yang mereka kira, justru sangat jelek menurut mereka. Tapi, mereka hanya bisa diam karena tak mungkin mereka mencela istri dari seorang Mahen di depan Mahen sendiri.

Namun, bisik-bisik mulai terdengar, di mana mereka mengatakan jika istri Mahen adalah wanita kampungan. Mereka tak mengira Mahen memiliki selera yang buruk dan bahkan mereka membandingkan dengan anak-anak mereka.

Mereka menertawakan Mahen dalam diam dan menertawakan acara yang terkesan sederhana dan tertutup. Mereka berpikir pastilah keluarga Adijaya malu memiliki menantu jelek seperti itu.

Mahen yang sangat peka akan hal itu hanya bisa menggeram kesal dan harus tersenyum palsu di hadapan semua orang.

"Berikan cicinnya pada jari istrimu," ucap penghulu. Mahen langsung mengambil cincin di tempatnya dan menggamit jemari Hamidah. Lalu perlahan memasukkan cincin itu di jari manis sebelah kanan. Hamidah pun melakukan hal serupa dan Mahen lantas mengecup kening Hamidah seolah semua berjalan baik-baik saja.

Semua para tamu undangan memberikan tepuk tangan meriah dan juga ucapan selamat. Walau Mahen tahu mereka semua tengah mengejek dirinya.

****

Mahen masuk ke dalam kamar pengantin yang sudah di hias indah. Di sana sudah ada pakaian tidur yang akan mereka pakai nanti. Mahen melirik Hamidah yang sedari tadi hanya menunduk terus.

"Masuklah dan ganti pakaianmu, aku akan tunggu di luar." Mahen lantas pergi dari sana membiarkan Hamidah di dalam kamar sendiri. Hamidah tahu jika Mahen tak ingin ada malam pertama seperti ini, ia tahu jika Mahen hanya pura-pura menikahi dirinya. Mungkin ini semua demi Kakek sama seperti nya yang menerima pernikahan ini demi Kakek.

Hamidah masuk dan menutup pintu, ia mulai membuka gaun pengantinnya dan menggantinya dengan baju tidur yang sudah di siapkan. Ia lega karena baju tidur itu bukanlah pakaian seksi seperti kebanyakan pasangan pengantin lainnya.

Hamidah nyaman memakai baju tidur tersebut dan ia pun merapihkan tempat tidur di mana banyak kelopak bunga mawar di atasnya. Kamar ini sangat bagus dan luas, hiasannya pun sangat indah. Tapi, sayang keindahan itu tidak akan terjadi pada mereka.

Hamidah melihat jam dinding sudah menunjuk pukul 10 malam. Rasa kantuk dan lelah pun telah ia rasakan, Hamidah memilih untuk ke kamar mandi dan membersihkan diri dan makeup yang masih menempel pada wajahnya.

Make up ini tidak begitu membuatnya berubah, hanya terlihat tidak kusam saja. Wajah jeleknya tetap saja terlihat dengan jelas dan ia tahu semua tamu undangan mencemooh dirinya. Mahen pastilah sangat malu, ia tampan tapi harus bersanding dengan wanita buruk rupa sepertinya.

Kenapa pernikahan ini harus ada jika mereka hanya menyakiti satu sama lain?

Hamidah menarik nafas panjang lalu ia hembuskan perlahan-lahan, semua sudah terjadi dan Hamidah hanya bisa menjalaninya saja. Ia kembali ke tempat tidur dan bersiap untuk tidur tapi pintu kamar terbuka dan Mahen masuk ke dalam.

"Kamu sudah mengganti bajumu?" tanyanya dengan senyum ramah. Mana Mahen yang tadi keluar dengan wajah masamnya?

"I-iya."

"Baguslah, kamu pasti lelah berdiri berjam-jam, istirahatlah." Hamidah hanya bisa mengangguk. Mahen mengambil pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi. Sepertinya Mahen akan berganti pakaian di dalam kamar mandi.

Hamidah nampak sungkan untuk tidur satu ranjang dengan Mahen dan ia pun memilih untuk pindah ke sofa. Mahen keluar dengan baju tidur yang sama dengan Hamidah. Ia nampak heran melihat Hamidah duduk di sofa.

"Kenapa duduk di sofa?" tanya Mahen.

"Hm, malam ini saya akan tidur di sini, Tuan, biar Tuan tidur di ranjang."

Mendengar itu Mahen menarik nafas lalu menatap Hamidah.

"Kemarilah."

"Tidak, Tuan ...."

"Hamidah, kita sekarang suami istri, jangan panggil aku Tuan, kamu mau semua orang salah paham padaku?"

"Maaf, Mas, saya salah, maaf."

"Kemari." Mahen kembali meminta Hamidah untuk datang padanya. Hamidah pun dengan ragu mendekat ke arah Mahen.

"Tidurlah di ranjang, jangan di sofa, kalau sampai ada yang tiba-tiba masuk apa kata mereka?"

"Iya." Hanya itu jawaban Hamidah dan Hamidah pun langsung naik ke ranjang dan menutup dirinya dengan selimut. Mahen pun ikut tidur di samping Hamidah.

"Dengar, aku tahu ini berlebihan, tapi aku harap kita bersikap seperti ini dulu. Aku memang memintamu untuk menikah denganku, dan aku bersungguh-sungguh akan itu. Tapi, untuk hubungan lebih lanjut, aku tidak bisa dalam waktu dekat. Kau paham maksudku kan?"

Hamidah mengangguk pelan. Mereka pun malam itu tidur dengan posisi saling membelakangi.

Bukan Istri Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang