Part 4

2.1K 240 23
                                    

Hamidah tak mengerti kenapa Mahendra tiba-tiba muncul di rumahnya? Apakah Kakek yang menyuruhnya, tapi, untuk apa? Bukankah Mahendra sangat membenci dirinya dan dengan keras menolak perjodohan itu?

Hamidah menggigit kuku jarinya karena ia sangat bingung akan kedatangan Mahendra tapi, ia tak bisa bertanya dengan leluasa. Ia terlalu sungkan untuk bertanya hal pribadi itu.

Sudah 15 menit tak ada percakapan yang berarti, Hamidah benar-benar penasaran dengan maksud kedatangan Mahendra. Dan sepertinya Bapak memahami betul hal itu, hingga tanpa Hamidah minta sang Bapak mempertanyakan kedatangan Mahendra.

"Maaf sebelumnya, Nak, Bapak hanya ingin tahu apa maksud kedatanganmu ke sini?" tanya Bapak yang membuat Hamidah melirik Bapak.

"Ah, saya minta maaf karena tidak langsung to the point. Jadi, begini, sebenarnya saya ingin meminta maaf sebesar-besarnya pada Hamidah dan keluarga. Saya benar-benar merasa kurang ajar dan tidak pantas telah berkata kurang baik pada Hamidah. Saya menyesal, sungguh saya menyesali perkataan saya kemarin, Hamidah." Mahen menatap Hamidah yang membuat Hamidah langsung menundukkan kepalanya.

"Tu-tuan muda tidak salah," jawab Hamidah pelan.

"Hamidah, apa kamu memaafkan saya?" tanya Mahen sungguh-sungguh.

"Saya tidak pernah marah pada Tuan muda, jadi Tuan muda mohon bersikap biasa saja."

"Tidak, Hamidah. Aku tahu kamu pasti sakit hati dengan perkataan saya. Setelah Kakek menasehati saya dan melihat kamu pergi karena saya, saya merasa sangat bersalah dan menyesal. Dan dan saya baru sadar jika ternyata sepi tanpa kamu di rumah Kakek."

Hamidah tersentak, orang tua Hamidah yang paham situasi langsung pamit ke belakang agar mereka bisa berbicara berdua tanpa canggung. Setelah mereka hanya tinggal berdua, Mahendra menggeser duduknya agar lebih dekat pada Hamidah dan tentu saja itu membuat Hamidah tak nyaman.

"Hamidah, aku jauh-jauh datang kemari, untuk bertanya padamu, mau kah kamu menikah denganku?" Mata Hamidah terbelalak karena kaget mendengar pertanyaan itu.

"Tu-tuan ...."

"Jangan panggil aku Tuan, Hamidah. Aku mohon padamu, maafkan aku dan jadilah istriku, istri Mahendra."

"Ta-tapi, bukankah Tuan menolak ...."

"Ya, tapi itu dulu, sebelum akhirnya aku sadar jika tanpa mu aku merasa kehilangan, Hamidah. Aku terlalu sombong dan egois, benar kata Kakek, jika aku tak menikah denganmu, bisa-bisa aku salah memilih calon istri. Kamu adalah wanita yang pas untuk bersanding denganku, menemaniku dalam kesederhanaanmu. Kamu adalah wanita yang baik dan sabar, Hamidah. Sungguh aku akan jadi laki-laki paling bodoh jika aku tak menikahimu."

Hamidah menundukkan kepalanya karena tak tahu harus mengatakan apa. Ia tak tahu apakah Mahendra sungguh-sungguh padanya atau hanya memanfaatkan dirinya saja. Hamidah tak bisa memutuskan hal itu sekarang.

"Hamidah ...."

"Maafkan saya, saya butuh waktu untuk menjawab itu."

"Ah, maafkan saya, saya lagi-lagi egois terhadapmu, saya tau itu hal yang sulit untuk kamu jawab, dan saya akan setia menunggu jawabanmu, Hamidah. Aku tidak akan pulang sampai mendapatkan jawaban darimu."

"Maksud Tuan, Tuan akan menginap di sini?"

"Ya, jika itu di perlukan."

"Ta-tapi, tempat tidur kami hanya beralaskan tikar."

"Aku tidak masalah, aku juga harus tahu bagaimana kehidupan calon istriku, ya kan?"

Hamidah diam tak menjawab, hingga Bapak kembali dan meminta Hamidah untuk menyiapkan kamar. Bapak memang di belakang tapi beliau mendengarkan setiap percakapan mereka dan sejujurnya ada rasa bersyukur melihat Mahendra berubah menjadi lebih baik dan sopan.

Hamidah hanya bisa menurut kata Bapak dan mempersiapkan kamar yang akan di tempati Mahendra nanti malam. Dan tentu saja kamar itu adalah kamar miliknya. Ia tak tahu harus mempersiapkan seperti apa karena kamarnya benar-benar sangatlah sederhana dan tak memiliki kain yang cukup untuk membuat ranjang tidurnya menjadi empuk.

Hamidah hanya berharap Mahendra tak keberatan dengan hal itu. Selesai mempersiapkan tempat tidur untuk Mahendra, Hamidah membantu Ibu di dapur untuk makan malam.

Mereka pun makan malam bersama dengan lauk seadanya. Mahendra nampak nyaman saja dengan semua hal itu dan tak ada keluhan yang keluar dari bibirnya. Hamidah menggigit bibirnya pelan karena semakin bingung dengan jawaban apa yang akan ia berikan nanti.

Makan malam telah selesai dan Hamidah di minta Bapak untuk memberitahukan kamar yang di pakai Mahen tidur malam ini. Hamidah pun dengan canggung menunjuk kamar tidurnya dan mereka berdua memasuki kamar itu.

Mahendra sedikit terkejut dengan kamar Hamidah yang sangat sederhana itu.

"Ini sungguh tempat tidurmu?" tanya Mahen. Hamidah mengangguk.

"Apa tidak sakit punggungmu tidur beralaskan tikar?"

"Tidak."

"Hamidah ...." Mahen menggamit jemari Hamidah yang membuat Hamidah tersentak.

"Dengar, aku sungguh telah salah menilai kamu selama ini. Kamu benar-benar wanita sederhana dan apa adanya, aku benar-benar malu telah mengira kamu adalah wanita yang gila akan harta. Sungguh aku malu mengakui hal itu, Hamidah."

"Sudah, Tuan, tidak apa-apa, siapa pun bisa berfikir demikian."

"Tapi, aku salah, karena kamu tidak seperti itu. Kamu bahkan nampak bahagia dengan kesederhanaan keluargamu ini. Aku iri dengan mu, dan aku harap, kamu mau menjadi istriku, ya?"

Hamidah hanya menundukkan kepalanya karena ia belum mampu menjawab hal itu.

"Tuan, ini ada sarung, lumayan dingin di sini jika malam."

"Kamu sendiri tidur di mana?"

"Aku bisa tidur di kamar bersama Ibu."

"Bapak?"

"Kemungkinan Bapak tidur di ruang tamu."

"Aku sangat merepotkan kalian ya, maaf ya?"

"Tidak apa-apa, Tuan, kami yang minta maaf tak bisa memberikan pelayanan yang lebih baik."

"Jangan berkata begitu, aku sungguh berterima kasih karena kamu mau menerimaku dan bahkan membiarkan aku menginap di sini."

"Sama-sama Tuan, kalau begitu saya keluar dulu, silahkan Tuan istirahat." Mahendra mengangguk dan Hamidah pun keluar dari kamar yang akan di tempati Mahen malam ini.

Begitu Hamidah keluar Mahen langsung melihat sekeliling. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kamar yang begitu sederhana bahkan tak ada perabotan apa-apa kecuali satu lemari kecil.

Mehen duduk di ranjang yang langsung berderit saat ia duduki, ia hampir lompat karena kaget mendengar suara deritan kayu.

"Kok bisa ya, Hamidah betah tidur di tempat kaya gini?" gumamnya. Mahen pun menghela nafas dan berusaha untuk tetap menerima keadaan ini. Ia coba rebahkan tubuhnya dan punggungnya langsung terasa sakit karena kayu yang keras begitu terasa.

Walau sudah di lapisi beberapa helai kain, tetap saja tak mampu menutupi kerasnya kayu ranjang tersebut. Mahen kembali duduk dan memilih untuk membuka ponselnya lalu berselancar di dunia maya.

Untunglah ada jaringan sehingga Mahen tak begitu sengsara. Ia asik berselancar sampai tak sadar jika ia tertidur dengan pulas.

Bukan Istri Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang