Part 7

2K 238 12
                                    

Hamidah bangun untuk pertama kalinya setelah menyandang status seorang istri dari Mahendra. Ia melirik ke samping di mana Mahen masih tertidur dengan pulas. Ia tak menyangka seorang wanita miskin sepertinya bisa tidur satu ranjang dengan laki-laki yang sangat membenci dirinya.

Laki-laki yang selalu memandang rendah dirinya yang miskin ini. Tapi, apakah Mahen masih menganggap dirinya hina seperti dulu?

Hamidah menarik nafas mencoba menenangkan pikirannya yang mulai semrawut. Ia perlahan menurunkan kedua kakinya lalu melangkah pelan agar tak menimbulkan suara yang membuat Mahen bangun.

Ia pun mengambil pakaian ganti dan langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ia guyur tubuhnya agar terasa segar lalu bergegas mengeringkan tubuh basahnya dan memakai pakaian bersih yang ia bawa. Bukan pakaiannya tapi berukuran tubuhnya.

Sepertinya Kakek yang menyiapkan semua ini dan semua pakaian yang ia miliki sudah tak ada lagi. Inikah kehidupan barunya saat ini? Ia harus meninggalkan segala kesederhanaan miliknya selama ini?

Hamidah menatap cermin di mana seorang wanita dengan pakaian mahal nan cantik berdiri mematung di sana. Rambut basahnya yang belum tersisir nampak meneteskan air dari setiap helai ujung rambutnya.

"Pakaian ini terlalu bagus untuk aku pakai, rasanya sangat tidak cocok dengan ku yang jelek ini. Tapi, aku tidak bisa melepasnya karena aku tidak memiliki pakaian ganti lain." Hamidah menghela nafas, kenapa pula pakaian harus di ubah seperti ini. Tak bisakah Kakek membiarkannya memakai pakaian lamanya?

"Hey, kau di dalam?" seru Mahen yang membuat Hamidah tersentak kaget.

"Se-sebentar," jawab Hamidah panik. Ia pun buru-buru menyelesaikan diri dan keluar dari kamar mandi.

"Aku mau buang air kecil, kamu sudah selesai kan?" tanya Mahen dengan suara ramah. Hamidah lantas mengangguk kecil dan membiarkan Mahen masuk ke dalam kamar mandi.

Hamidah menarik nafas berkali-kali karena ia sangat terkejut. Selama ini ia selalu memakai kamar mandi yang ada di bawah dan sekarang ia memakai kamar mandi di kamar mewah. Sungguh Hamidah merasa tak biasa dengan ini semua.

Hamidah melihat ranjang yang berantakan dan ia pun langsung merapihkannya sebelum keluar kamar. Setelah rapih kembali ia pun menyiapkan pakaian yang akan di pakai Mahen nanti, entahlah kebiasaan saat merawat Kakek sepertinya menular pada Mahen.

Setelah semua selesai ia pun keluar dan menuju dapur. Di sana ia melihat para pelayan lain tengah menyiapkan sarapan.

"Ah, biar aku bantu," ujar Hamidah yang langsung membantu menyiapkan makanan ke meja makan.

"Hamidah, kamu ini tidak perlu bekerja seperti ini lagi, sekarangkan kamu itu nyonya di rumah ini," ucap salah satu pelayan.

"Tidak, Bi, aku tetap Hamidah yang dulu, tugasku tetap menjaga dan merawat Kakek seperti biasanya. Tolong jangan bersikap berbeda padaku."

Mereka tersenyum mendengar itu. "Kamu tetaplah Hamidah yang kami kenal, selalu baik, sabar dan penyayang. Betapa beruntungnya Tuan Mahen mendapatkan istri sebaik kamu, Hamidah?" pujinya. Hamidah hanya tersenyum saja mendengar itu.

Mereka pun akhirnya selesai menyelesaikan pekerjaan mereka pagi ini dan satu persatu keluarga turun untuk menyantap sarapan mereka.

"Kamu yang menyiapkan ini semua, Hamidah?" tanya Ibu mertunya.

"Tidak, Nyonya saya hanya membantu saja," jawab Hamidah yang masih terbiasa memanggil Ibu mertuanya sebagai Nyonya.

"Oh, ya sudah panggilkan Kakek dan Mahen."

"Baik, Nyonya." Hamidah pun bergegas ke lantai dua. Ia mengetuk pintu kamar Kakek dan masuk ke dalam.

"Kakek, ayo sarapan." Kakek nampak duduk termenung di dekat jendela, lalu ia menoleh dan tersenyum ke arah Hamidah.

Bukan Istri Impian (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang