Part 2

132 80 29
                                    

       Dia mulai menikmati hal-hal yang baru dia temui itu, meski seharusnya dia merasa ragu untuk terpejam karena tidak tahu nantinya akan diapakan raganya jika dia tak terjaga. Namun, anehnya dengan sedikit kenyamanan itu, dia mengabaikan segala kemungkinan. Mungkin, nalurinya sudah mengerti bahwa dia akan selalu baik-baik saja jika bersama makhluk-makhluk yang pada dunianya yang baru ini disebut sebagai orang, sebagai manusia. Nalurinya membuatnya langsung jatuh percaya.
      
       Ya, nalurinya membawanya pada jalan yang benar, tertidur pulas malam ini, menikmati malam yang mungkin tidak akan bisa dinikmati selama yang dia pinta. Di luar pandangannya, orang lain tengah memperbincangkan kebahagiaan mereka. Berjuta rasa yang berkumpul menjadi satu akibat kedatangannya. Dua orang yang menemaninya itu, begitu menyayanginya. Meski memang belum ditunjukkan segala buktinya. Namun, di dunia yang begitu luas dan kejamnya ini, dua orang itulah yang akan selalu memberinya rasa paling murni. Tidak ada yang lainnya, tidak akan ada yang mampu memberinya ruang seluas dua orang itu, dua orang yang disebut sebagai orang tua. Dua orang yang di masa depan akan dipanggilnya sebagai ayah dan bunda. Dua kata yang tidak akan lama melekat dalam bibirnya. Meski begitu pada akhirnya sebutan itu, orang-orang itulah yang akan membuatnya berani berjuang dan berani memilih di dunia yang mungkin hanya akan membuatnya perih.

       Di dunia ini memang tidak semuanya perihal hal-hal baik, tidak semuanya perihal hal-hal buruk. Dunia ini adalah perihal perjuangan untuk selalu mengambil hal-hal baik dari keadaan seburuk apa pun itu. Namun, saat ini makhluk itu belum perlu untuk berjuang, belum perlu untuk memikirkan berbagai hal. Walau bagaimanapun juga nalurinya belum sampai sejauh itu, nalurinya masih belum terasah untuk melawan berbagai gundah, untuk bertahan dalam dunia yang tidak akan pernah membuatnya melangkah dengan mudah.

       Matanya kembali terbuka, lagi-lagi dia melihat dua orang itu di hadapannya. Kali ini masih dengan senyum yang sama, tapi tidak semengesankan kemarin. Kali ini lebih terlihat jelas bahwa mereka tersenyum, senyum yang mudah untuk ditiru. Makhluk mungil itu pun mencoba menirukannya. Dia membuat lengkungan pada bibirnya, bibir kecil itu pun tersungging. Melengkung membuat senyuman yang begitu memikat mata. Dia merasakan bahagia, dia bangga! Akhirnya bisa belajar sesuatu yang baru meski belum lama ada di dunia. Kedua makhluk yang menatapnya semakin mengembangkan senyum karena melihat makhluk mungil kesayangannya terlihat begitu luar biasa, kado terindah dari Yang Maha Kuasa. Ya, ada yang berkuasa di dunia ini dan dia pula yang menguasai tempat yang ditinggali oleh si makhluk mungil.

       Dia mencoba menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, perlahan. Dia ingin tahu apa fungsinya. Dia melihat bahwa orang tuanya memiliki apa yang dia miliki juga. Namun, dengan ukuran yang jauh berbeda daripada yang dia miliki, apakah nantinya dia juga akan punya yang sebesar itu? Sembari terus bertanya-tanya dalam pedalamannya, makhluk itu mulai menyadari bahwa pandangannya sudah semakin jelas. Dia mampu melihat cahaya, orang-orang, dan juga benda-benda yang jauh lebih luar daripada sewaktu dia baru sampai di dunia ini. Lelah mengamati, dia sudah taktahan dengan lapar yang menyelimuti sedari dia membuka mata. Entah bagaimana, dia hanya bisa mengikuti nalurinya untuk menangis, dia menangis sejadi-jadinya. Entah apa hasilnya, dia tidak tahu. Namun, orang yang kelak akan dia panggil sebagai bunda itu mengangkatnya lantas membawa ke dalam dekapannya. Lebih dari itu, dia kembali memberinya cairan itu dari tempat yang sama, tempat yang merupakan bagian dari tubuhnya.

       Kali ini akhirnya dia mengerti bahwa jika dia lapar maka perempuan itu akan memberinya makan. Jika dia menangis maka perempuan itu akan membawanya dalam dekapan sembari menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan pelan seperti kemarin. Namun, dia masih mencoba memahami terkait apakah ini akan berlaku seterusnya atau tidak. Hari itu dia yang berada dalam dekapan bundanya di bawa ke suatu tempat. Dia tidak tahu, yang dia tahu, dia akan selalu aman dan baik-baik saja. Entah pemandangan dunia seperti apa yang telah makhluk mungil itu lewatkan, dia tidak memutuskan untuk memandang keluar. Lebih tepatnya itu terjadi karena dia belum bisa. Belum terbiasa. Ini belum saatnya.

       Entah sejak kapan, tapi saat ini tubuh mungil makhluk itu telah berada dalam sebuah tempat tidur kecil dengan seluruh sisinya di beri batas yang cukup tinggi. Warnanya sama seperti warna yang dia lihat memenuhi dinding di tempatnya muncul di dunia. Namun, warna yang memenuhi dunianya saat ini adalah warna lain, warna biru muda. Namun, saat ini dia belum tahu kalau itu merupakan warna biru muda, warna kesukaan orang tuanya. Ya, orang tuanya, di masa depan dia tidak akan menyukai warna itu, bukan benci hanya saja ada warna lain yang lebih dia sukai. Hitam, warna yang lebih bisa mendeskripsikan dirinya. Warna yang begitu cantik dan menawan di matanya kelak.

       Dia mencoba menggerakkan kepalanya barang sedikit, dia memandang ke seluruh sudut ruangan mencari dua makhluk yang selama ini selalu menemaninya. Mereka tidak ada di sana, di mana mereka? Rasa lapar itu kembali menyinggahinya dan bersamaan dengan itu nalurinya memaksanyan seperti biasa. Tidak secepat sebelumnya, tapi perempuan itu datang menemuinya dan memberikan apa yang memang sudah sangat ditunggu-tunggu olehnya. Air itu, satu-satunya makanan yang dia tahu. Entah ada di mana orang yang di kemudian hari akan dipanggilnya ayah itu, dia tidak melihatnya. Dia tidak pernah tahu kalau orang itu juga selalu ada. Meski tidak selalu di sampingnya, harapan dan semua juangnya selalu ditujukan untuk makhluk mungil itu.

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang