Part 5

83 62 18
                                    

       Dengan langkah tergesa, lelaki itu menuju lantai satu sedang dia bergegas menuruni lantai tiga, seorang pria dengan kaca mata bulat, muka dipenuhi keriput. Namun, terlihat berwibawa dengan pancaran mata yang terlihat lembut akan tetapi memiliki ketajaman luar biasa, rambutnya sudah memutih meski belum seluruhnya menjadi putih seperti jubah kebesarannya sebagai dokter. Dengan menenteng tas berwarna hitam dia menunggu si pemilik rumah membuka pintu. Meski sebenarnya dia pun tahu apa sandi dari rumah itu jika dia mau bersikap lancang. Meski sudah diizinkan oleh temannya yang merupakan ayah dari pemilik rumah itu dan telah disetuji juga oleh pemiliknya, tetap saja dia segan, dia tidak mau melakukannya, itu seperti melawan prinsip-prinsip yang telah lama di pegangnya.

       Dokter itu menyunggingkan seutas senyum ketika si pemilik rumah membukakan pintu untuknya. Sedang, orang yang membukakan senyum hanya dapat memakasakan senyum tipis untuk bisa diserahkan pada si tamu, dengan segala kekuatan menahan sesak dan panik di dalam dada, dia mencoba menjadi orang yang seramah mungkin. Tidak biasanya si pemilik rumah begini, dia merupakan orang yang tenang dan bijak dalam menghadapi sesuatu. Namun, sepertinya jika membahas tentang anaknya semua itu tidak bisa berlaku sepernuhnya.

       “Silakan masuk, Tuan Hendrik,” ucap si pemilik rumah.

       Tanpa menajawab dengan sepatah katamu pun, orang yang dipanggil sebagai Tuan Hendrik itu hanya mengangguk sembari melangkahkan kaki melewati ambang pintu, tanpa perlu ditujukan ke mana arahnya, orang itu sudah paham harus melangkah ke mana. Dulu rumah ini ibarat taman bermainnya, dengan ayah si pemilik rumah, biasanya dia menghabiskan waktu berlama-lama, berkejaran ke sana kemari menikmati masa kecil yang begitu indahnya. Keluarga si pemilik rumah sudah bak keluarga meski lama kelamaan lebih terasa keformalannya.

       Mungkin begitulah nasib menjadi tua, nasib menjadi orang ternama. Atau, semua itu mungkin hanya beralaku bagi mereka, hanya berlaku bagi persahabatan yang akhirnya jatuh daalam sebuah lingkup perkerjaan. Apakah semuanya akan berakhir sama. Ah, lupakan saja. Kini sahabatnya pun telah tiada dan kini tersisa dia menjalami hidupnya untuk yang sebagiannya dia abdikan untuk keluarga sahabatnya. Walau bagaimanapun juga mereka tetaplah sahabat, terlepas dari segala formalitas mereka masih tetap menyimpan kenangan dan kehangatan. Entah bagiamana kerap kali memang kesibukan dan aktivitas bisa mengalahkan kebahagiaan-kebahagiaan yang diciptakan dalam waktu luang. Sedang waktu luang itu seperti tidak ada lagi, senggang itu seprti sesuatu yang begitu sulit untuk didapatkan dan dimiliki.

       “Tuan ….” Belum sampai pada ujung ucapannya, dokter itu sudah memasang satu jemarinya pada mulutnya sendiri sebagai perintah untuk diam bagi perempuan yang tengah panik itu, yang tengah sedih dan takkuasa itu melihat puterinya yang masih kecil terbujur lesu di atas pembaringan.

       Dokter itu, bukannya takmau mendengarkan penjelasan sebelum menangani pasien, melainkan dua pasangan itu telah memberitahukannya apa yang terjadi pada putri mereka melalui sambuangan telepon sebelumnya. Dia hanya tidak ingin mendengar hal yang sama berulang kali jika pada akhirya semua itu tidak ada gunanya. Dia mulai mencoba memeriksa tubuh Nisrina, pertama-tama dia memeriksa detak jantungnya. Normal, itu hasilnya. Di kemudian memeriksa mata, entah apa gunanya, mungkin rangkaian pengecekan biasa. Kemudian, dia melihat memar yang mulai membenjol sedikit di dahi pasiennya. Dia memegang lembut kepala pasiennya, sejenak nampak berpikir, kemudian mengeluarkan botol kecil berwarna hijau yang berisikan aroma yang cukup menyengat namun tidak berbahaya. Dia membuka benda itu dan membiarkan pasiennya menghirup romanya.

       Tidak lama anak kecil itu pun tersadar dari tidurnya yang tak terencana. Setelah di biarkan tenang dan diberi air putih, dokter itu berbincang dengan ayah si pasien. Entah bagaimanapun ceritanya nanti, anak kecil itu harus dibawa ke rumah sakit, tidak ada pentingnya menjaga kepopuleran atau semacam nama baik lainnya. Lagi pun orang lain hanyalah penonton belaka, untuk apa terlalu memikirkannya apa yang sekiranya lebih berharaga. Masa depan dari seorang anak yang dalam ambang dipermainkan atau tidak oleh orang tuanya atau nama yang telah dijaga kepopulerannya semenjak lama. Nama yang tidak pernah tersandung berita duka atau pun sesuatu yang akan menimbulkan noda. Memang kabar duka seperti sakit dan tiada bukanlah sesuatu yang akan mencoreng nama. Namun, akan ada bentuk kasihan-kasihan yang tidak penting, akan ada peduli-peduli yang mungkin bersembunyi pada sesuatu yang tidak bisa dengan mudah ditebak oleh insting, pun kebahagiaan-kebahagiaan bagi pihak yang sinting.

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang