Part 6

79 59 18
                                    

       “Terserah Anda, saya hanya bisa memberi saran.” Dokter itu menjawab dengan santai Namun, penuh dengan penekanan. Dia tidak memedulikan apa jawaban dari orang yang tengah dihadapinya. Dia sudah muak dengan berbagai alasan dan alasan yang sangatlah tidak penting. Dulu, sahabatnya, ayah dari si pemilik rumah berakhir tiada, kemudian menghilang nama pun jejaknya begitu saja dari dunia juga sebab sakit yang keras kepala. Sudah tahu raga sedang menderita dan memerlukan bantuan serta uluran dari yang lainnya. Namun, masih saja mementingkan ini dan itu yang tidak ada gunanya, mementingkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting, mementingkan nama dan nama, tahta dan tahta.

       Apakah sikap seperti itu memang sudah menjadi darah daging dalam keluarganya? Tidak, dokter itu memilih pergi begitu saja, agar si pemilik rumah tersadar hatinya, terbangunkan jiwa dan pemikirannya. Dia tahu dulu orang ini pulalah yang tidak mendukung sahabatnya, dia yang bersikukuh untuk membawanya ke rumah sakit, meski gagal, dokter itu yakin bahwa kali ini dia pun akan mengusahakannya. Hari ini ayahnya sudah tiada, tinggal tersisa satu wasiat penting yang tidak perlu di turuti selamanya.

       “Tolong, jagalah nama keluarga.” Pesan singkat dari ayah si pemilik rumah ketika tengah mengahadapi mautnya. Kalimat yang selama ini dia pegang dengan begitu erat meski sebenarnya sangat menyiksa. Sejak kecil, dia memang dididik untuk selalu menjadi penurut. Meski pada akhirnya berbagai kejadian dan ilmu yang menyentuhnya membuatnya susah untuk menerapkannya, susah menjadi penurut, dia tidak bisa asal menerima saja sebuah kalimat perintah atau apa pun sejenisnya. Maka, jadilah dia menjadi anak yang jauh berbeda dari harapan kedua orang tuanya. Meski begitu dia bukanlah anak yang tidak baik apalagi masuk kategori durhaka.

       Dia anak yang baik meski sering mempertanyakan titah dan pinta orang tuanya ketika itu semua bertentangan dengan apa yang dia pahami dan rasa. Walau dia tahu harapan orang tuanya adalah dengan dia bisa menjadi penurut dan pengikut saja, dia tidak mau sekalipun mengusahakannya karena itu semua tak sesuai dengan prinsip-prinsip hidupnya. Sampai, hari itu tiba. Hari di mana semuanya seperti tak bisa disangka-sangka, tidak ada yang bisa dia tebak, ayahnya yang tiba-tiba jatuh sakit dan susah untuk diajak berdiskusi agar mendapatkan penanganan medis yang lebih memadai. Hari-hari itu, dalam masa penyembuhan ayahnya dia menjadi anak yang semakin menentang. Menentang ayahnya untuk hanya ditangani oleh seorang dokter keluarga, hanya di rawat di rumah, dan dengan obat-obat yang tidak jelas asal usul pun khasiatnya. Dia menjadi begitu menentang bahkan kerap kali adu mulut dengan ibunya sendiri yang juga telah menyusul ke alam lain setelah beberapa bulan ayahnya pergi. Sebenarnya maksud dan tujuannya adalah hal-hal baik. Namun, barangkali bukan dengan cara yang dia gunakan yang diinginkan oleh orang tuanya.

       Setelah ayahnya tiada yang dia pikirkan hanyalah penyesalan demi penyesalan. Ditambah lagi ketika ibunya turut bersama ayahnya. Sejak itu yang dia pikirkan adalah kesalahannya yang tidak pernah menjadi anak yang seperti orang tuanya inginkan. Kesalahan karena bahkan tidak pernah mencoba untuk memenuhinya. Kesalahan yang mungkin bukan seutuhnya kesalahannya. Kesalahan yang juga karena pendidikan orang tuanya. Bagaimana mau membuatnya menjadi orang yang asal iya iya saja jika mereka justru mendekatkannya dnegan orang-orang pemikir keras dan pengambil berbagai kebijakan penting nan luar biasa siapa yang salah di sini? Salahkah dia karena berhasil menyerap semua ilmu yang didapatnya dengan baik?

       Maka sedari itu dia mencoba menjadi anak yang mengikuti orang tuanya, mencoba mengurangi sedikit kadar prinsip-prinsip yang selama ini dipegangnya. Bukan, bukan untuk menghapus semua ilmu yang telah dipelajarinya melainkan menjadi lebih bijaksana dengan menuruti setidaknya satu harapan orang tuanya yang telah tiada, menjaga nama baik keluarga. Meski sampai saat ini dia pun kerap kali masih berpikir sebenarnya nama mana yang pernah di coreng pun nama man ayang harus selalu di jaga. Heran. Dia heran dengan semua tetek bengek kehidupan yang tidak ada unsur pentingnya untuk kehidupan yang selamanya.

       Hanya saja, kali ini adalah pasal anaknya, anak pertamanya, persetan dengan segala pesan-pesan dan harapan dari orang tuanya yang telah tiada. Laki-laki itu memutuskan dengan segera untuk membawa anaknya ke rumah sakit, persis seperti yang dokter itu kira.

       “Kamu serius?” Perempuan yang merupakan istri dari laki-laki itu mencoba mencari kedalaman yang dimiliki suaminya dalam hal keyakinan. Perempuan itu sudah sangat kacau dalam pemikirannya. Namun, tetap mengingat prinsip-prinsip suaminya. Laki-laki itu mengangguk dan segera membawa tubuh anak perempuannya menuju rumah sakit terdekat, meski terdekat ini merupakan salah satu rumah sakit terbaik di kotanya. Sebenarnya, juga rumah sakit di mana anak itu pertama kali menjumpai dunia.

       Tubuh kecil itu mulai menunjukkan kesadarannya, tangan kecilnya mulai bergerak perlahan, dan matanya seperti akan membuka. Dengan bantuan nutrisi dari selang infus akhirnya anak itu kembali membuka matanya, dia merasa tidak asing. Dia mengenali langit itu, atau lebih tepatnya atap. Sekeliling berwarna putih penuh. Ini tempat yang terekam begitu jelas dalam ingatannya. Ya, dia menyadari telah mengunjungi tempat ini. Beberapa waktu lalu, belum lama ini, ya dia memang belum lama ada di dunia ini.

       “Bunda … Ayah.” Anak itu memanggil pemiliknya.

       Dua orang yang disebut pun semakin mendekat pada tubuh putrinya. Mereka bahagia karena yang ditunggu akhirnya datang juga. Ya, kesadaran anaknya. Dan lagi, anaknya kini bisa memanggil mereka dengan sebutan bunda ayah dengan jelas untuk pertama kalinya. Mereka berdua tersenyum haru. Meski belum mendapatkan hasil lab yang akan menjelaskan bahwa putri mereka memang dalam keadaan baik-baik saja, setidaknya mereka bisa melihat putrinya telah membuka mata dan sadarkan diri. Ini menjadi sebuah kelegaan tersendiri bagi hati yang tidak akan pernah siap untuk ditinggal pergi, bagi hati yang menyayangi dengan perasaan paling dasar dan tulus yang dimiliki, bagi hati yang tidak akan pernah bisa menerima istilah ditinggal pergi apalagi mati. Tidak, tidak, itu istilah yang tidak akan pernah diterima oleh orang tua mana pun di dunia ini atau bahkan mungkin juga di dunia lain

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang