Part 7

74 57 16
                                    

       Pada sisi lain gedung yang dipenuhi dengan warna putih itu, pada ruangan yang yang tidak akan pernah mengizinkan satu suara pun terdengar dari luar, ruangan yang begitu sederhana hanya berisikan beberapa alat kerja, sebuah meja, dan dengan dinding diberi pajangan gambar organ-organ manusia. Di sinilah ruangan yang saat ini diisi oleh seseorang yang merupakan si pemilik ruangan, sekaligus orang yang menangani putri dari orang yang saat ini tengah bersamanya, si jangkung yang akhirnya memilih untuk membawa putrinya ke sana.

       Nuansa hening menyelimuti keduanya, hanya ada suara jam yang bisa terdengar sampai di telinga. Orang dengan berjas kebanggaan berwarna putih itu duduk dalam kursi kebesarannya. Dia mengamati berabgai hal yang tercetak dalam beberapa lembaran kertas yang tengah dia amati dnegan begitu saksama dari balik kaca mata kotaknya. Sesekali dia mengernyitkan dahi, berpikir sejenak, mencoba memahami dengan baik apa yang kertas itu coba jelaskan. Dia mengkombinasikan semua yang tertera dengan apa-apa yang telah dia pelajari dan dengan apa yang telah dia lihat dari pasiennya yang baru-baru ini dia tangani. Dia nampak tenang, tidak tertular gusar dari seseorang yang tengah duduk di hadapannya sembari menanti setiap keterangan yang akan dia sampaikan. Ya, bukan karena dia tidak mempunyai hati. Namun, dia sudah terbiasa menghadapi orang dengan berabagi rasa yang berkecamuk dalam hati, dai tidak akan pernah mudah tertular, dan terseret pada perasaan-perasaan, pada emosi orang-orang yang keluarga atau kerabat dekatnya tengah ia tangani.

       Dia menatap orang yang tengah menunggu jawaban itu dengan tatapan ramah. Dia menarik napas pelan, sangat pelan hingga seseorang di hadapannya atidak akan menyadari helaan napasnya. Meski tak tertular, dia juga merupakan manusia yang masih memiiki perasaan, dia masih memiliki paham bahwa orang-orang yang menemuinya selalu menunggu hal-hal baik yang akan dia ucapkan, hal-hal yang selalu bisa menghibur, dan tidak memperparah luka pun koyak di dalam dada. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, beban tersendiri baginya yang mengemban profesi ini. Dia tidak diperkenankan mengatakan berbagai kenyataan yang igin dia sampaikan. Kadang pula tidak bisa menolak untuk tidak menyampaikan hal-hal yang tidak ingin dia sampaikan. Beberapa kata berbelit dan berliku agar tidak terlalu menghunus pada setiap orang yang datang menemuinya. Beberapa kata gamblang yang kadang bahkan menghunus jangtungnya begitu dalam. Sayang, meski dia masih tetap manusia, dia terhalang oleh profesi yang ditekuninya. Dia mencoba merangkai kata paling apik yang bisa dikelurakannya. Ya, ini yang selalu dia lakukan entah kepada siapa pun juga. Kata-kata paling apik dan baik. Terlepas dengan berbelit atau langsung menghunus seperti orang yang tidak pernah menilik pada hati orang yang dihadapi.

       “Putri Anda baik-baik saja, Tuan. Anda tidak perlu terlalu cemas.” Dia mengatakan yang sebenaranya, dia memang tidak diperkenankan untuk berbohong meski hanya sedikit saja. Ya, dia tidak bisa, itu melanggar beberapa kode etik profesinya.

       “Benarkah?” Pria jangkung itu mencoba mencari tahu lebih dalam apa yang terjadi pada putrinya. Benarkah dia baik setelah pingsan begitu lama? Dan, tidak masalahkah kepala yang terbentur ke lantai, sedang tulang tegkoraknya belum sekuat yang dimilikinya, tulang tengkorak yang dimiliki oleh putrinya itu masih dalam proses pertumbuhan begitu juga berbagai hal yang berada di sebaliknya. Salah satunya otak, hal paling riskan, hal yang harus selalu dalam keadaan baik sampai kapanpun juga. Benarkah baik-baik saja?

       “Benar, hanya ….”

       “Hanya apa, Dok?” Pria itu sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya.

       Si pemilik ruangan hanya tersenyum tipis dan menimpalkan tatapan mata yang berbinar pada laki-laki itu. Dia paham betul apa yang tengah dirasakan oleh orang yang berada di depannya.

       “Sabar, Tuan. Saya belum menyelesaikan ucapan saya.” Dia melihat ke arah pria itu, dia melihat pria itu tersenyum miris, dia pun melanjutkan ucapannya, “Putri Anda akan baik-baik saja. Ya, memang dia selalu dalam keadaan baik. Anda tidak perlu khawatir masalah kejadian yang telah menimpanya, kekuatan otak dan pertahanan dirinya cukup kuat untuk melindungi dirinya sendiri …”

       “Maaf, Dok.” Pria itu menyela ucapan si pemilik ruangan, merasa tidak tertarik dengan penjelasan berbelit dari si pemilik ruangan. Satu-satunya yang dia ingin tahu adalah bagaimana keadaan anaknya pada intinya, bukan penjelasan panjang yang mungkin memiliki ujung yang menyakitkan dan menyayat hati. Baginya, jika harus mendengar hal yang tidak ingin ia dengar, perdengarkan sekarang juga, jangan dibawa pada khayalan-khayalan dan harapan-harapan palsu yang nantinya hanya akan menyesakkan dada. Bukan, bukannya pria itu tak menghargai si pemilik ruangan dan segala argumentasi pun pembawaannya. Namun, siapa orang di dunia ini yang mau bermanis-manis ria, bersandiwara terlalu lama kalaulah pada akhirnya hanya akan tersakiti saja? Sudahlah, yang ingin dia tahu hanya apa satu kata intinya dan apa yang harus dia lakukan setelahnya. Membawanya ke sana pun sudah sebuah keputusan berat, jangan pula diperberat dnegan harapan-harapan yang kosong belaka.

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang