Part 4

93 65 14
                                    

       Ya, setiap harinya orang tuanya memakan banyak hal, berbeda-beda, berbagai warna, dan banyak. Ada yang bisa dimakan langsung dengan tangan seperti yang biasa dilakukannya dengan biskuit pun makanan cair. Akan tetapi, taksedikit juga yang mereka masukkan dengan alat bantu, alat bantunya pun memiliki berbagai bentuk juga warna, ada yang pipih berwarna perak tapi memiliki cekungan di depan dengan lebar yang tidak terlalu besar sedang yang sebagai pegangan memiliki bentuk luruh yang lebih kecil dan ramping, ada juga yang seperti tongkat kecil, sangat ramping dan pendek, selain itu ada juga yang bentuknya memiliki ujung yang bersela-sela. Dia ingin bisa memakainya. Namun, orang tuanya belum pernah memberikannya. Pernah, dia mencoba meminta benda-benda itu, dia pun ingin menggunakannya, dia pun ingin memakan makanan yang sama. Dia mencoba menggerak-gerakkan tubuhnya, dia mencoba meraih berbagai makanan di hadapannya. Dia mengacung-acungkan tangannya dan mencoba bersuara sebiasanya.

       “Ina … Ina Sayang, jangan, ya,” ucap perempuan yang merupakan bundanya dengan lembut. Sedang seseorang di seberang yang merupakan ayahnya tersenyum memperhatikan.

       Dia tidak memedulikan ucapan bundanya, dia mau, dia hanya ingin memakannya.  Setelah bundanya membuat dirinya sedikit menjauh dari meja makan dengan memundurkan pengaman yang didudukinya. Dia tidak mau menyerah, dia terus mencoba menggerak-gerakkan diri, dia membuat benda itu kehilangan keseimbangannya.

       “Ina! Nisrina!” Kedua orang yang berada bersamanya di ruangan itu seketika menghampirinya yang telah terjatuh dan menempelkan diri dengan sempurna pada lantai keramik yang dingin dan begitu keras itu, kepalanya sakit, ada memar di sana.

       Makhluk kecil yang oleh orang tuanya disebut sebagai Nisrina itu hanya bisa menangis, dia tidak tahu harus apa, hanya itu yang dia bisa, rasa sakit secara fisik yang baru pernah dia rasakan. Rasanya begitu luar biasa hebat, bagian atas tubuhnya begitu nyeri dan seakan menjalar sampai ke bawah. Sakitnya menular sampai ke bagian-bagian lain yang tak terbentur sehebat kepalanya yang tidak mendapatkan perlindungan apa-apa.

       Pandangan Nisrina mulai kabur, gelap, sudah tidak ada yang mampu dia lihat. Di luar pemandangannya orang tuanya luar biasa panik dan terkejutnya. Sarapan pagi yang seharusnya begitu nikmat dan santai justru di kejutkan dengan kejadian anaknya yang jatuh lantas memejamkan mata. Nisrina pingsan. Bagaimana bisa orang tuanya tenang jika anak semata wayangnya harus pingsan, anak sekecil itu seharusnya belum boleh merasakan luka, ini belum saatnya.

       Tidak mungkin membawa putrinya ke rumah sakit dengan segera, mereka pun memanggil dokter keluarga, seoranga dokter yang sudah cukup berumur dan hampir memasuki masa pensiun. Seorang dokter yang telah menjadi kepercayaan keluarga ayah Nisrina, dokter itu telah mengabdi menjadi dokter pribadi keluarga ayah Nisrina selama hampir setengah umurnya. Meski mereka selalu mengandalkan dokter ini dalam tempo yang lama, sebenarnya ada kecemasan tersendiri yang meminta untuk membawa putrinya ke rumah sakit. Bagaimana tidak? Ini bukan masalah sepele. Ini perlu ditangani oleh sekadar pengecekan sederhana dokter keluarga. Namun, jika nantinya ternyata putrinya baik-baik saja, sedang berita telah tersebar ke mana-mana, bisa jadi akan memperbesar masalah yang ada. Berita tersebar di mana-mana, berabagai media meliput. Ah, tentunya itu bukan masalah yang akan menjadi begitu sederhana.

       Bukan tak menyayangi anaknya. Mereka hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin juga akan berdampak lebih buruk pada anaknya. Hidup menjadi orang terkenal dan begitu terpandang kerap kali memaksa mereka untuk mempertimbangkan banyak hal sebelum melangkah. Kadang, ingin rasanya mereka berhenti menjalani apa yang telah mereka bangun selama ini demi kedamaian di masa-masa yang akan mereka jalani setelah ini. Namun, meninggalkan semua itu juga tak semudah membalikkan telapak tangan yang tengah dalam keadaan baik. Segala sesuatu kadang memiliki akibat yang kadang belum bisa tertebak risikonya.

       Dengan gusar mereka menunggu dokter itu, tidak biasanya orang itu lama. Sekitar tiga puluh menit setelah dipanggil orang itu bisasnaya langsung datang dan menekan bel rumah megah itu. Namun, kali ini setelah hampir satu jam dengan putri yang telah pingsan lagi setelah sadar sekitar sepuluh menit yang lalu, tetapi lantas terpejam lagi, dokter itu masih saja belum menampakkan diri.

       “Bagaimana ini,” lirih perempuan itu pada suaminya yang mematung memandangi tubuh putrinya yang tengah tak sadarkan diri dengan tatapan kosong penuh arti.

       “Kita tunggu sebentar lagi.” Lelaki itu menjawab begitu tenangnya.

       “Ta .…” Belum sampai perempuan itu menyampaikan maksudnya, suara bel yang di tekan memenuhi seisi rumah, dengan tatapan harap perempuan itu meminta suaminya menemui si penekan bel, semoga saja dokter itu.

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang