Part 3

111 73 28
                                    

       Hari-hari terus berjalan dengan begitu cepat, kini tubuh makhluk mungil itu telah tumbuh menjadi lebih besar. Saat ini dia sudah bisa membalikkan badan, sudah bisa meraih penghalang tempat tidur untuk dijadikan pegangan berdiri. Orang tuanya pun sering kali memberikannya benda-benda aneh yang masih susah untuk dipahami, sejauh ini dari benda-benda itulah dia belajar memahami setelah tuntas mengamati semua yang ada di dalam ruangan yang selalu ditempatinya itu. Mereka juga selalu mengajaknya bicara, dari sana dia pun ingin bisa merapalkannya, mulutnya selalu berusaha mengikuti. Meski untuk saat ini dia masih belum bisa benar dalam mengucapkannya. Saat ini masih berbagai macam bunyi yang tidak bisa diartikan oleh orang tuanya, bunyi-bunyi itu hanya mewakili sebuah rasa. Seperti suara tangis keras untuk meminta atau menolak sesuatu. Suara racauan tidak jelas ketika tengah tertawa atau bahagia pun ketika memanggil orang tuanya. Hal lain yang dapat dia lakukan adalah menggerak-gerakkan badannya, sekuat yang dia bisa, sedalam yang sudah dapat dia lakukan.

       Pada suatu pagi setelah tertidur selama berjam-jam dengan mimpi yang telah terisi, bukan lagi kegelapan dan ruang hampa seperti saat pertama kali dia hadir di dunia ini. Kali ini mimpinya sudah berwarna warni, meski hanya sekadar sinar matahari yang sudah satu tahun ini dilihatnya berulang kali. Dia masih belum paham betul apa benda besar yang menggantung di ketinggian yang tidak bisa dijangkaunya, yang dia tahu cahaya yang diberikannya sama seperti bola lampu yang telah menemaninya selama ini bahkan benda itu pun turut menyapa kehadairannya ketika baru lahir dulu. Hanya saja, benda yang tergantung begitu jauhnya itu kadang bersinar begitu terik hingga membuatnya dilarang untuk keluar, dilarang untuk bermain-main di halaman. Namun, ketika masih pagi dan belum terlalu siang, belum teralu terik orang tuanya justru selalu membawanya menemui benda itu, membuat tubuhnya yang sekarang tak mungil lagi tertimpa cahaya, membuat kulitnya menyerap berabagai energi dari sana, dan tentunya cahaya itu turut membantu dalam tumbuh kembangnya. Meski sebermanfaat itu makhluk itu belum juga paham akan maknanya, fungsi, dan kegunaannya. Ya, dia belum cukup memiliki pengetahuan akan itu.

       Namun, meskipun nantinya dia tahu apa benda itu, apa fungsi dan kegunaannya, dan bahkan apa namanya. Ya, nama. Meski dua makhluk yang merupakan orang tuanya itu sering menyebut kata "Matahari" makhluk kecil itu tentu belum memahami. Nantinya, matahari yang selalu membantunya tumbuh ini, tak bisa menjadi sahabatnya, lebih tepatnya makhluk kecil itu yang tidak bisa menjadi sahabatnya. Bukan, bukan menolak atau takut, bukan pula karena suatu kenangan buruk. Ini lebih karena nalurinya, karena kebiasaannya, dan mungkin juga karena darah orang tuanya mengalir dalam dirinya, ya tentu saja.

       Selain terik dan sinar yang membawa energi itu, kadang benda itu menangis karena merasa tidak ada yang menghargai tidak ada yang mau menemani, padahal dia selalu berada di sana, setia menemani, setia memberikan kehidupan. Atau, mungkin dia hanya sedikit tersingkir karena sesuatu, sesuatu yang lebih kuat sehingga ia tidak bisa lagi menembuskan cahaya dan kehangatannya pada makhluk itu beserta seluruh tanah yang dipijaknya. Mungkin, benda-benda yang ada di sekitaranya itu? Atau, bukan? Makhluk itu kerap kali beratanya-tanya. Namun, ya tentu saja dia belum bisa menemukan jawabannya. Dia sama sekali belum belajar secara pasti mengenai matahari dan juga siklus siang malam pun siklus hujan di dunia ini. Namun, nanti dia juga akan mengerti. Itu pasti.

       Dia kini sudah tidak menangis lagi setelah bangun, dulu dia selalu menangis dan membuat perempuan yang memperkenalkan diri sebagai bunda bergegas datang menemuinya. Kemudian dengan belaian lembut dan manja, perempuan itu akan menggendongnya lantas seperti hari-hari biasa pula, perempuan itu akan memberinya benda cair itu. Makanan yang hanya didapat dari tubuh perempuan itu. Saat ini makanannya bukan lagi hanya itu, dia sudah mengenal makanan lain, meski rasanya tak seenak yang dia dapatkan pertama kali. Namun, makannan baru yang diperkenalkan padanya pun tetap enak di mulutnya, dan dia pun menyukainya, rasanya manis asam dan sedikit hambar, itu yang akan dia katakan jika sudah tahu nama-nama rasa. Saat ini, dia baru tahu enak dan tidak enak. Suka atau tidak suka.

       Beberapa kali meski belum sering, mungkin hanya sekitar seminggu dua sampai tiga kali itu pun baru dia rasakan sebulan ini. Dia memakan makanan lain, mungkin roti atau biskuit, bentuknya bulat dan sedikit kerap, meski setelha sedikit diemut akhirnya luntur juga, akhirnya kalah juga oleh liurnya. Akan tetapi, jika langsung digigit, dia belum mampu, belum tumbuh gigi-giginya, meski memang sekarang gusinya sudah jauh lebih keras daripada sebelumnya. Daripada ketika dia baru sampai di dunia. Setiap hari, ketika dia sudah mulai diajak makan bersama orang tuanya, meski hanya melihat dari balik tempat duduk khusus dengan pengaman yang disediakan untuknya sehingga dia tidak terjatuh atau pun bisa berpindah tempat, dia selalu melihat orang tuanya memakan berbagai jenis benda ke dalam mulut mereka. Sebenernya makhluk itu juga baru paham, baru tahu, kalau ternyata memasukkan benda ke dalam mulut, mengurusnya di sana dengan berbagai rupa cara lantas membiarkannya jatuh ke dalam raga untuk banyak proses yang tidak tahu apa, semua itu ternyata di sebut sebagai makan.

Bersambung ...

NISRINATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang