Adara melangkah santai menyusuri koridor rumah sakit dengan beberapa ibu-ibu yang datang bersamanya.
Mereka datang ke rumah sakit bukan tanpa alasan. Tentunya datang untuk menjenguk kakak-beradik yang merupakan anak Pak RT tengah di rawat di rumah sakit ini karena mengalami kecelakaan saat pulang dari mengajar.
Menurut informasi yang didengar dari Pak RT selaku orangtua dari keduanya jika Riko--adik Riki-- menjemput kakaknya saat pulang mengajar. Riko yang terbiasa membawa motor dengan kecepatan penuh akhirnya tak bisa mengelak musibah yang terjadi.
"Nak Dara, sehari-harinya memang enggak kerja atau kuliah begitu?"
Bu Mega yang merupakan tetangga Dara bertanya di sela perjalanan mereka mencari ruang rawat kedua anak Pak RT tersebut.
Pasalnya, mereka tidak terlalu akrab dengan Dara karena memang gadis itu adalah penduduk baru di komplek tempat mereka tinggal.
Mereka yang berangkat hanya empat orang saja. Tiga di antaranya sudah ibu-ibu sementara satunya lagi adalah Dara.
Dara tersenyum menanggapi pertanyaan ibu-ibu tersebut. Gadis itu menjawab, "saya cuma lulusan SMA, Bu. Mau kerja susah. Kuliah juga enggak ada biaya."
"Ya ampun, kamu pasti hidup susah, ya." Bu Mega menatap Dara iba. "Makanya saya bilang ke anak saya si Sita buat kuliah yang serius dan harus dapat nilai besar. Apalagi dia kuliah di universitas ternama lho."
Bu Mega tidak lupa untuk memamerkan putrinya pada Dara yang dicurigai tidak tahu apa-apa tentang keluarganya. Intinya semua orang harus tahu betapa hebatnya Bu Mega sebagai orang tua yang bisa mendidik anaknya agar bisa mengejar gelar sarjana.
"Oh, iya?"
"Iya, dong. Anak saya itu, mau jadi wanita karier. Selain punya wajah cantik, anak saya, saya tuntut biar jadi perempuan cemerlang." Bu Mega mulai menggebu-gebu dalam bercerita. Tidak lupa, ia juga menatap pada wajah cantik Dara yang menurutnya tidak ada guna memiliki wajah cantik jika tidak berpendidikan tinggi.
"Beruntung jadi ibu Mega. Punya suami yang setia dan anak yang cantik banget. Udah gitu, kuliah di tempat bagus lagi," puji Bu Rosi pada Bu Mega.
"Iya. Anak saya memang begitu. Saya 'sih walau menuntut dia buat jadi wanita karier, saya tetap minta dia untuk enggak terus belajar. Sesekali refreshing gitu sama pacar atau jalan-jalan ke luar kota."
"Oh, Sita sudah punya pacar, Bu?" tanya Bu Rosi pada Bu Mega, lagi.
"Udah dong. PNS muda pacarnya Sita. Lumayan gajinya. Pacar anak saya juga punya usaha ikan gitu yang diurus sama bawahannya."
Dara menjadi pendengar yang baik. Sesekali ia akan tersenyum atau mengangguk menanggapi ucapan Bu Mega dan Bu Rosi. Hanya dirinya dan Bu Hani yang lebih banyak diam. Sementara kedua ibu-ibu itu sibuk berbicara dan membanggakan anak-anak mereka.
Dara menyentuh perutnya yang tiba-tiba mules. Gadis itu menghentikan langkahnya membuat ketiga ibu-ibu itu turut menghentikan langkah mereka.
"Kenapa Nak Dara?" Bu Rosi bertanya menatap Dara heran.
"Maaf, Bu. Ibu-ibu jalan duluan saja, ya. Saya mau cari toilet dulu." Dara meringis kemudian berjalan ke sisi kiri mencari toilet yang bisa ia sambangi. Hari masih pukul 10 pagi. Namun, perutnya sudah mulas saja, gumam Dara dalam hati.
Sementara di restoran tak jauh dari rumah sakit, Juan baru saja mengadakan pertemuan dengan klien yang kebetulan bekerja sebagai direktur di rumah sakit. Rencananya Juan akan menanam saham dan menjual alat medis pada pihak rumah sakit dengan keuntungan yang dibagi merata.
Usai melakukan pertemuan, direktur rumah sakit bernama Ahmadi pamit undur diri dengan alasan ingin kembali ke rumah sakit.
Mengingat tentang rumah sakit, Juan tiba-tiba teringat dengan dua orang yang kecelakaan kemarin. Sudah dua hari Juan tidak menjenguknya. Meskipun ia sudah memberikan biaya pengobatan, Juan rasa ia tetap harus menjenguk dua orang itu.
"Ah, kebetulan sekali saya juga mau ke rumah sakit."
Ahmad, pria berusia 52 tahun itu menatap Juan heran. "Jenguk saudara yang sakit?"
Juan mengangguk. "Iya, Pak. Habis kecelakaan kemarin," sahutnya.
Ahmad mengangguk paham. Kemudian mereka melangkah keluar restoran menuju mobil masing-masing yang terparkir di depan restoran.
Tidak membutuhkan waktu lama, Juan dan Ahmad akhirnya tiba di rumah sakit. Keduanya berpisah karena memang tujuannya berbeda.
Juan sendiri melangkah menyusuri koridor di mana kamar dua orang itu berada.
Juan menghentikan langkahnya sejenak saat melihat seorang gadis berseragam SMA tengah berusaha membujuk pria yang tidak diketahui memiliki hubungan apa untuk makan. Namun, pria yang lebih tua beberapa tahun dari gadis itu terus menolak.
Juan terpaku di tempat. Ingatannya kembali pada lima tahun silam di mana Dara juga pernah membujuknya untuk makan karena saat itu ia sedang demam. Lamunan Juan buyar saat merasakan tubuhnya di tabrak oleh seseorang dari belakang.
Juan memutar tubuhnya menatap perempuan dengan terusan selutut berdiri sambil menundukkan kepalanya dan menggumamkan kata 'maaf' yang membuat Juan terpaku mendengar suaranya.
Juan kenal dengan suara ini. Suara yang selalu ia ingat dan terngiang di telinganya.
Suara milik--
"Dara," panggil Juan, membuat gadis itu mendongak serentak.Bola mata gadis itu melebar indah saat melihatnya. Wajah gadis itu mendadak pucat dengan poni yang menutup dahinya. Dengan rambut hitam panjang sebatas punggung membuat gadis itu semakin bertambah cantik.
Tangan Juan terulur berniat untuk menyentuh pipi Dara yang membuat gadis itu mundur serentak menjauhkan dirinya dari sentuhan Juan. Terlihat sekali jika Dara enggan bersentuhan dengannya yang membuat setitik rasa kecewa menghujam jantung Juan.
"Maaf, Om," ucap Dara sekali lagi.
Setelah itu Dara berlalu pergi melewati Juan begitu saja dan meninggalkan pria itu yang terpaku dengan tangan menggantung di udara.
"Adara," bisik Juan pada dirinya sendiri.
Tidak ingin kehilangan jejak Dara, Juan segera memutar tubuhnya dan mengikuti langkah gadis itu dari belakang tanpa disadari oleh Dara.
Juan tidak mau kehilangan jejak Dara lagi. Juan bersama kali ini ia tidak akan membuat perempuan yang sudah ia cari selama ini menghilang lagi dari pandangannya.
"Ke mana dia? Cepat sekali larinya," gerutu Juan kesal.
Tatapan Juan kemudian tak sengaja mengarah pada sisi lain koridor dan menemukan sosok perempuan yang ia cari hingga membuatnya segera bergegas mengikuti dari belakang.
"Kenapa aku bisa ketemu dengan om Juan di sini? Seharusnya aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi," ujar batin Dara.
Debar jantung gadis itu masih terasa sampai sekarang ketika tatapan matanya bertemu dengan Juan tadi. Sangat beruntung ia mengambil sikap dengan cepat sehingga ia bisa meloloskan diri dari pria itu dan tak ingin bertemu dengannya lagi. Namun, Dara tidak menyadari jika Juan sudah mengikutinya dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Playboy itu suamiku {TERBIT}
General FictionHanya kisah sederhana di mana Juan yang harus menikahi anak temannya yang baru berusia 15 tahun. Juan sang playboy dihadapkan dengan pilihan sulit dan membuatnya tidak bisa untuk lari dari tanggungjawabnya. Tapi, bagaimana jika gadis yang ia nika...