Dara segera masuk ke dalam kamarnya setelah tiba di rumah. Tak lupa gadis itu juga mengunci pintu kamarnya agar bu Siti tidak masuk.
Gadis itu ingin sendiri dulu untuk merenungkan apa yang terjadi barusan.
Dara melempar tasnya ke atas tempat tidur dan menghempaskan tubuhnya dengan posisi tengkurap.
Setetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipi dara 20 tahun itu ketika mengingat pertemuannya dengan Juan tadi. Mantan suaminya masih terlihat muda seperti dulu dan tidak terlihat tua. Rasa-rasanya tidak adil mengingat dulu saat menikah dengan Juan usia pria itu sudah 30 tahunan. 5 tahun tidak bertemu, bukannya semakin menua, Juan justru terlihat semakin tampan.
Dara segera menggelengkan kepalanya mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba bersemayam dalam otak cantiknya.
Dara tidak tahu takdir macam apa yang mempertemukannya dengan pria itu lagi. Ingin rasanya Dara menghilang dari muka bumi ini namun Dara tak sanggup.
Ingatan Dara berputar saat bagaimana Juan menggoyang pinggulnya di atas tubuh seorang perempuan. Lalu, pada kata-kata santai yang diucapkan Juan padanya seolah ia tidak berharga, terpatri jelas dalam ingatan Dara.
Kedua tangan gadis itu mengepal. Bayangan masa lalu itu tidak pernah bisa hilang dari pikirannya begitu saja meski sudah berulang kali mencoba menghapus ingatan tersebut namun tidak bisa.
Gadis itu mengusap air matanya kasar lalu turun dari tempat tidur menuju cermin yang terpasang di dalam kamarnya.
"Enggak, Dara. Kamu enggak boleh menangisi laki-laki seperti Om Juan. Dia enggak pantas mendapatkan air mata kamu," ucap Dara menatap dirinya di cermin. "Om Juan hanyalah masa lalu kamu. Dia enggak akan membawa pengaruh buruk pada diri kamu. Buang dia dari pikiran dan hatimu. Dia pantas berada di tong sampah."
Dara bermonolog pada dirinya sendiri berusaha meyakinkan jika Juan memang tidak pantas untuk berada di dalam hidupnya.
Matanya menatap tajam bayangan dirinya sendiri di cermin. Sebuah senyum tulus terbit di bibir mungilnya. Wajahnya cantik dan ia tidak memiliki kekurangan apapun. Dara yakin jika ia bisa mendapatkan laki-laki yang 100 kali lebih baik dari Juan.
"Kamu pantas mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari laki-laki itu. Iya, pasti." Dara mengepalkan tangannya di depan dada menyemangati dirinya sendiri yang nyaris terpuruk dengan kehadiran masa lalunya.
Dara bersumpah ia tidak akan lemah lagi saat berhadapan dengan Juan.
Setelah merapikan wajahnya lagi, Dara kemudian melangkah keluar kamar menuju warungnya.
Dara mendengar percapakan Bu Siti dan salah satu tetangga mereka yang bercerita jika kantor tempat anaknya bekerja sedang mencari karyawan untuk ditempatkan di posisi cleaning servis.
"Biasanya perusahaan besar bakalan cepat dapat karyawan, Bu," ucap Bu Siti santai.
Bu Siti tidak tertarik dengan lowongan pekerjaan tersebut karena memang ia juga sudah disibukkan dengan urusan warung.
"Susah, Siti kalau mau dapat karyawan tetap. Ini tugasnya membersihkan lantai tempat bos kerja." Bu Asih berkata menatap Bu Siti. "Bosnya anak saya benar-benar harus rajin dan enggak ada setitik debu baik di meja, lantai, bahkan kaca."
"Oh? Ada seperti itu?" Bu Siti agak tertarik dengan cerita Bu Asih.
"Iya, ada. Bahkan, takaran gula dan kopi yang di seduh juga harus sesuai selera bos. Salah dikit, langsung di pecat," ucap Bu Asih menggebu-gebu. "Gajinya besar. Kerjanya cuma setengah hari aja. Tapi, yang harus dihadapi itu bos sulit. Percuma gaji besar dan kerja setengah hari aja kalau kita harus makan hati 'kan?" ujarnya menatap Bu Siti.
Mungkin ada orang yang akan menerima pekerjaan seperti itu jika mentalnya sudah sekuat baja.
"Benar itu. Enggak peduli sebesar apa gaji yang diterima kalau kita harus makan hati, mending enggak usah, Bu. Enak seperti ini saja. Punya warung walau enggak besar, yang penting cukup untuk makan," balas Bu Siti. Wanita itu tersenyum saat matanya tak sengaja melihat Dara di pintu warung.
"Nak Dara sudah pulang? Kok, ibu enggak lihat?" sapa Bu Siti hangat.
Mungkin terlalu asik mengobrol dengan Bu Asih, ia sampai tidak sadar kalau Dara sudah pulang.
"Aku masuk lewat pintu samping, Bu." Dara menjawab dengan tenang. Mungkin saat ia masuk tadi, Bu Siti dan Bu Asih tidak sadar jika ia berlari masuk ke dalam rumah.
"Oh, mungkin saja. Itu makan siang sudah ibu masak. Ikan panggang dengan sambal ijo kesuksaan nak Dara. Sana masuk," suruh Bu Siti.
Bu Siti memang sudah menganggap Dara seperti anaknya sendiri begitu pula dengan Dara yang sudah menganggap Bu Siti adalah ibunya sendiri."Kalau begitu aku masuk dulu
Mari, Bu." Dara melempar senyum pada Asih sebelum akhirnya ia masuk untuk makan siang.Dara menghentikan langkahnya yang akan masuk ke dalam rumah dan menatap ke arah Bu Asih yang masih setia berdiri di depan warungnya mengobrol dengan Bu Siti.
"Bu, maaf, mau tanya," ucap Dara menatap Bu Asih ragu.
"Iya. Nak Dara mau tanya apa?" Bu Asih menatap Dara dengan sebelah alis terangkat.
"A-apa saya boleh tahu di mana kantor yang ibu maksud?" tanyanya dengan hati-hati.
"Nak Dara tertarik mau coba kerja?" tanya Bu Asih kembali.
"Mau coba-coba dulu, Bu. Siapa tahu bisa kerja di sana walau cuma jadi cleaning servis," jelas Dara.
Perkataan Dara sontak membuat Bu Siti terbelalak tidak percaya. Dara tidak pernah bekerja selama ini. Mana mungkin gadis itu mau bekerja. Apalagi harus kerja keras seperti yang disebutkan oleh Bu Siti tadi.
"Nak Dara yakin?" tanya Bu Siti ragu. Namun, keraguannya musnah saat melihat anggukan kepala Dara.
"Kalau begitu ibu cuma bisa dukung saja keinginan Nak Dara."
Bu Asih tersenyum kemudian ia memberikan kontak anaknya yang bekerja di perusahaan agar Dara bisa bekerja di sana. Setelah itu Bu Asih pamit pulang karena akan pergi ke rumah kerabatnya.
Setelah Bu Asih pergi, Dara pun masih ke dalam rumahnya usai menyimpan nomor ponsel anak Bu Asih yang ia ketahui bernama Hendra dan sudah berkeluarga.
Bukan tanpa alasan Dara menerima pekerjaan ini. Semuanya karena ia sudah bosan berada di rumah terus dan ingin bersosialisasi dengan lingkungan luar yang belum pernah ia jelajahi.
Dara berharap semoga dia bisa diterima dan diberikan kelancaran untuk urusan pekerjaan. Kalau bisa juga Dara ingin menabung agar ia bisa melanjutkan kuliah.
"Aku sudah hubungi Mas Hendra dan dia minta buat surat lamaran," ucap Dara pada Bu Siti. "Aku buat surat lamaran kerja dulu, Bu," izinnya.
Setelah itu Dara masuk ke dalam kamarnya guna membuat surat lamaran.
Gadis itu berharap semoga ini adalah jalan terbaik untuk dirinya. Bersosialisasi dengan orang baru, Dara berharap bisa melupakan Juan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Playboy itu suamiku {TERBIT}
General FictionHanya kisah sederhana di mana Juan yang harus menikahi anak temannya yang baru berusia 15 tahun. Juan sang playboy dihadapkan dengan pilihan sulit dan membuatnya tidak bisa untuk lari dari tanggungjawabnya. Tapi, bagaimana jika gadis yang ia nika...